25 April 2023
TOKYO – Negara-negara industri Kelompok Tujuh (G7) harus bekerja sama untuk menemukan beragam cara untuk mendorong dekarbonisasi, sekaligus memastikan pasokan energi yang stabil.
Para menteri iklim, energi dan lingkungan hidup G7 mengadakan pertemuan di Sapporo dan sepakat untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap.
Penghapusan bertahap ini sebelumnya hanya terbatas pada batu bara, namun perjanjian tersebut diperluas hingga mencakup semua bahan bakar fosil, termasuk gas alam.
Negara-negara G7 menegaskan pentingnya “mengurangi emisi gas rumah kaca global sekitar 60% pada tahun 2035, dibandingkan dengan tingkat emisi pada tahun 2019.” Ini adalah jumlah pengurangan yang diperlukan untuk membatasi kenaikan suhu dari tingkat pra-industri menjadi 1,5 C, dan diperlukan tindakan yang lebih ketat untuk mencapai tujuan ini.
Penegasan kembali ini nampaknya menjadi tanda bahwa anggota G7 mempunyai kesadaran yang sama mengenai kemajuan pemanasan global.
Namun, terdapat perbedaan pendapat di antara negara-negara G7 mengenai langkah-langkah tertentu, seperti jangka waktu penghentian bertahap dan metode pengurangan.
Inggris dan negara-negara lain telah meminta indikasi eksplisit kapan pembangkit listrik tenaga batu bara akan dihentikan secara bertahap. Namun permintaan tersebut tidak terealisasi karena mendapat tentangan dari Jepang.
Jepang hanya mempunyai sedikit lokasi yang cocok untuk pembangkit listrik tenaga surya dan angin, dan produksi energi terbarukan sulit untuk ditingkatkan. Diperkirakan 19% pasokan listriknya pada tahun fiskal 2030 masih berasal dari batu bara.
Sebagai upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, Jepang telah mengusulkan metode pencampuran amonia, yang tidak mengeluarkan CO2 saat dibakar, dengan batu bara, namun hal ini dilaporkan mendapat kritik dari Amerika Serikat dan Eropa. Para pembangkang mengatakan gagasan ini akan mengarah pada pelestarian pembangkit listrik tenaga panas berbahan bakar batu bara.
Jika di masa depan ada teknologi yang dapat menghasilkan listrik hanya dengan menggunakan amonia dan teknologi untuk menangkap dan menyimpan CO2, hal ini akan menjadi langkah efektif untuk mengekang pemanasan global. Jepang harus melakukan segala upaya untuk menjelaskannya dengan hati-hati dan mendapatkan pemahaman dari negara lain.
Banyak negara berkembang akan bergantung pada pembangkit listrik tenaga batu bara untuk saat ini. Penting juga bagi Jepang untuk berkontribusi pada dekarbonisasi negara-negara berkembang yang menggunakan teknologinya.
Di sektor otomotif, negara-negara G7 berkompromi dengan target pengurangan emisi CO2 dari kendaraan di negaranya sebesar 50% pada tahun 2035 dari tingkat emisi tahun 2000.
Namun, negara-negara G7 belum dapat menyepakati target pangsa kendaraan listrik (EV) dalam penjualan kendaraan baru, sebuah tujuan yang didorong oleh Amerika Serikat dan Eropa. Jepang, yang industri otomotifnya kuat dalam produksi kendaraan hibrida, enggan menetapkan target.
Sedangkan untuk kendaraan listrik, pada bulan Maret Uni Eropa merevisi kebijakannya untuk melarang semua kendaraan bertenaga mesin pembakaran baru pada tahun 2035, dengan mengumumkan bahwa hanya kendaraan bermesin pembakaran yang menggunakan bahan bakar sintetis dengan emisi CO2 rendah yang diperbolehkan. Hal ini mencerminkan niat Jerman.
Setiap negara dapat dikatakan sedang menjajaki jalur realistis menuju dekarbonisasi. Diskusi mengenai langkah-langkah efektif diharapkan dapat diperdalam dan perkembangan teknologi dapat dipercepat.