31 Januari 2023
ISLAMABAD – Tindakan Islamofobia yang berulang di Eropa dalam beberapa hari terakhir dengan jelas menggambarkan fakta bahwa benua ini mempunyai masalah serius, karena para pembenci anti-Muslim menghina simbol dan angka yang dianut oleh lebih dari 1,5 miliar orang di seluruh dunia.
Kemarahan terbaru terjadi di luar sebuah masjid di Denmark pada hari Jumat, yang dilakukan oleh Rasmus Paludan, seorang tokoh sayap kanan yang memiliki sejarah kebencian anti-Muslim. Oknum ini membakar Alquran, tindakan keji yang juga dilakukannya di luar Kedutaan Besar Turki di Swedia beberapa hari sebelumnya.
Dalam insiden lain baru-baru ini, seseorang yang mengepalai Pegida cabang Belanda, sebuah kelompok neofasis Jerman, menajiskan Kitab Suci di Belanda. Bagi Paludan, ‘pembenaran’ atas kemarahan tersebut adalah karena keberatan Turki terhadap masuknya Swedia dan Finlandia ke dalam NATO. Namun, niat sebenarnya tampaknya adalah untuk menghina Islam dan simbol-simbol sucinya. Sayangnya, ini bukan pertama kalinya simbol-simbol Islam menjadi sasaran kebencian di Eropa, seperti yang ditunjukkan dalam karikatur penghujatan dan episode Charlie Hebdo.
Tanggapan dari sebagian besar pemimpin Eropa dan masyarakat sipil adalah meskipun tindakan tersebut tercela, prinsip kebebasan berpendapat menghalangi mereka untuk mengambil tindakan terhadap pelakunya. Posisi ini tidak menahan air. Pertama, Eropa mempunyai sejarah sentimen anti-Islam. Misalnya, sebagian besar literatur Eropa pada Abad Pertengahan penuh dengan konten Islamofobia yang mengerikan. Di dunia modern, tampaknya prasangka yang sama dari umat Kristen di Eropa jelas-jelas telah meresap ke dalam Eropa sekuler.
Lebih jauh lagi, masyarakat Eropa sendiri telah membuktikan bahwa kebebasan berpendapat tidaklah mutlak, seperti yang ditunjukkan oleh undang-undang penolakan Holocaust. Jika pertanyaan tentang suatu peristiwa sejarah dapat berujung pada denda dan hukuman penjara di benua tersebut, maka tentunya mereka yang menyerang simbol agama Islam, dan bahkan semua agama, harus dihukum. Benar juga bahwa para ekstremis mencoba melegitimasi kekerasan dan kejahatan kebencian terhadap umat Islam dengan menyerang simbol-simbol Islam.
Berbeda dengan pendekatan Eropa yang meragukan, beberapa pihak di Barat berupaya membangun jembatan. Misalnya, pemerintah Kanada baru saja menunjuk penasihat pertamanya untuk memerangi Islamofobia. Langkah yang disambut baik ini membuktikan bahwa Islamofobia bukan hanya sebuah konsep abstrak, namun sebuah realitas kekerasan yang dihadapi jutaan Muslim di seluruh dunia. Kekerasan inilah yang coba dinormalisasi oleh para penutur kebencian sayap kanan di Eropa dan negara lain dengan menyerang simbol-simbol Islam.
Harus ada perdebatan serius di Eropa mengenai kejahatan kebencian Islamofobia, seperti aksi pembakaran Alquran, dan tindakan hukum diperlukan untuk mencegah kemarahan serupa lebih lanjut. Fakta juga menunjukkan bahwa ekstremis Muslim dan kelompok teroris terdorong oleh tindakan kebencian ini. Eropa harus melawan Islamofobia yang merajalela ini, alih-alih melindungi prasangka abad pertengahan yang berkedok kebebasan berpendapat.