7 Maret 2023
JAKARTA – Ratna Asmara, sutradara wanita pertama di Indonesia, patut menjadi sosok yang disegani setelah menyutradarai beberapa film sukses dengan karir akting, menyanyi, dan tari tradisional yang kaya pada tahun 1940-an hingga 60-an. Mengapa namanya dilupakan?
Sedikit yang tahu tentang sutradara film perempuan pertama Indonesia, Ratna Asmara. Pada tahun 1950-an, Ratna menyutradarai film pada saat banyak wanita terkenal sedunia berada di depan kamera, namun sangat sedikit yang mendapat pujian atas karya mereka di balik kamera.
Dalam film-filmnya, Ratna membawakan ke layar lebar pandangan yang sensitif dan bernuansa mengenai hal-hal yang dianggap tabu di Indonesia pada saat itu, termasuk trauma wanita penghibur Indonesia pada masa pendudukan Jepang, poligami, dan kemiskinan struktural dengan beberapa nama besar di industri ini. .
Namun kisahnya tetap berada dalam bayang-bayang, semakin berkurang seperti film analog yang semakin berkurang seiring bertambahnya usia.
Kemunduran fisik dan potensi hilangnya film-film Ratna itulah yang mendorong sekelompok arsiparis, sejarawan, dan peneliti Umi Lestari, Julita Pratiwi, Efi Sri Handayani, Imelda Taurina Mandala, Lisbona Rahman, dan mendiang Siti Anisah berkumpul pada tahun 2021 dan, di bawah kolektif Kelas Liarsip, sebuah kelompok studi film virtual, bertujuan untuk melestarikan sejarah dan karya Ratna, dengan pemahaman bahwa jika tidak diambil tindakan sekarang, namanya akan hilang dalam catatan sejarah.
Dengan digitalisasi film pertamanya, dan sebuah buku tentang Ratna serta proyeknya kini telah diterbitkan, Kelas Liarsip berharap dapat memperluas kanon nasional untuk memasukkan lebih banyak perempuan dan kelompok minoritas saat ia menyebarkan cerita Ratna.
Ratna temukan
Umi, peneliti sejarah perfilman Indonesia, pertama kali mengenal Ratna pada tahun 2020. Namanya kerap merujuk pada film-film besar masa itu seperti Nawi Ismail, Djamaluddin Malik, dan Andjar Asmara. Namun hanya ada sedikit artikel tentang pekerjaan penyutradaraannya.
Julita, seorang peneliti sinema Indonesia, menjelaskan dalam sebuah wawancara dengan The Jakarta Post pada awal Februari, “hanya ada sedikit narasi tentang pencipta perempuan dalam sejarah perfilman di Tanah Air (tanah air). Wacana yang beredar masih seputar perempuan di depan kamera, bukan di belakangnya.”
Pencarian informasi lebih lanjut Umi membawanya ke Sinematek Indonesia dengan harapan arsip film nasional sudah mulai mendigitalkan film-film Ratna. Ternyata tidak. Melalui peran Dr. syuting Samsi (1952), Umi menyadari film tersebut terlalu rusak untuk diproyeksikan.
“Ternyata filmnya hanya bisa diputar selama tiga menit (…) Dari meja editing tercium bau api dan saya putuskan untuk menghentikan syuting film tersebut karena takut akan semakin merusak elemennya. Itu sungguh traumatis bagi saya. Sebagai seorang peneliti yang biasa bekerja dengan teks-teks film yang sudah ada dan mudah diakses, sulitnya mengakses Dr. Mendapatkan Samsi membuat saya menghentikan penelitian,” jelas Umi.
Jadi Umi malah fokus menyatukan biografi Ratna, dan dalam proses inilah ia bergabung dengan Kelas Liarsip, yang juga mencari perempuan di perfilman Indonesia dan memperbaiki ketidakseimbangan di mana “gagasan nasionalisme, militerisme, dan patriarkalisme” menjadi kumpulan sinema Indonesia. tahun 1950-an, seperti yang disampaikan Julita.
Proyek ini membawa Kelas Liarsip ke perpustakaan, universitas, arsip dan pemakaman, antara Jakarta, Yogyakarta, Berlin dan Amsterdam. Kelompok ini mengumpulkan ceritanya melalui ulasan film, kolom gosip, dan video YouTube.
Di laboratorium, Efi dan tim kecil mengerjakan kristal yang terbentuk pada film, dengan hati-hati memperbaiki sproket dan menyambung retakan serta bagian yang rusak.
Proyek ini membawa Imelda, Umi dan Lisbona ke Amsterdam ke Eye Film Museum, tempat Dr. Samsi pertama kali diperlihatkan ke publik.
Film ini mengikuti tokoh utama Sukaesih yang jatuh cinta dengan seorang dokter bernama Samsi. Keduanya mempunyai anak haram, dan Sukaesih memutuskan untuk memberikan anak tersebut kepada asisten Samsi, Leo, agar bisa tumbuh dan memiliki kehidupan yang lebih baik.
Sepeninggal anak Samsi dan istrinya Sundari, Sugiat, Leo menggantikannya dengan anak Sukaesih. Bertahun-tahun kemudian setelah kemerdekaan Indonesia, Sugiat, yang kini menjadi pengacara, menangani kasus yang melibatkan Sukaesih dan Leo dan perlahan mengungkap kebenaran.
Menutup tahun 2022, Dr. Samsi memulai debutnya di Indonesia pada Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) di Yogyakarta, dengan dirilisnya buku pendamping Ratna Asmara: Wanita di Kedua Sisi Kamera.
Dengan sedikitnya dokumentasi mengenai sejarah perempuan dalam sinema Indonesia, apalagi minat yang lebih besar terhadap sinema klasik Indonesia, Kelas Liarsip terkejut melihat banyaknya penonton yang menonton pemutaran perdana di Indonesia.
“Kami tidak terlalu berharap banyak dengan jumlah orang yang akan bergabung, tapi itu tidak masalah bagi kami.” Efi, salah satu dari sedikit arsiparis film di Indonesia, mengatakan melalui email.
“Pada akhirnya, tiketnya terjual habis,” katanya kepada Post, “Sebagian besar penonton tidak mengetahui apa pun tentang Ratna Asmara sebelumnya dan mereka mengungkapkan betapa bersyukurnya mereka karena kami memperkenalkannya.” Dia berkata.
Mendokumentasikan kehidupan dan film Ratna serta terbentuknya Kelas Liarsip, buku ini membacakan sebagian biografi-sebagian-buku pegangan bagi para pengarsip dan peminat film masa depan.
Buku ini menggambarkan tantangan-tantangan yang dihadapi Kelas Liarsip dalam memperoleh informasi kearsipan tentang Ratna dan sisa-sisa cuplikan film-film Ratna yang belum lengkap, serta refleksi mengenai arsip Indonesia dan keseruan melihat film yang telah selesai didigitalkan untuk pertama kalinya.
Ratna menjadi pusat perhatian
Ratna Asmara, lahir pada tahun 1913 di Sawah Lunto, Sumatera Barat, hidup dan berkarya pada masa pemerintahan kolonial Belanda, kemudian pendudukan Jepang hingga tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia.
Ia pertama kali memasuki industri kreatif pada tahun 1930, saat berusia 16 tahun, membentuk grup pertunjukan Suhara Opera bersama saudara-saudaranya yang berkeliling kota-kota di Jawa. Calon suami Ratna, penulis grup teater Dardanella Andjar Asmara, menghadiri salah satu pertunjukan Suhara Opera, dan keduanya memulai kemitraan kreatif yang panjang, meskipun prestasi Ratna mengalahkan prestasi suaminya akan menjadi
Setelah keduanya menikah, Ratna menggabungkan Suhara Opera dengan Dardanella pada tahun 1930-an. Dia melakukan tur Asia bersama grup tersebut sebagai penari tradisional dan tampil bersama mereka selama lebih dari dua dekade sekaligus mengembangkan namanya sebagai aktris di panggung dan film.
Ratna membintangi beberapa film box office antara lain Kartinah (1940) dan Djauh di Mata (Far From Sight, 1948). Dia juga bekerja sebagai bagian dari kru film, membantu kamera, sebagai pelatih tari dan penata rias, sebelum melakukan debut penyutradaraan pada tahun 1951.
Ia menyutradarai lima film, yang pertama adalah Sedap Malam (Tuberose), diikuti oleh Musim Bunga di Selabintana (Musim Bunga di Selabintana) pada tahun 1952, Dr. Samsi juga memproduksi Nelajan (Nelayan) pada tahun 1952, dari tahun 1953 hingga 1954 dan film terakhirnya Dewi dan Pemoleh Jenderal Pemilu pada tahun 1954.
Dalam biografi Ratna, Umi mencatat bahwa Nelajan yang dirilis di bawah rumah produksi Ratna sendiri, Ratna Films, merupakan salah satu film pertama di Indonesia yang menggunakan metode akting, karena Ratna menginstruksikan para aktornya untuk tinggal bersama nelayan di Labuan selama 10 hari, Banten, untuk hidup. untuk memahami situasi sosial mereka untuk memainkan karakter mereka secara realistis.
Pada tahun 1954, setelah mendapat pengakuan baik secara nasional maupun internasional, Ratna melakukan perjalanan ke Italia sebagai siswa tamu di sekolah film bergengsi Centro Sperimentale di Cinematografia di Roma.
Adegan terakhir
Namun sejak akhir tahun 1950-an, hubungan Ratna dengan dunia perfilman menjadi kabur. Pada tahun 1961, Ratna menemani suami keduanya, diplomat Sutan Usman Karim, ke Myanmar dan kemudian India, di mana ia diyakini berperan sebagai duta budaya, menyanyi dan menari di berbagai acara. Namun tidak ada catatan film selanjutnya dan sedikit dokumentasi tentang kehidupannya menjelang kematiannya di Indonesia pada 10 Agustus 1968.
Kelas Liarsip telah mencoba melacak anggota keluarga Ratna tetapi sejauh ini tidak berhasil.
“Kami berharap peluncuran buku ini sekaligus pemutaran perdana Dr. Samsi dan artikel yang dimuat di media dapat menyebarkan informasi tersebut. Kami sangat berharap dapat menghubungi keluarganya, dan kami sangat senang jika mereka dapat membantu kami melanjutkan penelitian ini.” kata Julita.
Kelas Liarsip sudah mulai melakukan tur filmnya di berbagai lokasi, dengan penayangan terbaru di Palu dan Poso, Sulawesi Tengah, pada Desember 2022.
Pada tanggal 7 Maret, Dr. Samsi di Arthouse Cinema MASH di Denpasar, Bali, dan keesokan harinya giliran Jakarta, dengan pemutaran film dan kuliah umum tentang Dr. Samsi di Goethe-Institut Jakarta yang bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional.