15 Februari 2023
JAKARTA – Pada tanggal 4 Februari, Angkatan Udara AS menembak jatuh balon meteorologi Tiongkok yang terbang di atas wilayah udara AS. Insiden ini memicu kekhawatiran akan memburuknya hubungan AS-Tiongkok di tengah ketegangan antara kedua raksasa di Asia-Pasifik.
Pengoperasian balon diizinkan berdasarkan International Telecommunication Union oleh Konferensi Radio Dunia tahun 1979. Selanjutnya balon dikategorikan sebagai High-Altitude Pseudo-Satellite (HAPS), yaitu benda yang ditempatkan pada ketinggian 20 hingga 50 kilometer dan nominal tertentu. , titik tetap relatif terhadap Bumi menurut Peraturan Radio ITU No. 1.66A.
Insiden ini mengingatkan kita pada penyelidikan mengenai batasan ruang angkasa dan seberapa tinggi wilayah udara, sehingga rezim hak udara dapat diterapkan. Belum ada demarkasi yang disepakati secara internasional mengenai masalah ini, dan Konvensi Chicago tahun 1944 sebagai Magna Charta hukum udara juga tidak terkait erat dengan Peraturan Navigasi Udara tahun 1919, yang juga dikenal sebagai Konvensi Paris. Keduanya mengacu pada pepatah Romawi kuno “Miliknya sendiri adalah miliknya, bahkan sampai ke surga dan neraka.Artinya, tanah milik siapa, itu miliknya sampai ke Surga dan ke bawah Neraka.
Perjanjian Luar Angkasa tahun 1967 (OST 1967) juga tidak membahas masalah delimitasi. Namun batasan horizontal atas wilayah udara dijelaskan dalam Pasal 2 Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 1982). Negara-negara mempunyai kedaulatan atas wilayah udaranya di perairan teritorialnya, namun tidak ada konsensus mengenai batasan vertikal.
Bungkamnya konvensi-konvensi global mengenai masalah delimitasi tidak lepas dari perkembangannya pada saat konvensi tersebut dirundingkan, karena adanya keterbatasan dalam ilmu atmosfer dan antariksa. Merujuk pada Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), sebagian besar pesawat terbang di bawah FL600 atau 20 km, karena adanya keterbatasan fisik mesin jet modern yang membutuhkan aliran udara melalui turbinnya. Namun tidak ada masalah dengan mesin roket dan teknologi balon, karena mesin tersebut tidak memerlukan aliran udara.
Saat ini terdapat dua pendekatan terhadap persoalan demarkasi, yaitu spasialisme dan fungsionalisme. Yang pertama berfokus pada di mana rezim hukum udara berakhir dan rezim hukum antariksa dimulai dengan ketinggian tertentu yang disebut sebagai area vakum. Jalur ini dikenal luas sebagai jalur von Karman (100-120 km).
Pendekatan fungsionalis mempunyai pandangan berbeda. Kaum fungsionalis mengawasi apakah fungsi dan maksud suatu benda akan diluncurkan untuk keperluan luar angkasa atau tidak. Pendekatan fungsionalis menolak gagasan adanya garis demarkasi antara udara dan luar angkasa.
Kedua pendekatan tersebut harus meninggalkan permasalahan kelelahan karena HAPS dianggap sebagai objek ruang dekat dan bukan objek ruang penuh. Balon Google adalah salah satu contoh HAPS. Tidak ada satupun objek yang terbang melewati garis Karman sebagai pendekatan fungsionalis.
Kedua konsep tersebut berakhir dengan kesulitan dalam menentukan di mana demarkasi udara dan luar angkasa akan dimulai. Jatuhnya balon Tiongkok seolah mendorong doktrin antariksa sebagai landasan hukum untuk melindungi pertahanan negara.
Demarkasi udara dan luar angkasa telah menjadi isu topikal di abad ke-21St abad. Diskusi semacam ini telah berlangsung selama beberapa dekade di Komite PBB untuk Penggunaan Luar Angkasa Secara Damai (UNCOPUOS). Pendekatan unik yang diterapkan adalah konsensus, bukan mekanisme pemungutan suara, untuk memastikan keberlanjutan hasil. Hal ini menjelaskan mengapa kemajuan memakan waktu begitu lama tanpa batas waktu tertentu yang dapat diperkirakan.
Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang menunjukkan kegigihan dalam mengusulkan demarkasi pada jarak 100-110 km. Namun Undang-Undang Antariksa Indonesia tahun 2013 menyatakan bahwa rentang tersebut dapat diterapkan, setidaknya untuk aktivitas antariksa apa pun di nusantara. Contoh lain di kawasan Asia-Pasifik adalah Australia yang juga menetapkan demarkasinya sekitar 100 km.
Perlu diingat bahwa tidak ada demarkasi yang disepakati di panggung internasional, karena setiap yurisdiksi mungkin berbeda.
Penembakan balon Tiongkok baru-baru ini seharusnya memicu diskusi lebih lanjut mengenai demarkasi untuk menghindari potensi konflik. Mengingat pencarian kepastian hukum mengenai demarkasi, ketiadaan hal tersebut seharusnya mengarah pada pembentukan kode etik untuk mencegah hal serupa terjadi di ASEAN. Wilayah ini berupaya menjaga perdamaian dan stabilitas. Secara kebetulan, Indonesia mendapat kehormatan menjadi ketua ASEAN tahun ini.
Sebagai ketua ASEAN, Indonesia dapat memainkan peran lebih jauh dalam hukum antariksa dengan mengakomodasi zona pemanfaatan ekonomi eksklusif, seperti yang dikemukakan oleh beberapa pakar hukum antariksa yang berpendapat bahwa negara mempunyai hak kedaulatan di luar wilayah udara nasionalnya.
Salah satu keuntungan dari zona pemanfaatan adalah negara-negara yang mendasarinya dapat mengontrol siapa yang boleh memasang kendaraan di atas wilayah udaranya. Selanjutnya akan ditetapkan standar internasional untuk operasional HAPS yang dapat mendorong sektor ini tumbuh lebih signifikan.
Negara-negara pendukung mempunyai hak untuk mengontrol prinsip-prinsip dasar masalah keselamatan dan keamanan dan menikmati hak prioritas untuk menggunakan Objek Dekat Bumi (NEO) melalui pembentukan zona penggunaan. Berdasarkan Riset Pasar Transparansi, sektor bisnis HAPS akan tumbuh hingga US$4,77 miliar pada tahun 2023. Oleh karena itu, kawasan ini sangat menjanjikan bagi Indonesia yang memiliki wilayah udara yang sangat luas sehingga dapat berkontribusi terhadap perekonomiannya.
Menyimpang dari keutamaan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), zona pemanfaatannya akan fokus pada manfaat ekonomi serta keamanan dan keselamatan negara-negara yang mendasarinya. Saat ini, tidak ada peraturan yang tegas atau jelas mengenai NEO, termasuk manual intersepsi Angkatan Udara.
Tidak mengherankan jika banyak negara bereaksi berbeda terhadap HAPS, seperti dalam kasus insiden balon di Tiongkok baru-baru ini, yang mungkin menghambat bisnis HAPS.
***
Ridha Aditya Nugraha mengajar studi hukum udara dan ruang angkasa di Universitas Prasetiya Mulya, Jakarta. Taufik Rachmat Nugraha adalah peneliti di Centre for International Law (CIL), National University of Singapore. Pendapat yang dikemukakan adalah pendapat mereka sendiri.