5 Desember 2022
JAKARTA – Ada yang menarik dari gaya kepemimpinan Pj Gubernur Jakarta Heru Budi Hartono. Ia seolah menggambarkan gabungan karakter kepemimpinan pendahulunya, Anies Baswedan dan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.
Heru meniru kesopanan Anies, namun sekaligus menerapkan kebijakan normalisasi sungai ala Ahok untuk mengatasi banjir kota. Masuknya Heru ke Balai Kota Jakarta sepertinya merupakan kemunduran bagi era kepemimpinan kota sebelumnya, termasuk Joko “Jokowi” Widodo, yang kini menjadi presiden.
Melihat rekam jejak Heru, kedekatannya dengan Jokowi dan Ahok bisa dibilang tak perlu diragukan lagi. Sebagai Wakil Gubernur Jakarta, Ahok mengenalkan Heru kepada Gubernur Jokowi. Ahok kagum dengan konsep di balik pembongkaran bangunan liar yang dilakukan Heru di bantaran Kali Gendong, Jakarta Utara, demi pengendalian banjir yang lebih baik.
Heru memang berpengalaman dalam menangani persoalan bangunan liar, terbukti dari perannya di balik pendirian Taman Bersih, Manusiawi dan Berwibawa (BMW) di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Ahok pun meminta Heru menjelaskan konsep tersebut di hadapan Jokowi. Terkesan, Jokowi langsung mengangkat Heru menjadi Kepala Biro Kerjasama Regional dan Luar Negeri Jakarta.
Untuk menguasai Waduk Pluit, Heru dilantik menjadi Wali Kota Jakarta Utara pada tahun 2014. Jabatan terakhirnya di Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta adalah Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah. Kemudian Jokowi selaku Presiden menunjuk Heru sebagai Kepala Sekretariat Presiden pada tahun 2017.
Mungkin karena rekam jejaknya, Heru dipilih oleh presiden sebagai gubernur sementara Jakarta. Presiden meminta Heru fokus menyelesaikan tiga persoalan utama yang dihadapi ibu kota: banjir, kemacetan lalu lintas, dan penataan ruang.
Dalam menangani banjir, Heru menghidupkan kembali Program Normalisasi Sungai Ciliwung ala Ahok sebagai salah satu upaya pencegahan banjir Jakarta. Tepat di hari pelantikannya, Heru langsung bertemu dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono untuk membahas program normalisasi, pembangunan Saluran Air Sungai Ciliwung, dan kelanjutan pembangunan bendungan di daerah penyangga Jakarta.
Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk dilanjutkannya normalisasi Sungai Ciliwung di empat kecamatan prioritas tahun 2023, yakni Cililitan dan Cawang, Jakarta Timur; Rawajati, Jakarta Selatan; dan kampung Melayu, Jakarta Timur, dengan panjang sekitar 4,8 kilometer.
Untuk memenuhi harapan Jokowi, Heru juga bertemu dengan Kepala Dinas Pertanian dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Hadi Tjahjanto untuk menyelesaikan persoalan sertifikasi tanah yang kerap menghalangi pemerintah daerah membuka lahan untuk program normalisasi sungai. Pembahasan juga terfokus pada pembangunan outlet atau saluran pembuangan di Bidara Cina, Jakarta Timur, sebagai bagian dari upaya pengendalian banjir.
Heru juga berupaya meningkatkan komunikasi antara pemerintah kota dan pemerintah pusat untuk mewujudkan program pengendalian banjir. Tugas Pemprov DKI Jakarta adalah menyediakan lahan normalisasi. Sedangkan pembangunan bantaran sungai menjadi tanggung jawab Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Program “normalisasi” sungai Jakarta direkonstruksi pada masa pemerintahan Anies yang lebih mengutamakan “naturalisasi” sungai dan bendungan resapan dibandingkan menggusur warga dari bantaran sungai untuk “dibeton”. Kali ini, Heru memilih kembali melakukan normalisasi karena menurutnya hal tersebut merupakan salah satu cara terbaik untuk mengatasi banjir di Ibu Kota.
Normalisasi besar-besaran Sungai Ciliwung dilakukan pada tahun 2013, membuat bantaran sungai sepanjang 33,6 km menjadi tembok beton. Pada tahun 2017, normalisasi diperpanjang 16 km. Setelah tahun itu, pembebasan lahan melambat, sehingga menghentikan upaya normalisasi yang dilakukan BBWSCC.
Dari empat kelurahan prioritas, Pemprov DKI Jakarta telah menyelesaikan tiga upaya pembebasan lahan: Cililitan, Cawang, dan Rawajati. Hal ini menunjukkan bahwa normalisasi dapat terus berlanjut. Namun perlu upaya ekstra di kampung Melayu, mulai dari Jembatan Tongtek Jatinegara, Jakarta Timur, hingga Pintu Air Manggarai, Jakarta Pusat, seluas 1,95 hektar (ha).
Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta akan mengadopsi program Rencana Aksi Pengadaan Tanah dan Pemukiman Kembali (LARAP). Melalui mekanisme ini, Pemkot harus terlebih dahulu memukimkan kembali warga yang tinggal di bantaran sungai sesuai aturan, bukan malah mengusir paksa.
Heru pernah memaparkan dua kemungkinan opsi pembebasan lahan. Pertama, Pemkot membeli tanah warga jika warga bisa menunjukkan sertifikat kepemilikan tanah. Kedua, warga yang bukan pemilik tanah sah mendapat apartemen dari pemerintah, seperti yang dilakukan Anies saat membangun tiga tower hunian bertingkat pada tahun 2021 untuk sekitar 700 warga kampung akuarium.
Memahami perbedaan langkah normalisasi sungai yang dipilih Ahok dan Anies, Heru berupaya menggabungkan pendekatan yang dilakukan kedua mantan gubernur tersebut: melanjutkan normalisasi yang dirancang Ahok, dengan tetap menerapkan pendekatan lunak ala Anies, yaitu menghindari penggusuran paksa dan memprioritaskan kerjasama dengan warga.
Tentu saja program seperti normalisasi sungai tidak akan menimbulkan kontroversi selama hak-hak warga negara dihormati. Heru tampil sebagai pemimpin yang selalu mencari win-win solution. Sebagai Pj Pemimpin Jakarta, ia akan mengemban amanah Jokowi, sekaligus menjamin kesejahteraan warga Jakarta.