Bekerja sama untuk meningkatkan keragaman makanan anak

7 September 2022

JAKARTA – Pemerintah telah berkomitmen untuk menurunkan prevalensi stunting pada anak hingga di bawah 14 persen pada tahun 2024. Hal ini merupakan fokus yang baik dalam agenda kesehatan pemerintah mengingat data resmi menunjukkan bahwa satu dari empat anak di bawah usia lima tahun mengalami stunting.

Stunting diketahui berdampak pada kemampuan fisik, kesehatan dan perkembangan serta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Intervensi khusus nutrisi adalah kunci untuk mengurangi risiko, termasuk diversifikasi pola makan.

Namun kenyataannya banyak anak-anak Indonesia yang tertinggal dalam upaya ini, dan permasalahannya semakin besar di kalangan keluarga kurang mampu.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan agar semua bayi dan anak kecil memenuhi target keragaman makanan minimum (MDD) yang mencakup konsumsi harian setidaknya lima dari delapan kelompok makanan: biji-bijian, akar-akaran dan umbi-umbian, polong-polongan dan kacang-kacangan, produk susu, makanan daging seperti daging atau ikan, telur, buah dan sayur kaya vitamin A, buah dan sayur lainnya, serta ASI.

Namun, di Indonesia, data menunjukkan bahwa hanya separuh bayi dan anak kecil yang mengonsumsi makanan yang beragam. Berdasarkan tinjauan survei demografi dan kesehatan Indonesia antara tahun 2007 dan 2017 yang saya pimpin, bayi hingga usia enam bulan hanya mengonsumsi dua hingga tiga jenis kelompok makanan per hari.

Keragaman pola makan tampaknya meningkat seiring bertambahnya usia; anak-anak makan rata-rata empat kelompok makanan pada usia sembilan bulan dan lima kelompok makanan pada usia 18 bulan. Namun, asupan makanan secara keseluruhan didominasi oleh biji-bijian, umbi-umbian dan umbi-umbian dan kurang dari 60 persen anak-anak mengonsumsi makanan daging dan telur. Hal ini memprihatinkan, karena makanan hewani sangat penting untuk mengurangi risiko kekurangan gizi, terutama pada anak-anak di rumah tangga miskin.

Keberagaman pola makan juga dipengaruhi oleh kesenjangan, dimana anak-anak dari latar belakang sosial ekonomi kurang beruntung di Indonesia cenderung mengonsumsi makanan yang kurang bervariasi. Para ibu di rumah tangga ini sering kali memiliki tingkat pendidikan yang rendah, termasuk pengetahuan pangan yang tidak memadai, literasi kesehatan, atau perilaku mencari informasi gizi, yang berdampak pada hasil keragaman pangan.

Sebaliknya, keluarga yang lebih makmur cenderung memiliki lebih banyak sumber daya untuk memperoleh makanan yang lebih bervariasi dan bergizi. Kelompok ini juga biasanya memiliki akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan dan informasi, yang dapat mendorong praktik pemberian makan anak yang optimal dan pola makan yang lebih beragam.

Pandemi COVID-19 dan perang di Ukraina telah mengganggu sistem pangan di seluruh dunia dan menyebabkan lonjakan harga pangan. Di Indonesia, harga barang-barang seperti cabai merah, minyak goreng, dan telur naik dan memicu inflasi. Dampak dari kenaikan harga-harga ini dan permasalahan terkait ketahanan pangan akan selalu memberikan dampak yang paling buruk bagi masyarakat miskin. Hal ini dapat mencakup perubahan pola makan, yang berdampak buruk pada status gizi dan kesehatan mereka.

Hal ini menjadi perhatian Indonesia dan dunia. Pada akhir tahun 2021, diperkirakan 50 juta anak menderita wasting – bentuk malnutrisi yang paling mengancam jiwa. Hal ini mungkin diperburuk oleh perkembangan global saat ini.

Lalu apa yang bisa dilakukan Indonesia untuk mendukung pola makan yang beragam dan sehat pada anak-anak?

Panduan Gizi Seimbang yang dikeluarkan pemerintah merekomendasikan agar masyarakat mengonsumsi makanan pokok bergizi dari berbagai kelompok makanan, mendorong masyarakat untuk “bersyukur dan menikmati beragam makanan”. Namun, beberapa pesannya tidak praktis dan sulit untuk diikuti. Hal ini juga kurang disosialisasikan dan diterapkan dibandingkan dengan “Empat Sehat, Lima Sempurna” yang masih digunakan oleh beberapa industri dan komunitas. Pendekatan yang lebih mudah adalah dengan mengikuti indikator keanekaragaman pangan yang diterima secara internasional dan ditetapkan oleh WHO.

Selain itu, gizi anak tidak dapat ditingkatkan tanpa mengatasi permasalahan kesenjangan yang mendasar, sehingga memerlukan pendekatan multisektoral.

Dalam sistem kesehatan, para ibu harus menerima sesi konseling yang berkualitas mengenai praktik pemberian makan yang tepat selama perawatan sebelum dan sesudah melahirkan. Meskipun 96 persen perempuan hamil memiliki akses terhadap layanan kehamilan pada tahun 2018, hanya 74 persen yang melakukan setidaknya empat kali kunjungan pemeriksaan kehamilan, berkisar antara 44 persen di Papua hingga 90 persen di Yogyakarta. Hal ini menunjukkan perlunya meningkatkan akses terhadap kesehatan bagi kelompok marginal.

Aspek perawatan lainnya juga harus diperhatikan, termasuk memastikan bahwa sesi konseling memiliki durasi yang cukup, penggunaan pedoman nutrisi yang tidak standar, dan meningkatkan pengetahuan dan pelatihan di kalangan profesional kesehatan umum tentang keragaman makanan.

Seperti halnya sistem kesehatan, sistem pendidikan di Indonesia menunjukkan kesenjangan antar wilayah geografis, gender dan status ekonomi, khususnya di tingkat menengah dan tinggi. Pemerintah harus mendorong partisipasi sekolah yang lebih besar di kalangan anak perempuan dan mengatasi alasan-alasan utama putus sekolah, seperti dana yang tidak mencukupi, jarak, partisipasi angkatan kerja, perkawinan dan tugas-tugas rumah tangga.

Sistem pendidikan yang lebih terdesentralisasi dapat dipertimbangkan dan pengembangan peluang pembelajaran alternatif, seperti pendidikan non-formal. Dengan partisipasi yang lebih adil dalam pendidikan, pendidikan pangan dan pola makan berbasis sekolah dapat mengatasi kesenjangan pengetahuan gizi dengan lebih efektif.

Pada akhirnya, strategi peningkatan pendapatan yang lebih beragam akan membantu mengurangi hambatan ekonomi terhadap akses terhadap pangan yang bervariasi. Hal ini dapat mencakup inisiatif seperti produksi pangan rumahan, yang merupakan sistem produksi tanaman atau hewan skala kecil di sekitar rumah tangga atau komunitas yang menggunakan teknologi sederhana dan modal rendah. Kegiatan tersebut dapat mencakup namun tidak terbatas pada peternakan ayam di halaman belakang, kolam ikan kecil, dan kebun sayur.

Peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan akan meningkatkan pendapatan rumah tangga dan dapat didorong oleh kebijakan nasional yang lebih baik bagi ibu bekerja, seperti cuti melahirkan yang memadai dan asuransi kesehatan nasional. Perempuan juga harus diberdayakan untuk memandu alokasi pendapatan dalam rumah tangga, yang dapat membantu meningkatkan hasil gizi anak.

Kita harus menyadari adanya berbagai tantangan terkait pola makan dan gizi pada anak-anak, yang memerlukan komitmen kuat dan pendekatan multisektoral untuk meningkatkan intervensi khusus gizi, seperti meningkatkan keragaman pola makan. Dukungan yang memadai dari penelitian terkini serta program dan kebijakan berbasis bukti diharapkan akan membawa kita menuju generasi masa depan yang lebih sehat dan bergizi.

***

Penulis adalah peneliti di Departemen Gizi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Alma Ata, Yogyakarta, dan kandidat PhD di School of Public Health University of Sydney.

sbobet terpercaya

By gacor88