Indonesia akan mengesahkan RUU KUHP yang telah direvisi meskipun ada protes

6 Desember 2022

JAKARTA – Anggota DPR terus mendesak rencana untuk mengesahkan revisi KUHP pada hari Selasa yang akan melemahkan peraturan anti-korupsi dan kebebasan sipil, dan bersikeras bahwa mereka telah mempertimbangkan opini publik meskipun ada protes dari masyarakat sipil yang menyatakan sebaliknya.

Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR, Senin mengumumkan pengesahan RUU KUHP dijadwalkan keesokan harinya.

“Kami sudah membahasnya dengan Pimpinan DPR dan Badan Pengurus DPR (Bamus) untuk memperkenalkan RUU tersebut pada paripurna mendatang,” kata Dasco.

Beberapa anggota parlemen bersikeras bahwa mereka telah mengakomodasi opini publik, dan mengklaim bahwa ketentuan yang secara luas dianggap kejam telah dipermudah, seperti ketentuan yang mengkriminalisasi penghinaan terhadap presiden yang sedang menjabat dan melarang hidup bersama sebelum menikah, serta pasal-pasal yang akan memuat hukuman mati.

Meski demikian, RUU tersebut masih menyimpan sejumlah pasal kontroversial.

Muhammad Nurdin, anggota Komisi III DPR yang membidangi hukum, yang akhir bulan lalu menyetujui RUU tersebut untuk dibawa ke rapat DPR, mengatakan pembahasan RUU tersebut sudah selesai dan tidak akan dibuka kembali.

“Jika ada ketentuan yang dinilai bertentangan dengan UUD, silakan diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji,” imbuhnya.

Anggota Komisi III lainnya, Supriansa dari Partai Golkar, mengatakan masyarakat mendapat kesempatan menyuarakan pendapatnya saat pembahasan RUU tersebut di Komisi III yang berakhir sekitar dua pekan lalu.

Protes

Terungkapnya rencana pengesahan RUU tersebut secara tiba-tiba pada hari Selasa membuat para aktivis khawatir.

Anggota parlemen dan lembaga eksekutif telah berupaya untuk mempercepat pembahasan RUU tersebut tahun ini dan tidak pernah secara jelas menentukan kapan mereka akan mengesahkan RUU tersebut, namun mereka mengatakan hal itu akan dilakukan sebelum DPR memasuki masa reses bulan ini.

Aktivis yang tergabung dalam koalisi sekitar 40 kelompok masyarakat sipil yang memantau RUU tersebut, serta mahasiswa, mengadakan unjuk rasa di depan Kompleks DPR di Jakarta pada hari Senin. Mereka menuntut agar anggota parlemen menunda pengesahan RUU tersebut hingga ketentuan-ketentuan kontroversial tersebut dapat ditangani dengan baik dan terbuka, dengan alasan bahwa RUU tersebut akan semakin mengekang kebebasan sipil di tengah kembalinya demokrasi di negara tersebut.

“Jika anggota parlemen terus mengesahkan RUU tersebut (…), itu merupakan pengkhianatan terhadap masyarakat yang memilih mereka sebagai wakil kita,” kata Citra Referandum dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) saat unjuk rasa.

Para pengunjuk rasa juga merencanakan protes terakhir pada hari Selasa untuk menekan anggota parlemen agar menunda pengesahan RUU tersebut.

Versi terbaru dari RUU tersebut, yang dirilis oleh pemerintah pada hari Sabtu, mengurangi hukuman bagi pelaku korupsi dari minimal empat tahun penjara menjadi dua tahun. Ancaman hukumannya maksimal tetap 20 tahun penjara.

RUU tersebut juga menyatakan bahwa menghina presiden yang sedang menjabat adalah sebuah kejahatan, meskipun RUU tersebut mengurangi hukuman maksimum dari 3,5 tahun penjara menjadi tiga tahun. Ketentuan ini tidak berlaku bagi kritik yang diungkapkan saat protes, namun para pengkritik mengatakan ketentuan tersebut masih dapat menghambat kebebasan berpendapat secara signifikan.

Sementara itu, perubahan terbaru terhadap pelarangan ideologi non-Pancasila yang diperkenalkan pemerintah akhir bulan lalu bahkan menimbulkan ketentuan yang tidak jelas. Pemerintah memperluas larangan yang sudah lama ada untuk mempromosikan komunisme atau Marxisme-Leninisme ke semua “ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila” tanpa definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan ideologi anti-Pancasila atau lembaga mana yang berwenang memutuskan.

‘Bawa ke pengadilan’

Pemerintah mengadakan serangkaian konsultasi dengan masyarakat tertentu, seperti mahasiswa dan pakar hukum, yang diadakan antara bulan Agustus dan Oktober atas perintah Presiden Joko “Jokowi” Widodo, sebagai tanggapan atas penolakan masyarakat terhadap sejumlah rancangan KUHP. . revisi.

Pada hari Senin, pemerintah kembali mengatakan telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyuarakan pendapat mereka.

“Membujuk seluruh masyarakat untuk menyetujui seluruh ketentuan dalam RUU tersebut adalah hal yang mustahil,” kata Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Kalau RUU itu disahkan menjadi undang-undang, (kalau keberatan), bawa saja ke Mahkamah Konstitusi.”

Citra mengatakan kelompok masyarakat justru berharap anggota DPR mencabut pasal-pasal bermasalah dalam RUU tersebut sebelum disahkan menjadi undang-undang. Ia mengatakan para pengambil kebijakan wajib memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses legislasi, dibandingkan menyerahkan tanggung jawab kepada Mahkamah Konstitusi.

sbobet

By gacor88