2 September 2022
JAKARTA – Di negara yang memiliki landasan keagamaan yang kuat, seniman etnik Indonesia menghadapi tantangan unik dalam mengamalkan karya seni dan melestarikan budayanya.
Jesral Tambun (36) tak bisa berbuat banyak saat ukiran kayu yang dibuatnya untuk sebuah rumah ditolak. Karyanya menampilkan gorga: motif dekoratif yang berasal dari mitologi Batak. Namun kliennya rupanya tidak setuju dengan filosofi yang mendasari ukirannya.
“Setelah selesai, (ukiran) yang saya buat dihapus dan diganti” dengan desain gorga yang diambil dari Internet, kata gorga (seniman gorga) asal Kabupaten Toba, Sumatera Utara itu kepada The Jakarta Post.
Ukiran gorga Jesral menggambarkan mitos asal usul manusia Batak: Ompu Mulajadi Nabolon, dewa tertinggi, memerintahkan ayam Manuk Kulambu Jati untuk menetaskan tiga telur, yang kemudian menetaskan tiga anak laki-laki.
Ketika mereka besar nanti, tidak ada satu pun putranya yang memiliki pasangan, sehingga Manuk Kulambu Jati meminta kepada Ompu Mulajadi Nabolon melalui perantara Leang-leang Mandi untuk memberikan istri bagi ketiga putranya. Ompu Mulajadi Nabolon mengabulkan keinginannya dengan memberikan tiga batang bambu yang melahirkan tiga orang perempuan.
Namun, pemilik rumah tidak menyetujui cerita yang dihadirkan Jesral dalam ukirannya. “Desain gorga yang saya buat tidak sesuai dengan keyakinan agamanya,” kata Jesral.
Kreativitas vs dogma
Para seniman etnis di negara ini menghadapi banyak tantangan dalam masyarakat yang menganut ajaran enam agama resmi: Islam, Katolik, Protestan, Budha, Konghucu, dan Hindu. Bergabungnya agama-agama mapan dan sistem kepercayaan lebih dari 1.300 budaya etnis di Indonesia terkadang menjadi penyebab seni etnik kurang mendapat apresiasi dan penerimaan masyarakat.
Inilah sebabnya mengapa banyak seniman, termasuk lulusan seni dari universitas, memilih untuk menekuni genre realistik, abstrak, instalasi, dan genre kontemporer atau Barat lainnya.
Namun, bagi sebagian kecil seniman, seni etnik merupakan sebuah panggilan atau jalan yang ditakdirkan. Demikian pengalaman seniman visual etnik Deep Tarigan (39) yang kerap mengilhami karya seninya dengan mitos-mitos suku Karo, subetnis budaya Batak di Sumatera Utara.
Misalnya, pasca letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo tahun 2010, Deep membuat lukisan yang terinspirasi dari bencana alam tersebut, menghubungkannya dengan realitas budaya kepercayaan Karo.
Lukisannya menampilkan gunung berapi yang sedang meletus, rumah adat, dan kadal. Di bawah gunung ia mengilustrasikan tari topeng Gundala-gundala budaya Karo, dengan salah satu penarinya memegang kepala kerbau ke arah gunung untuk disembelih.
Mengamati secara mendalam praktik ritual yang dilakukan masyarakat Lau Kawar, sebuah desa dekat gunung, dan mencatatnya di atas kanvas.
“Namun pada saat ritual saya melihat penduduk desa menyembelih seekor lembu, dan dalam lukisan saya mengubah lembu tersebut menjadi kerbau karena imajinasi saya mengatakan bahwa hewan yang akan disembelih kemungkinan besar adalah kerbau,” jelasnya.
Setelah ia menyelesaikan lukisannya dan memajangnya di kedai kopinya, hal itu memicu perdebatan lokal tentang dogma agama dan realitas budaya.
“Inilah yang keluar dari hati saya. Saya hanya mencoba menuangkannya ke dalam lukisan (dengan) sudut pandang yang berbeda,” kenangnya menceritakan kepada mereka yang tidak sependapat dengan lukisannya. Sebagai seorang seniman, kata Deep, ia sekadar menggambarkan realitas di sekitarnya dengan memanfaatkan imajinasinya.
Namun karya seninya diapresiasi oleh orang-orang di luar komunitasnya.
Seorang turis asal Rusia pernah membeli potongan topeng gundala gundala yang dipajang di kedai kopinya. Ternyata turis tersebut adalah seorang seniman dan kolektor seni.
Patung setinggi 33 sentimeter karya Deep ini menggambarkan salah satu dari empat jenis topeng Gundala gundala: raja, putri, permaisuri, dan panglima tertinggi.
Legenda Karo menceritakan seekor burung enggang yang sering bermain dengan seorang putri, namun sang putri tidak diperbolehkan memegang ekor burung enggang tersebut. Namun suatu hari sang putri secara tidak sengaja meraih ekornya. Burung enggang marah dan sang panglima berusaha menenangkannya, namun sia-sia. Raja kemudian memanggil dukun agung untuk meredam amarah burung enggang, dan sang putri selamat dari amukan burung tersebut.
“Ada juga mitos yang meyakini tarian topeng ini dilakukan untuk memohon hujan,” kata Deep.
Selain lukisannya, Deep juga menggunakan simbol-simbol mitos dan cerita masyarakat Karo dalam patung-patungnya dan berbagai cinderamata, antara lain cincin, gelang, kalung, dan kaos oblong. Hal ini mungkin terkesan ambisius, karena terkadang karya kreatif tersebut ditolak.
Deep masih memandang seni etnik sebagai jalan yang harus diambilnya sebagai seorang seniman. Sebab, ia juga mengkhawatirkan keberlangsungan kesenian Karo: jika tidak dilestarikan, lama kelamaan bisa hilang.
“Saya sangat berharap kesenian etnik kita dimasukkan ke dalam kurikulum lokal mulai dari sekolah dasar, sehingga generasi sekarang mempunyai pemahaman yang benar tentang budayanya dan dapat mengapresiasinya,” ujarnya.
Interpretasi terbuka
Mangatas Pasaribu, 65 tahun, dosen seni rupa Universitas Negeri Medan, sependapat bahwa seni etnik menghadapi tantangan berat. Sebagai seorang akademisi dan seniman yang peduli terhadap masa depan seni etnik, ia kerap mendorong mahasiswanya untuk mendalami bidang ini.
Menurut Mangatas, seni rupa Indonesia umumnya melirik ke Barat, khususnya Eropa, sedangkan seniman Eropa lebih suka mengabadikan keindahan alam nusantara melalui seni realistik, realis romantis, dan naturalistik, serta mereproduksi apa yang dilihat untuk mengenangnya.
Namun (kecenderungan) meniru masih ada hingga saat ini, yaitu melukiskan apa yang dilihat (fisioplastik), sedangkan ide dan imajinasi sebenarnya juga bisa mengembangkan apa yang dilihat (ideoplastik), kata Mangatas.
Ia juga tidak setuju dengan kompilasi pemahaman dan persepsi keagamaan dogmatis yang bersumber dari seni tradisional, karena setiap karya seni dapat ditafsirkan secara luas, hanya dibatasi oleh imajinasi pemirsanya.
“Saya sendiri seorang penatua gereja, tapi sebagai seniman saya suka menafsirkan simbol-simbol mitologi Batak. Apakah itu berarti saya tidak percaya pada agama saya?” kata Mangata.
Menurutnya, kunjungan berkala ke pameran seni rupa dapat membantu masyarakat mengembangkan kemampuannya dalam memaknai seni tanpa terikat agama.
“Penting untuk membangun apresiasi dan kemampuan estetis agar pada akhirnya dapat merasakan ekstasi dari karya seni tersebut,” imbuhnya.
Hidup memanggil
Secara otodidak, Jesral mengembangkan keterampilan dan gaya seni etniknya secara organik melalui perjalanan spiritual yang menghadapi banyak kesulitan pribadi.
Dia mengatakan titik balik rohaninya terjadi pada tanggal 1 Juli 2011, ketika kebakaran menghancurkan rumahnya dan kesehatannya memburuk selama tiga tahun berikutnya. Tiga belas tahun sebelum kebakaran, ayahnya meninggal dan ibunya meninggal pada tahun 2010, meninggalkan Jesral dan saudara-saudaranya menjadi yatim piatu.
Mereka menjadi terasing dari masyarakat desa dan Jesral berubah dan lebih memilih menyendiri. Beberapa orang di desanya bahkan menertawakannya karena ia sering membawa pulang kayu bekas untuk diukir.
Dalam kesendirian itu ia berkelana dari kota ke kota dan mengabadikan motif gorga yang ditemuinya dengan kertas dan pensil. Jesral memiliki bakat alami dalam bidang seni pahat, dan pengalaman hidupnya memotivasinya untuk menekuni seni ukir gorga dan mengasah kemampuannya hingga akhirnya menjadi seorang gorga.
Salah satu patung etniknya digunakan untuk mewakili Danau Toba, salah satu ikon pariwisata Indonesia, dan ia semakin dikenal oleh banyak orang.
Berbagai ukiran ia garap setiap hari, mulai dari merehabilitasi rumah tua Batak hingga membuat ornamen gorga untuk rumah modern. Dia perlahan membangun kembali rumahnya yang terbakar dan mengubahnya menjadi bengkel.
“Saya benar-benar menentang arus,” katanya, sambil mengakui bahwa konsisten dalam mengejar seni etnik merupakan sebuah tantangan.
“Hanya ikan mati yang mengikuti arus,” katanya sambil tertawa ketika mendengar anggapan bahwa ia harus menjadi ikan yang kuat untuk melawan arus.
“Iya, kalau itu kata orang, baguslah,” ucapnya.