15 Februari 2023
JAKARTA – Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi karbon hingga nol pada tahun 2060, sebuah deklarasi besar pemerintah untuk mengambil langkah ekstrim dalam mengatasi perubahan iklim. Pemerintah telah menguraikan peta jalan menuju net zero, dimana pada tahun 2050 jumlah bahan bakar fosil yang digunakan sebagai energi tidak akan melebihi 25 persen dan sebagian besar energi harus berbasis pada energi terbarukan.
Sebagai bagian dari pencapaian net zero pada tahun 2060, Indonesia berencana untuk memproduksi sebanyak 23 persen energi dari energi terbarukan pada tahun 2025. Energi terbarukan ini disumbang oleh energi air (8 persen), panas bumi (7,5 persen), biomassa (6 persen) dan energi terbarukan lainnya (1,5 persen).
Informasi tentang sumber energi mana yang dianggap terbarukan harus mengikuti kategori yang sama seperti yang ditentukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sumber energi terbarukan terdiri dari energi matahari, energi angin, tenaga air, energi laut, bioenergi, dan energi panas bumi.
Untuk mencapai apa yang disebut net zero, setiap sumber energi harus didistribusikan dengan baik dengan mempertimbangkan karakteristik ekonomi dan geografis masing-masing negara. Setiap negara mempunyai kelebihan dan kekurangan yang berbeda dalam memproduksi energi terbarukan. Indonesia, yang memiliki begitu banyak potensi dalam produksi berbagai jenis energi terbarukan, memiliki keunggulan dalam lanskap geografis sehingga dapat dengan lancar mengalihkan sumber energi kita ke energi terbarukan, namun kita tetap perlu mengingat bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil. untuk pembangkitan energi.
Dari banyaknya sumber energi terbarukan, pemerintah membuat rencana untuk meningkatkan proporsi biomassa dalam pembangkitan listrik. Biomassa tergolong terbarukan karena sumbernya berasal dari pohon yang dapat ditanam kembali, sekaligus menyerap karbon.
Indonesia sebagai salah satu produsen produk kayu terbesar jelas memiliki potensi besar untuk memanfaatkan energi kehutanan dan limbah kayu sebagai sumber biomassa seperti wood chip dan wood pellet. Dari sudut pandang tersebut, Indonesia mempunyai potensi besar untuk memanfaatkan biomassa sebagai salah satu pengganti bahan bakar fosil. Namun pengembangan dan pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi masih sangat kecil dibandingkan potensinya.
Secara global, pasar biomassa sedang meningkat seiring dengan negara-negara maju di Asia, seperti Korea Selatan dan Jepang, yang secara signifikan meningkatkan penggunaan biomassa sebagai sumber pembangkit energi. Korea Selatan merupakan importir utama wood pellet Indonesia dengan pangsa sebesar 88 persen, disusul Jepang dengan pangsa 11 persen. Jepang diperkirakan akan meningkatkan impor wood pellet Indonesia pada tahun 2023 melalui berbagai komitmen bisnis yang dilakukan kedua negara.
Sangat disayangkan Indonesia belum memanfaatkan biomassa sebagai sumber energi seperti negara lain, mengingat melimpahnya sumber daya yang dimiliki Indonesia. Hal ini menimbulkan pertanyaan kita mengenai tantangan biomassa yang menghambat peningkatan potensinya.
Terdapat kekhawatiran besar mengenai penggunaan biomassa sebagai pembangkit listrik bagi dunia usaha dan kekhawatiran tersebut adalah keandalan pasokan. Pelaku usaha harus benar-benar yakin bahwa pembangkit listrik akan selalu mendapatkan sumber biomassa secara berkelanjutan dan dengan harga yang kompetitif. Bukan hal yang aneh bagi dunia usaha bahwa faktor terpenting dalam memilih pasokan listrik yang tepat adalah harga.
Sayangnya, untuk memangkas biaya, perusahaan akan menggunakan sesuatu yang memberikan nilai lebih dibandingkan sesuatu yang lebih berkelanjutan. Mengingat hal ini, untuk meningkatkan permintaan biomassa, daya saing harga menjadi salah satu permasalahan utama yang harus diatasi.
Dalam keadaan normal, harga batubara untuk pembangkit listrik jauh lebih murah dibandingkan biomassa dengan harga batubara sekitar US$3,1 per Gigajoule sedangkan harga biomassa dan wood pellet sekitar $8,1/GJ pada tahun 2019 dalam kondisi perekonomian yang stabil. Pada sebagian besar tahun 2022, kenaikan harga batu bara telah membantu dunia usaha untuk mempertimbangkan industri biomassa sebagai sumber energi yang potensial. Namun keadaan ini tidak akan permanen jika harga batu bara kembali ke harga semula. Agar biomassa dapat bersaing, harga batu bara harus secara konsisten 43 persen lebih tinggi dibandingkan pelet kayu.
Rekomendasi kami untuk meningkatkan penggunaan biomassa sebagai energi adalah yang pertama dengan mengembangkan pasokan biomassa yang berkelanjutan. Sumber utama biomassa Indonesia diperkirakan berasal dari energi kehutanan. Perusahaan listrik milik negara PT PLN bermitra dengan perusahaan kehutanan milik negara Perhutani untuk pasokan biomassa. Lahan yang dibutuhkan untuk biomassa diperkirakan sekitar 430.000 hektar.
Kedua, meningkatkan permintaan biomassa di dalam negeri. Kita tahu bahwa kebutuhan biomassa secara global akan terus meningkat, namun sayang sekali jika Indonesia tidak bisa memanfaatkan biomassa sebagai sumber pembangkit energi. Mengingat hal ini, program seperti insinerasi bersama tentunya akan meningkatkan permintaan biomassa di dalam negeri. PLN menyatakan program co-firing akan membutuhkan sekitar 8 juta ton hingga 16 juta ton biomassa setiap tahunnya untuk mencapai target kontribusi biomassa sebesar 6 persen pada tahun 2025.
Yang terakhir adalah mengembangkan insentif yang terencana untuk perusahaan biomassa. Dengan adanya insentif, akan semakin banyak pelaku usaha yang memproduksi biomassa lebih banyak. Misalnya saja bisnis wood pellet yang mulai berkembang dalam beberapa tahun terakhir karena tingginya permintaan di pasar global. Pajak karbon akan menjadi salah satu bentuk peraturan yang tentunya dapat menumbuhkan industri biomassa. Melalui skema pajak karbon, bisnis biomassa dapat memperoleh subsidi dari alokasi pajak yang dihasilkan untuk membantu pertumbuhan bisnis dan membantu industri beroperasi secara berkelanjutan.
*****
Penulis adalah analis industri dan regional di Bank Mandiri.