16 November 2022
JAKARTA – Inisiatif bisnis yang dilaksanakan sepanjang tahun di bawah kerangka Kelompok 20 berpuncak pada serangkaian perjanjian investasi yang dipresentasikan pada KTT Bisnis 20 (B20) pada hari Senin.
Dalam pidato penutupnya pada KTT B20, Presiden Joko “Jokowi” Widodo meyakinkan para peserta forum bahwa Indonesia berada pada jalur yang tepat untuk melaksanakan “strategi besar” pengembangan industri hilir dan investasi energi ramah lingkungan.
Tahun ini, KTT B20 dihadiri lebih dari 2.000 peserta dari 65 negara, dengan lebih dari 1.500 perusahaan terwakili di forum tersebut.
Indonesia sendiri telah berupaya untuk memfokuskan kembali perekonomian negaranya pada produksi barang-barang bernilai tambah dan energi bersih.
“Saya sudah sampaikan berkali-kali sebelumnya: Kita akan tabah,” kata Presiden Jokowi kepada peserta forum.
Dalam keterangannya, Presiden Jokowi menyampaikan kepada Perdana Menteri Australia Anthony Albanese yang juga hadir pada sesi penutupan bahwa kedua negara memiliki sumber daya alam dalam jumlah besar yang dibutuhkan untuk baterai kendaraan listrik (EV).
Jokowi menjelaskan bahwa Indonesia memiliki cadangan nikel yang besar, sementara Australia memiliki cadangan litium yang signifikan, sehingga menempatkan kedua negara pada posisi yang kuat untuk kerja sama kendaraan listrik.
Berdasarkan data Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), Brasil dan Rusia berada di urutan ketiga dan keempat dalam cadangan nikel dengan masing-masing 16 juta dan 7,5 juta ton, di belakang Indonesia dan Australia yang masing-masing memiliki 21 juta ton.
Data USGS menunjukkan Chili memiliki cadangan litium terbesar dengan 9,2 juta ton, disusul Australia 5,7 juta ton, dan Argentina 2,2 juta ton. Indonesia bukan salah satu negara dengan cadangan litium terbesar.
“Bersama (dengan Australia), kita bisa melakukan hilirisasi di Indonesia,” lanjut Jokowi.
Presiden juga meminta para pemimpin bisnis global untuk berinvestasi pada energi ramah lingkungan di Indonesia, dengan menyatakan bahwa terdapat potensi energi sebesar 434 gigawatt yang berasal dari sumber-sumber termasuk tenaga air, panas bumi, tenaga surya, dan angin.
Jokowi juga memperkenalkan Kawasan Industri Hijau Kalimantan Utara kepada investor. Dia mengatakan pemerintah telah mengalokasikan sekitar 30.000 hektar untuk pengembangannya dan Sungai Kayan di dekatnya dapat menghasilkan hingga 13.000 megawatt listrik terbarukan.
“Ini menjadi peluang bagi investor untuk menjalin kerja sama dengan Indonesia. Bawa investasi, bawa teknologi, karena membangun ekonomi hijau di Indonesia secara kolektif membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” tambah Jokowi.
Andrew Forrest, ketua perusahaan energi terbarukan Fortescue Future Industries, mengatakan perusahaannya “siap” membantu negara tersebut mengubah potensi energi hijau menjadi tenaga hidrogen menggunakan elektroliser.
Upaya tersebut lebih masuk akal saat ini, katanya, karena biaya penggunaan sistem ini hanya seperlima dibandingkan dua tahun lalu. Forrest mendesak pemerintah untuk “memberi harga” pada energi terbarukan negaranya.
“(Hal ini) agar kita berhasil bersaing dengan minyak dan gas, dan mari kita ubah Indonesia menjadi eksportir hidrogen ramah lingkungan yang besar,” kata Forrest kepada peserta forum, Minggu.
Manfaat jangka panjang
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan forum G20 merupakan sebuah game changer bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, karena negara-negara maju yang tergabung dalam G20 menyetujui serangkaian konsesi yang sebelumnya mereka tolak dengan keras.
Negara-negara maju telah sepakat bahwa semua negara mempunyai hak untuk melakukan industrialisasi hilir, katanya, sementara beberapa negara sebelumnya lebih memilih negara-negara berkembang untuk tetap menjadi eksportir bahan mentah sehingga negara-negara maju dapat mempertahankan keunggulan kompetitif mereka.
Bali Compendium yang diperkenalkan oleh Indonesia pada masa kepresidenan G20 didasarkan pada premis bahwa tidak ada solusi investasi yang universal. Ringkasan tersebut, menurut penjelasan resmi pemerintah mengenai inisiatif ini, “menawarkan serangkaian pilihan bagi para pembuat kebijakan yang ingin mendorong investasi berkelanjutan (dan) memfasilitasi pertukaran pengalaman dan praktik kebijakan”.
“Kita benar-benar kesulitan menghadapi ini, makanya kita minta bantuan negara-negara berkembang yang tergabung dalam G20, seperti Argentina, Brazil, Afrika Selatan, dan India, karena kita semua punya sumber daya alam,” kata Bahlil kepada wartawan, Minggu.
Ia mengatakan beberapa negara maju juga telah sepakat untuk melibatkan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan penduduk lokal dalam proyek investasi, padahal sebelumnya negara-negara tersebut keberatan dengan campur tangan pemerintah dan lebih memilih mekanisme pasar bebas.
Kesepakatan mengenai investasi ramah lingkungan yang adil juga telah dicapai, katanya, sementara wilayah selatan sebelumnya hanya menerima seperlima dari investasi global dalam pengembangan energi terbarukan.
Namun, negara-negara anggota gagal mencapai kompromi mengenai isu ketimpangan harga karbon, kata Bahlil, sambil mencatat bahwa harga di pasar negara berkembang berkisar antara US$20 hingga $30 per ton, dibandingkan dengan sekitar $100 per ton di negara maju.
“Setelah mengikuti dan memahami prosesnya, saya mengetahui bahwa (G20) adalah forum yang sangat berpengaruh yang dapat mempengaruhi kebijakan dunia,” pungkas Bahlil.