1 Maret 2023
JAKARTA – Indonesia, sebagai salah satu produsen dan eksportir komoditas sumber daya alam terbesar di dunia, terkena dampak positif dari rejeki nomplok komoditas global selama dua tahun terakhir.
Booming komoditas, yang ditandai dengan kenaikan harga beberapa komoditas utama, berdampak signifikan terhadap transaksi berjalan dan neraca fiskal Indonesia. Neraca transaksi berjalan merupakan indikator penting mengenai sektor kesehatan eksternal suatu negara, dan keseimbangan fiskal merupakan indikator penting mengenai kesehatan keuangan suatu pemerintah dan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban keuangannya.
Indonesia telah mencapai prestasi luar biasa dengan membukukan surplus transaksi berjalan, suatu kondisi yang belum pernah terjadi sejak tahun 2011. Secara khusus, neraca transaksi berjalan negara ini mencatat surplus sebesar 1,0 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2022, menyusul surplus sebesar 0,3 persen terhadap PDB pada tahun 2021.
Hal ini sebagian disebabkan oleh peningkatan ekspor, yang didorong oleh kuatnya permintaan eksternal dan kenaikan harga komoditas, khususnya batu bara dan minyak sawit mentah. Ekspor mencatat pertumbuhan dua digit yang mengesankan yaitu 41,92 persen pada tahun 2021 dan 26,07 persen pada tahun 2022.
Kondisi ekspor yang menguntungkan ini didorong oleh pemulihan ekonomi global pascapandemi dan tingginya harga komoditas akibat terganggunya rantai pasokan global di tengah memanasnya ketegangan geopolitik. Selain itu, kinerja hilir nikel Indonesia yang baik, khususnya ekspor besi dan baja, berkontribusi terhadap tren positif pada neraca transaksi berjalan.
Rejeki nomplok dari komoditas ini juga menyebabkan peningkatan penerimaan negara, terutama melalui penerimaan negara bukan pajak, penerimaan pajak nonmigas, dan bea keluar. Pendapatan pemerintah meningkat sebesar 21,56 persen pada tahun 2021 dan sebesar 30,58 persen pada tahun 2022.
Hasilnya, keseimbangan fiskal pemerintah meningkat secara signifikan selama booming komoditas. Defisit fiskal terus mengecil dibandingkan tahun 2020 dimana pemerintah dibiarkan mengalami defisit fiskal lebih dari 3 persen PDB selama tiga tahun di tengah kondisi pandemi COVID-19 yang luar biasa.
Bahkan, defisit yang menyusut dari 6,14 persen PDB pada tahun 2020 menjadi 2,37 persen PDB pada tahun 2022 membuat Indonesia setahun lebih awal mencapai target konsolidasi fiskal.
Namun, terdapat risiko-risiko yang dapat menghambat perbaikan signifikan pada neraca transaksi berjalan dan fiskal Indonesia.
Salah satu risiko besar pada tahun 2023 adalah potensi perlambatan ekonomi global yang dapat menurunkan permintaan ekspor Indonesia dan berdampak pada penurunan harga komoditas. Oleh karena itu, surplus transaksi berjalan cenderung menyusut dan kemungkinan berubah menjadi defisit.
Ketika booming komoditas berakhir dan harga mulai turun, neraca fiskal Indonesia juga akan terkena dampak negatif karena berdampak pada penurunan pendapatan pemerintah, yang dapat mengakibatkan defisit fiskal yang lebih besar.
Kondisi tersebut mengacu pada twin defisit atau keadaan perekonomian dimana suatu negara mengalami defisit anggaran dan defisit transaksi berjalan secara bersamaan.
Mengapa itu penting? Apabila kedua defisit tersebut terjadi secara bersamaan dan tidak dikelola dengan baik, maka dapat menimbulkan sejumlah tantangan perekonomian, yaitu depresiasi mata uang, inflasi, dan kenaikan suku bunga.
Defisit transaksi berjalan dapat memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Defisit tersebut dapat menguras cadangan devisa di tengah risiko kenaikan suku bunga kebijakan global dalam jangka panjang yang menyebabkan sentimen risk-off di pasar keuangan global (capital flight).
Depresiasi rupiah selanjutnya dapat menyebabkan inflasi impor karena melemahnya mata uang membuat impor menjadi lebih mahal.
Melebarnya defisit fiskal mungkin membuat pemerintah mencari sumber pembiayaan fiskal, seperti penerbitan obligasi untuk menjaga kemajuan pemulihan ekonomi. Defisit kembar juga dapat mengurangi kepercayaan terhadap perekonomian.
Semua hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan kenaikan suku bunga, yang dapat mengurangi investasi swasta dan belanja konsumen, sehingga menimbulkan ancaman terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kabar baiknya, fundamental perekonomian Indonesia cukup tangguh untuk mengurangi risiko twin defisit.
Hingga bulan Januari, kelebihan pembiayaan pemerintah dikombinasikan dengan surplus pembiayaan tahun 2022 telah terakumulasi menjadi sekitar Rp 500 triliun (US$32,75 miliar). Hal ini dapat mengelola risiko pasokan obligasi pemerintah dan melindungi perekonomian dari ketidakpastian global pada tahun 2023.
Pencabutan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat pada akhir tahun 2023 akan semakin meningkatkan mobilitas dan permintaan masyarakat, sehingga memberikan ketahanan terhadap pendapatan pemerintah dari sisi permintaan. Hal ini menjaga target defisit fiskal tahun ini sebesar 2,84 persen dari PDB dapat dicapai, yang akan terus mendukung pertumbuhan ekonomi.
Risiko defisit transaksi berjalan yang besar juga dapat dibatasi. Pembukaan kembali perekonomian Tiongkok mungkin bisa mengurangi pelemahan harga komoditas, sehingga berdampak pada penurunan surplus perdagangan secara bertahap. Ketergantungan yang besar pada ekspor komoditas membuat Indonesia rentan terhadap guncangan harga komoditas global karena harga cenderung berfluktuasi.
Oleh karena itu, upaya Indonesia untuk mengurangi ketergantungan ekspor komoditas melalui program hilirisasi sumber daya alam merupakan langkah yang tepat karena memberikan nilai tambah lebih dan dapat memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global.
Selain itu, untuk memitigasi risiko inflasi impor, inflasi domestik harus dijinakkan sehingga inflasi secara keseluruhan dapat terkendali dengan baik. Berkat turunnya harga minyak dunia, inflasi harga barang yang diatur pemerintah kemungkinan akan terkendali pada tahun ini.
Hal ini memungkinkan pemerintah untuk fokus pada pengelolaan inflasi yang bergejolak, khususnya inflasi pangan. Jika pemerintah berhasil mengendalikan inflasi, maka kebutuhan untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut mungkin akan terbatas.
Semua faktor tersebut, serta upaya menjaga iklim usaha dengan meningkatkan kualitas kemudahan berusaha, dan memastikan situasi politik stabil menjelang pemilu 2024, juga berpotensi menarik lebih banyak investasi asing langsung dan menarik investasi asing. modal. arus. Hal ini pada akhirnya dapat meningkatkan ketahanan sektor eksternal Indonesia dan menghindari bahaya twin defisit.