Meskipun telah dilakukan reformasi, birokrasi masih menjadi ‘masalah utama’ bagi proyek-proyek regional di Indonesia

20 Januari 2023

JAKARTA – Lebih dari dua tahun setelah memulai reformasi besar-besaran, pemerintah telah memastikan bahwa kendala birokrasi masih menjadi hambatan utama bagi investasi yang dikemukakan oleh dunia usaha.

Izin baru untuk perencanaan tata ruang dan konstruksi, keduanya merupakan produk dari Undang-Undang Cipta Kerja, menyebabkan tumpukan proyek investasi, namun “penyelesaiannya” ada di tangan para pemimpin daerah, kata Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada hari Selasa di Koordinasi Nasional tahunan Rapat (Rakornas) kepala daerah dan forum koordinasi pimpinan daerah (Forkopimda) di Sentul, Jawa Barat.

Jokowi menandatangani Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja pada bulan November 2020 untuk menyederhanakan berbagai peraturan investasi dalam satu undang-undang dan mengurangi kewenangan daerah dalam mengambil keputusan investasi melalui platform Online-Single Submission (OSS) Kementerian Investasi.

Pemerintah pusat menilai undang-undang tersebut diperlukan untuk mengatasi persoalan konflik peraturan, terutama ketika peraturan pusat bertentangan dengan peraturan daerah.

“Segera selesaikan (izin) yang belum selesai, jangan buang-buang waktu,” kata Jokowi, Selasa.

Investasi dan ekspor adalah kunci pertumbuhan ekonomi yang kuat pada saat tingginya inflasi dan suku bunga di seluruh dunia, presiden berulang kali memperingatkan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang turut hadir dalam pertemuan Selasa itu mengatakan kepada para pemimpin daerah, kendala utama izin Kesesuaian Pemanfaatan Ruang (KKPR) bermula dari belum adanya Peraturan Detail Tata Ruang Daerah (RDTR).

Tanpa aturan RDTR lokal, penerbitan izin KKPR akan memakan waktu lebih dari 200 hari, kata Airlangga, mengutip penelitian perusahaan konsultan PricewaterhouseCoopers dan inisiatif pembangunan yang didukung Australia, Prospera.

Airlangga menambahkan, pemberian izin pembangunan gedung (PBG) juga bergantung pada peraturan daerah untuk menentukan biaya pengurusannya, namun baru 105 dari 514 kota dan kabupaten yang sudah menerbitkan aturan tata cara PBG hingga 16 Januari.

Pada Januari 2024, seluruh kota dan kabupaten harus memiliki peraturan PBG atau menghadapi potensi ketidakpastian hukum atas investasi di daerahnya.

Dua ratus hari itu waktu yang sangat lama sehingga (menghambat) proses OSS, kata Airlangga, Selasa.

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan pada pertemuan para pemimpin daerah bahwa hanya 118 kota dan kabupaten yang telah menerbitkan peraturan RDTR dan mengintegrasikannya dengan OSS. Jumlah tersebut merupakan sebagian kecil dari 2.000 daerah yang ditargetkan memiliki peraturan tersebut pada tahun 2024.

Lebih lanjut, Bahlil mengatakan, Presiden menginstruksikan Kementerian Keuangan untuk memutuskan apakah biaya pengurusan RDTR harus ditanggung seluruhnya atau sebagian oleh APBN guna mempercepat penerbitan izin RDTR.

Menurut perkiraan Kementerian Investasi, biaya pengurusan izin RDTR bervariasi antara Rp 2 miliar hingga Rp 3 miliar.

Terkait PBG, Bahlil menjelaskan, karena tingginya dinamisme di daerah, pemerintah bersikap lunak membiarkan pemerintah daerah tetap menggunakan peraturan sebelum UU Cipta Kerja. Namun dia menggarisbawahi, masa tenggang ini akan berakhir dalam satu tahun.

“Persoalan (PBG) ini harus kita selesaikan,” kata Bahlil kepada kepala daerah. “Jika kita tidak melakukan hal itu, orang tidak dapat membangun gedung.”

Daerah yang memiliki peraturan RDTR daerah dapat menerbitkan izin KKPR dalam sehari, tambah Menteri Reforma Agraria dan Tata Ruang Hadi Tjahjanto. Sebaliknya, negara lain memerlukan waktu satu tahun untuk terlebih dahulu menyesuaikan peraturan mereka dan kemudian mengumumkan peraturan RDTR yang baru.

Untuk memperlancar proses penyusunan peraturan RDTR, forum perencanaan tata ruang daerah harus menunjuk pejabat dari kantor reforma agraria dan perencanaan tata ruang daerah sebagai wakil kepala, rekomendasi Hadi. Hal ini akan sangat meningkatkan respon pemerintah pusat apabila timbul permasalahan pada proses penyusunan RDTR.

Data Kementerian Tata Ruang menunjukkan 237 daerah sudah menerbitkan aturan RDTR, namun baru 108 daerah yang tersinkronisasi dengan platform OSS.

“Ada kendala dalam penerbitan KKPR di daerah,” imbuh Hadi.

Memperoleh izin KKPR di wilayah tanpa kerangka RDTR berarti harus bolak-balik antara instansi pemerintah daerah dan pusat, kata pengacara perusahaan Fikri Selo kepada The Jakarta Post pada hari Selasa.

Tanpa adanya peraturan RDTR daerah, OSS mengharuskan pelaku usaha untuk menyampaikan Surat Perintah Pembayaran (SPS) untuk membayar pendapatan bukan pajak sebelum pemerintah dapat menerbitkan KKPR.

Kebingungan muncul ketika Kementerian Penanaman Modal dan Tata Ruang serta Kantor Pertanahan Daerah menolak menerbitkan SPS karena semua lembaga merasa tidak mempunyai kewenangan untuk menerbitkan SPS.

Pemrosesan OSS terhenti selama tiga bulan pada tahun lalu, hingga Jakarta mengeluarkan peraturan RDTR pada Oktober 2022. Setelah peraturan tersebut diterbitkan dan data direvisi agar sesuai dengan mekanisme RTDR, izin KKPR hanya membutuhkan waktu satu hari untuk diterbitkan setelah data direvisi agar sesuai dengan RDTR, tanpa ada tindakan apa pun dari pemerintah setempat.

Fikri menyarankan, bagi daerah yang belum memiliki aturan RDTR daerah sehingga tidak terintegrasi dengan OSS, sebaiknya pemerintah daerah mengganti izin KKPR dengan surat pernyataan pemanfaatan ruang yang hanya memerlukan persetujuan daerah, agar tidak berurusan dengan pemerintah pusat dan daerah. “Saya berputar-putar karena semua (stakeholder) bingung,” kata Fikri kepada Post tentang pengalamannya.

Rencana pemerintah untuk mensubsidi proses peraturan RDTR “bergantung” pada efisiensi birokrasi di tim perumus, lanjutnya, terutama jika tidak ada jaminan yang diberikan untuk menjamin kecepatan proses.

Bahaya yang lebih besar adalah risiko kesalahan pengelolaan administratif, tambahnya.

Maka Fikri menyarankan, daripada menyediakan dana untuk menutup biaya perizinan di muka, lebih bijaksana jika pemerintah memberikan insentif agar pemerintah daerah menerbitkan peraturan RDTR daerah.

Secara terpisah, peneliti teknik sipil Rafi Anugrah mengatakan kepada Post pada hari Selasa bahwa meskipun kerangka PBG memiliki biaya pendaftaran yang lebih rendah, persyaratan untuk izin pembangunan gedung baru jauh lebih rumit dibandingkan dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sebelumnya.

Sebab, PBG mempertimbangkan banyak faktor, seperti tinggi, fungsi, kompleksitas, dan permanensi bangunan yang diusulkan, jelasnya.

taruhan bola

By gacor88