6 April 2023
JAKARTA – Pada tanggal 14 Maret, CNN International mengutip Kementerian Dalam Negeri Kamboja yang mengatakan bahwa “penyebar penipuan dunia maya menargetkan para profesional di seluruh Asia.” Laporan tersebut memberi tahu kami tentang 172 pekerja migran Indonesia (MIW) yang menjadi operator penipuan online dalam investasi palsu di Kamboja yang menargetkan sesama warga Indonesia (Kompas 5 Agustus 2022).
Pada tanggal 22 September 2022, Jakarta Post melaporkan kasus serupa di Malaysia. Laporan tersebut mengutip Kementerian Luar Negeri Malaysia yang telah menerima 301 laporan tentang orang-orang yang terjerat oleh jaringan penipuan pekerjaan di Kamboja, Laos, Myanmar dan Thailand.
Warga Indonesia dan Malaysia tergiur dengan lowongan di Kamboja dengan bayaran menarik. Sayangnya, pada akhirnya mereka terpaksa bekerja di luar batas kemampuannya, semua dokumennya disimpan oleh majikannya, mereka dilarang keluar rumah dan ditekan untuk mendapatkan uang.
Kasus seperti ini bukanlah hal baru. Pada bulan Mei 2015, polisi menangkap puluhan orang asing dari Tiongkok dan Taiwan karena diduga melakukan penipuan online yang menargetkan warga negara Tiongkok dan Taiwan.
Kejahatan dunia maya telah menjadi ancaman bagi setiap negara. Sebuah perusahaan keamanan siber ternama memperkirakan pada bulan Desember 2022 bahwa kerugian akibat kejahatan siber di seluruh dunia berjumlah US$190.000 setiap detik atau $11,4 juta per menit.
Laporan Tren Kejahatan Global INTERPOL 2022 (IGCTR) mencatat bahwa kejahatan dunia maya seperti ransomware, phishing, penipuan online, dan intrusi komputer “tinggi atau sangat tinggi” di 190 negara anggota.
Secara lokal, Reserse Polri mencatat 8.831 kejahatan siber pada tahun 2022, 14 kali lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya.
Tantangan hidup, tidak mempunyai pekerjaan, kehilangan pekerjaan atau gagal dalam usaha dapat memaksa seseorang untuk mencari pekerjaan apapun, dimanapun. Informasi lowongan kerja yang tiada habisnya di media sosial menjungkirbalikkan logika, sehingga mendorong masyarakat rentan untuk pergi ke negara-negara yang bukan tujuan BMI, yang perkembangan ekonominya tidak lebih baik dari Indonesia.
Penipuan dunia maya berskala besar yang melibatkan peralatan berteknologi tinggi dan mahal dijalankan oleh investor yang setia. Mereka terus-menerus mencari dan menarik orang untuk mengoperasikan mesin ATM mereka. Warga negara Tiongkok dipekerjakan untuk menipu warga negaranya, warga Malaysia dipaksa untuk menipu sesama warga Malaysia, dan warga Indonesia ditekan untuk memikat warga Indonesia lainnya.
Korban perdagangan manusia yang diselamatkan dari Sihanoukville di Kamboja baru-baru ini adalah salah satu contohnya. Di seluruh Kamboja, diperkirakan ada sekitar 1.000 warga Indonesia yang terjebak dalam praktik ilegal ini. Diyakini bahwa semakin banyak warga Indonesia yang berisiko melakukan kejahatan di Myanmar dan Laos, karena memasuki negara-negara tersebut melalui Thailand dan Vietnam.
Perdagangan manusia (TIPS) melibatkan dua kejahatan dunia maya: penyediaan informasi palsu dan tindakan melakukan penipuan online. Langkah-langkah umum yang harus dilakukan pemerintah adalah pencegahan, penindakan terhadap pelaku, perlindungan terhadap korban dan kerja sama dalam penanganannya.
Pencegahan mendasarnya adalah kampanye kesadaran masyarakat tentang migrasi yang benar dan aman. Di Singapura, kita dapat menemukan tanda-tanda peringatan kejahatan dunia maya di hampir setiap wilayah. Upaya pencegahan serupa juga terjadi di desa-desa di Kabupaten Subang dan Purwakarta, Jawa Barat. Di desa-desa yang terkenal sebagai pemasok pekerja migran, kita dapat menemukan spanduk dengan pesan jelas yang menghimbau masyarakat untuk berhati-hati terhadap rentenir yang beroperasi secara online.
Mengingat kesenjangan literasi, kampanye kesadaran masyarakat harus dilakukan di negara ini melalui berbagai platform untuk membuat masyarakat lebih sadar akan bahaya informasi yang menyesatkan.
Penganiayaan adalah kunci efek jera. Korban TIPS seringkali mengenal pelaku, namun enggan mengungkapkan identitasnya karena pelaku adalah anggota keluarganya sendiri.
Kita bisa belajar dari tetangga kita dalam hal ini. Malaysia memberlakukan Undang-Undang Anti Berita Palsu pada tahun 2018, yang mengancam akan mengenakan denda kepada mereka yang membuat atau menyebarkan berita palsu hingga 500.000 ringgit, menjalani hukuman penjara hingga 6 tahun, atau keduanya.
Singapura mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Terhadap Pemalsuan dan Manipulasi Online (POFMA) pada tahun 2019. Siapa pun yang membuat, menyebarkan informasi palsu akan didenda hingga S$50.000, atau terancam hukuman lima tahun penjara. Jika informasi palsu datang dari perusahaan/media, dendanya adalah S$500.000. Dan jika kejahatan dilakukan secara online, denda dan hukuman penjara akan berlipat ganda.
Indonesia mempunyai UU No. 11/2008 yang diubah dengan UU No. 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Hukuman bagi pelanggar tidak kalah beratnya dengan hukuman di negara tetangga.
Selain itu, pemberian informasi yang tidak benar dan pengiriman BMI ke luar negeri di luar prosedur yang semestinya dan menimbulkan masalah dapat dituntut dengan UU No. 21/2007 tentang TIPS.
Perlindungan korban adalah tanggung jawab negara. Oleh karena itu, penting untuk menyelidiki secara hati-hati setiap kasus untuk menentukan apakah suatu kejahatan telah terjadi, dan untuk memberikan bantuan dan perlindungan yang proporsional kepada para korban.
Namun dalam beberapa kasus, polisi menemukan seseorang yang mengaku korban TIPS ternyata adalah pelakunya. Meski demikian, seringkali terdapat ekspektasi yang menyesatkan dan berlebihan terhadap perlindungan WNI di luar negeri. Perlindungan bukannya tanpa batas.
Kerjasama adalah suatu keharusan untuk memberantas kejahatan ini. Tidak mungkin sebuah institusi bisa menyelesaikan kejahatan siber transnasional sendirian. Penangkapan dan deportasi warga negara Tiongkok dan Taiwan atas dugaan peran mereka dalam kejahatan dunia maya di Jakarta merupakan hasil kerja lintas departemen. Demikian pula, keberhasilan pemerintah Indonesia dalam menyelamatkan ratusan korban TIPs di Kamboja merupakan hasil kerja sama multi-level dan diplomasi yang rumit.
Kerja sama bilateral antar kepolisian adalah salah satu skema yang paling umum. Namun, hal itu bergantung pada sistem dan penegakan hukum. Semakin baik sistem dan penegakan hukum di negara kita dan negara-negara lain, semakin lancar dan besar kemungkinan keberhasilannya.
Sebaliknya, jika sistem dan penegakan hukum di salah satu atau kedua negara lemah, atau negara dalam keadaan tidak stabil, maka peluang keberhasilannya akan semakin rumit dan kecil.
Kerjasama juga dapat diwujudkan melalui skema regional dan internasional, seperti ASEANAPOL.
Secara global ada INTERPOL yang memiliki jaringan di 190 negara anggota. PBB juga memiliki Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir (UNTOC) yang dikenal dengan Konvensi Palermo tahun 2000 yang menjadi acuan setiap negara dalam menangani TIPS dan kerjasama antar negara.
Instrumen hukum nasional dan kerangka kerja sama regional dan internasional sudah ada. Yang tersisa hanyalah komitmen terhadap penegakan hukum yang berlaku, yang pada akhirnya akan menentukan keberhasilan suatu negara dalam menangani kejahatan dunia maya internasional.
***
Penulis adalah Sekretaris Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri. Pendapat yang dikemukakan dalam artikel tersebut adalah pendapatnya sendiri. Versi bahasa Indonesia dari artikel ini muncul di Kompas.