25 Mei 2023
JAKARTA – Delegasi Indonesia tampaknya akan menghalangi ambisi forum global mengenai polusi plastik mendatang di tengah kekhawatiran bahwa beberapa rencana tersebut dapat merugikan industri lokal.
Menjelang sesi kedua Komite Negosiasi Antarpemerintah (INC-2) mengenai polusi plastik yang akan diadakan di Paris pada tanggal 29 Mei hingga 2 Juni, berbagai negara berbeda dalam menanggapi sampah plastik.
Amerika Serikat, Arab Saudi, dan produsen plastik besar lainnya lebih memilih strategi nasional, menurut laporan Reuters pekan lalu, sementara Koalisi Ambisi Tinggi yang terdiri dari Norwegia, Rwanda, Selandia Baru, dan Uni Eropa menyerukan target global untuk mengurangi produksi plastik. bahan baku penghapusan produk berbahan plastik dan subsidi bahan bakar fosil.
Usulan ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan Kementerian Perindustrian, produsen lokal dan analis energi, yang mengatakan hal ini akan menghambat industri plastik Indonesia, yang sudah berjuang menghadapi membanjirnya produk impor.
Ignatius Warsito, penjabat direktur jenderal industri kimia, farmasi dan tekstil di kementerian tersebut, mengatakan pemerintah akan mencoba untuk memblokir usulan pengurangan produksi plastik murni.
“Kami diinstruksikan Menteri Perindustrian untuk menjaga (masalah) plastik tidak sehat di (INC-2) di Prancis. Bagaimana dunia bisa menghentikan atau mengurangi (output) pabrik-pabrik plastik ketika tidak mungkin untuk tidak menggunakan plastik?” kata Ignatius, Selasa, seperti dikutip kantor berita Antara.
Jika proposal tersebut diterima, kementerian dan pelaku industri khawatir, hal ini dapat menghambat tiga proyek petrokimia besar yang akan dilaksanakan pada tahun 2027 oleh PT Chandra Asri Petrochemical, PT Lotte Chemical Titan Nusantara, dan PT Pertamina. Semuanya merupakan pemasok hulu industri plastik.
Menurut Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas), investasi proyek tersebut bisa mencapai US$18 miliar.
Pemerintah terus mendukung upaya perlindungan lingkungan, menurut Ignatius, namun menekankan perlunya melanjutkan upaya tersebut sambil memungkinkan pertumbuhan industri lebih lanjut.
Sebagai contoh, ia mencontohkan bahan baku plastik yang dikembangkan di biorefinery di Korea Selatan sebagai cara untuk mengurangi emisi karbon.
“Kami sudah menyiapkan posisi Indonesia (terkait masalah ini). Kami berharap dapat tercipta keseimbangan antara aspek ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial (dalam forum tersebut),” kata Ignatius.
Potensi kerugian bagi industri lokal
Wakil Ketua Inaplas, Edi Riva’i, menilai usulan tersebut jika diterapkan dapat meningkatkan impor plastik murni ke dalam negeri.
Menurutnya, hanya 40 persen permintaan lokal akan bahan baku plastik dipenuhi oleh produsen lokal, sehingga menghasilkan impor bersih tahunan senilai $2,8 miliar.
“Produksi Indonesia masih rendah, sementara negara lain seperti Singapura, China, dan Thailand kelebihan pasokan. Jadi kalau kita tidak bisa bangun (pabrik baru), produk mereka akan datang ke sini,” kata Edi, Selasa, seperti dikutip Bisnis.
Jika hal itu terjadi, kata Edi, peluang mempekerjakan 3,2 juta orang di pabrik petrokimia baru bisa hilang.
Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengakui negara masih kebanjiran plastik impor karena terbatasnya kapasitas produksi lokal. Ia mengaitkan hal ini dengan biaya impor yang relatif rendah sehingga membuat beberapa plastik lokal tidak kompetitif.
Industri plastik lokal juga menghadapi tantangan dalam hal efisiensi produksi, kata Tauhid.
“Jadi jika usulan untuk mengurangi produksi plastik murni disetujui, hal ini dapat menghambat Indonesia dalam menghasilkan nilai tambah dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja di negara ini,” kata Tauhid kepada The Jakarta Post pada hari Rabu.
Dia menunjukkan bahwa beberapa negara maju juga tidak setuju dengan proposal untuk mengurangi produksi plastik murni.
“Jika negara-negara berkembang yang masih membutuhkan sektor industri, yang banyak masyarakatnya berada di segmen menengah ke bawah, didorong untuk mengikuti isu lingkungan hidup 100 persen, saya kira masyarakat akan menjadi lebih baik, tetapi tidak sejahtera,” kata Tauhid.
Tauhid menambahkan, kemajuan dalam isu lingkungan hidup harus dilakukan secara bertahap, sementara industri lokal sebagai mesin pertumbuhan negara juga harus terus dilanjutkan.
Ia juga mengatakan bahwa upaya pemerintah untuk mengatasi pencemaran sungai dan laut masih memiliki ruang untuk perbaikan.
Pemerintah telah mempertimbangkan beberapa opsi untuk mengatasi polusi plastik, termasuk skema kredit plastik yang serupa dengan skema kredit karbon. Melalui skema ini, plastik yang dikumpulkan dan didaur ulang akan diubah menjadi kredit yang dapat dijual kepada entitas yang ingin mengurangi jejak plastik mereka.
Beberapa perusahaan rintisan teknologi yang didukung pemodal ventura, seperti Octopus dan Waste4Change, telah membuat terobosan dalam menarik masyarakat dan perusahaan untuk terlibat dalam kegiatan daur ulang.
“Kami masih belum bisa mengukur berapa banyak (plastik) yang kami daur ulang; ini tantangan lainnya,” kata Tauhid.