Diplomasi Indonesia: Mendayung di antara dua karang di dunia yang berubah dengan cepat

10 Januari 2023

JAKARTA – Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menekankan politik luar negeri Indonesia di awal tahun 2022 yang mengutamakan proses pemulihan, perlindungan warga negara di luar negeri, pemajuan perdamaian dan peran kepemimpinan Indonesia di Kelompok 20. Ternyata, tahun 2022 adalah tahun yang penuh peristiwa.

COVID-19 telah mencapai tahun ketiga dan perang tak terduga di Ukraina telah menyebabkan krisis pangan dan energi global, dan bahkan gejolak keuangan, sementara ketegangan geopolitik di antara negara-negara besar semakin dalam.

Di tengah tantangan dan ketidakpastian baru, terdapat prestasi penting dalam kepemimpinan dan diplomasi Indonesia.

Di bidang ekonomi dan pemulihan, kepresidenan G20 Indonesia mencapai konsensus pada Deklarasi Pemimpin G20 Bali, meskipun terdapat perpecahan yang kuat di dalam kelompok tersebut. Deklarasi tersebut menguraikan komitmen pada langkah-langkah dan program-program konkret untuk mengatasi tantangan ekonomi dan sosial.

Dengan momentum G20, anggota dan undangan G20 telah membawa investasi dan kerja sama dalam setidaknya 140 proyek bilateral senilai sekitar US$71,49 miliar ke Indonesia.

Forum bisnis dengan Amerika Latin dan Karibia (INA-LAC) serta Eropa Tengah dan Timur (INA-CEE) menghasilkan transaksi dan potensi bisnis masing-masing sekitar $179,1 juta dan $386,6 juta.

Indonesia dan Swiss menandatangani Bilateral Investment Treaty (BIT) pada Mei 2022 untuk meningkatkan kepastian usaha dan memperkuat perlindungan hukum. Sementara Forum Pembangunan Indonesia-Pasifik (IPFD) memberikan peta jalan untuk kerja sama pembangunan jangka panjang dengan tetangga Pasifik kita.

Di bidang kesehatan, Indonesia telah mengamankan 516,85 miliar dosis vaksin hingga awal Desember 2022.

Melalui Fasilitas Akses Global Vaksin COVID-19 (COVAX), Indonesia juga membantu mendistribusikan 1,84 miliar dosis vaksin ke sekitar 146 negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Perlindungan warga negara di luar negeri semakin menantang dengan pandemi berkepanjangan dan konflik baru. Pada Maret 2022, misalnya, Indonesia harus mengevakuasi 133 warganya dari Ukraina.

Mengenai perang di Ukraina, Presiden Joko “Jokowi” Widodo adalah pemimpin Asia pertama yang mengunjungi Rusia dan Ukraina untuk mengadvokasi penyelesaian konflik secara damai, dan upaya kemanusiaan, termasuk mengatasi gangguan rantai pasokan yang memengaruhi pangan – dan memengaruhi energi krisis.

Indonesia terus mendukung rakyat Afghanistan dan Palestina dalam upaya mereka. Misalnya, Konferensi Internasional Pendidikan Wanita Afghanistan (ICAWE) baru-baru ini yang diadakan di Bali pada November 2022 secara khusus mendukung pendidikan wanita Afghanistan.

Hasil ini menunjukkan kepemimpinan dan diplomasi Indonesia dalam mengarungi tantangan baru dan tidak pasti di tahun 2022.

Lantas apa yang akan dihadapi diplomasi Indonesia pada tahun 2023?

Pertama, ASEAN akan berada di tengah tahun 2023.

Dari tahun 2000-2022, ASEAN memiliki tingkat pertumbuhan yang positif dan diperkirakan akan mencapai pertumbuhan sekitar 5,0-5,3 persen pada tahun 2022, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan global sebesar 3,2 persen. Penting untuk mengambil momentum ASEAN sebagai episentrum pertumbuhan, termasuk implementasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), dan ASEAN Outlook di Indo-Pasifik, serta menggunakan mekanisme terkait krisis kesehatan ASEAN untuk menciptakan ekonomi yang inklusif dan mencapai pemulihan pascapandemi yang berkelanjutan.

Masalah politik dan keamanan akan menjadi masalah yang sulit; namun, mereka harus ditangani secara terbuka dan konstruktif, termasuk dengan mitra eksternal ASEAN.

Ke depan, dengan anggota baru Timor-Leste dan integrasi yang lebih dalam, ASEAN membutuhkan institusi, proses dan mekanisme yang lebih kuat.

Agenda ASEAN pasca-2025 akan sangat penting untuk memastikan kawasan yang lebih aman dan stabil, menutup kesenjangan pembangunan dan infrastruktur, serta memperkuat ketahanan terhadap guncangan dan krisis di masa depan.

Kedua, Indonesia akan menghadapi tantangan yang berkelanjutan, termasuk perlambatan ekonomi, kenaikan harga pangan dan energi, serta krisis iklim.

Pertumbuhan global diperkirakan hanya mencapai 2,7 persen pada 2023, naik dari 6 persen pada 2021, dan tingkat inflasi mencapai 6,5 persen pada 2023, naik dari 4,7 persen pada 2021.

Harga pangan dan energi mungkin turun, tetapi guncangan harga yang tiba-tiba dapat menyebabkan inflasi lebih lama.

Dalam hal perubahan iklim, tahun 2023 diperkirakan akan menjadi salah satu suhu rata-rata global terhangat, dengan kenaikan antara 1,08 hingga 1,32 derajat Celcius.

Tantangan-tantangan ini tidak dapat diatasi sendirian. Diplomasi pada tahun 2023 membutuhkan koordinasi dan kerja sama yang lebih besar di tingkat multilateral, regional, dan bilateral.

Terlepas dari tantangan ini, Indonesia tetap menjadi lokasi yang menguntungkan untuk bisnis dan investasi. Pada tahun 2023, pertumbuhan diperkirakan antara 4,7 dan 5,3 persen.

Diplomasi Indonesia pada 2023 selanjutnya harus fokus pada investasi inbound dan outbound, membuka akses pasar termasuk pasar non-tradisional, mendorong transisi energi dan industri hijau, memperkuat ketahanan kesehatan dan risiko bencana, serta mengoptimalkan digitalisasi dan pasar digital.

Indonesia juga harus mengamankan sumber pangan, pupuk dan energi yang lebih bersih untuk menjamin keterjangkauan masyarakat, sambil terus terlibat secara konstruktif dalam tata kelola global terkait ketahanan pangan dan energi.

Ke depan, kepemimpinan dan diplomasi Indonesia harus tetap fokus pada kesejahteraan rakyat, dengan tetap teguh pada prinsip politik luar negeri yang aktif dan mandiri.

Cara kita harus gesit dan dapat beradaptasi, seperti yang digambarkan oleh nenek moyang kita sebagai “mendayung di antara dua karang”, dalam menghadapi dunia yang berubah dengan cepat saat ini.

***

Penulis adalah Kepala Pusat Kebijakan Strategis Multilateral, Kementerian Luar Negeri RI.

SDY Prize

By gacor88