19 April 2022
JAKARTA – Impor dan ekspor Indonesia mencapai titik tertinggi baru di bulan Maret karena kenaikan harga komoditas global yang dipicu oleh pemulihan ekonomi global pascapandemi dan perang di Ukraina.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan pada hari Senin bahwa ekspor meningkat 44,36 persen tahun ke tahun (yy) menjadi US$26,50 miliar, tertinggi sejak badan tersebut mulai mencatat data tersebut pada tahun 1993. Peningkatan ekspor dipimpin oleh batu bara, logam, dan minyak sawit mentah (CPO).
Impor naik 30,85 persen tahun-ke-tahun menjadi $21,97 miliar, disebabkan oleh peningkatan bahan mentah dan barang modal, karena kenaikan harga minyak dan peningkatan permintaan industri seiring dengan perluasan operasi perusahaan.
“Sama seperti ekspor, impor kita juga mencapai puncaknya pada bulan Maret,” kata Kepala BPS Margo Yuwono saat konferensi pers.
Hasilnya, surplus perdagangan Indonesia mencapai angka tertinggi dalam enam bulan sebesar $4,53 miliar di bulan Maret, hampir tiga kali lipat dibandingkan bulan yang sama tahun lalu dan surplus selama 23 bulan berturut-turut.
Secara bulanan (mtm), impor dan ekspor masing-masing meningkat sebesar 32,02 persen dan 29,42 persen.
Perdagangan Indonesia telah memecahkan rekor sejak tahun lalu, terutama karena lonjakan harga komoditas, dengan ekspor terakhir mencapai rekor tertinggi sebesar $22,84 miliar pada November 2021 dan impor $21,35 miliar pada Desember 2021.
Kenaikan harga komoditas global diperkirakan akan memberikan dampak positif terhadap perdagangan Indonesia, karena kenaikan harga komoditas ekspor seperti batu bara dan CPO melebihi kenaikan harga barang impor, khususnya minyak mentah.
“Itu semua tergantung apakah perang antara Rusia dan Ukraina akan berlangsung lama atau cepat, karena bisa menggerakkan harga komoditas internasional,” kata Margo.
Data BPS menunjukkan kenaikan ekspor nonmigas dipimpin oleh batu bara, disusul baja, CPO, nikel, dan logam mulia. Kenaikan harga komoditas tersebut diperburuk dengan adanya perang antara Rusia dan Ukraina, yang keduanya merupakan produsen komoditas utama.
BPS mencatat bahwa harga komoditas-komoditas tersebut setidaknya berada pada level tertinggi dalam satu tahun terakhir, dengan batu bara sebesar $294,4 per ton, nikel sebesar $33,924 per ton, dan CPO sebesar $1,777 per ton, pada bulan Maret.
Impor nonmigas dipimpin oleh barang elektronik, mesin, baja, produk plastik, dan suku cadang mobil.
Harga minyak naik 78,74 persen tahun-ke-tahun menjadi $113,5 per ton dari bulan Maret, menurut BPS.
Direktur Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan pelonggaran pembatasan mobilitas di Korea Selatan baru-baru ini membantu mendongkrak ekspor Indonesia yang naik 76 persen pada kuartal I-2022.
Dia menambahkan, angka-angka terbaru menunjukkan bahwa ekspor Indonesia tidak terpengaruh oleh pembatasan COVID-19 yang baru-baru ini terjadi di Tiongkok.
Tiongkok tetap menjadi tujuan ekspor utama Indonesia dengan ekspor nonmigas senilai $5,48 miliar. India dan Amerika Serikat tertinggal dengan masing-masing $2,83 miliar dan $2,06 miliar.
india mencatat surplus perdagangan dengan India sebesar $2 miliar dan dengan AS sebesar $1,2 miliar pada bulan Maret, menurut data BPS.
Tren pemulihan ekspor masih berlanjut pada kuartal II-2022, ujarnya.
Namun Bhima menguraikan tiga risiko terhadap volume ekspor Indonesia ke depan, yakni kenaikan harga bahan baku, kenaikan suku bunga, dan permasalahan rantai pasok.
Harga bahan baku yang tinggi dapat membuat barang-barang buatan Indonesia tidak kompetitif, suku bunga yang lebih tinggi dapat mempersulit eksportir untuk memperluas operasinya, dan permasalahan rantai pasokan yang berkepanjangan di beberapa negara dapat mengganggu aliran barang, katanya.
Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuannya pada rekor terendah sebesar 3,5 persen pada bulan Maret karena inflasi dalam negeri yang tetap rendah. Namun para ekonom mengatakan bank sentral akan segera menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap kenaikan harga domestik dan pengetatan moneter di AS.