3 April 2023
JAKARTA – Meskipun negara-negara Barat berupaya membatasi platform media sosial TikTok karena masalah data dan keamanan nasional, analis keamanan siber menyarankan agar Indonesia tidak langsung ikut-ikutan, namun berupaya menjamin keamanan data Indonesia.
Kamis lalu, Kongres AS menginterogasi CEO TikTok Shou Zi Chew atas dugaan pengaruh Tiongkok yang luas pada platform tersebut. Chew membantah aplikasi tersebut membagikan data atau memiliki koneksi dengan Partai Komunis Tiongkok.
Sekitar 20 senator AS juga mendukung undang-undang bipartisan yang membuka jalan bagi pemerintahan Presiden AS Joe Biden untuk melarang TikTok atas dasar keamanan nasional, kantor berita melaporkan.
Pada bulan Februari, Gedung Putih memerintahkan badan-badan pemerintah AS untuk menghapus TikTok dari perangkat dan sistem federal mana pun, sementara setidaknya 30 negara bagian AS juga telah melarang penggunaan TikTok pada perangkat milik negara.
Negara tetangganya, Kanada, juga telah melarang TikTok di perangkat yang dikeluarkan pemerintahnya, dengan alasan risiko keamanan, sementara Parlemen Eropa, Komisi Eropa, Dewan Uni Eropa, dan beberapa negara Uni Eropa telah melarang TikTok di perangkat staf karena alasan keamanan siber.
Pada bulan Juni 2020, India sepenuhnya melarang TikTok bersama dengan 58 aplikasi buatan Tiongkok lainnya, dengan alasan masalah data dan privasi warganya. Larangan itu juga diberlakukan menyusul bentrokan militer antara pasukan India dan Tiongkok di sepanjang wilayah perbatasan mereka.
Pada Juli 2018, TikTok untuk sementara dilarang di Indonesia karena “pornografi, konten tidak pantas, dan penistaan agama”.
Analis keamanan siber Alfons Tanujaya berpendapat bahwa permusuhan Barat terhadap TikTok adalah bentuk standar ganda, karena negara-negara tersebut tidak memiliki keraguan untuk memata-matai negara lain.
“TikTok pada dasarnya meniru apa yang dilakukan platform media sosial lainnya, hanya saja lebih baik,” kata Alfons kepada The Jakarta Post pada hari Rabu.
Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa kontroversi seputar TikTok mungkin berasal dari persaingan geopolitik antara sekutu Barat dan Tiongkok, bukan masalah keamanan.
Ia meminta pemerintah Indonesia untuk secara hati-hati mempelajari situasi ini, dibandingkan secara terbuka memihak Tiongkok atau Amerika Serikat, dan memastikan bahwa semua platform media sosial mematuhi undang-undang dan peraturan setempat yang berlaku.
Secara terpisah, Pratama Persadha, ketua Pusat Penelitian Keamanan Sistem Komunikasi dan Informasi (CISSREC), menyatakan bahwa AS dan Tiongkok bisa saja mengklaim bahwa pihak lain melakukan operasi intelijen big data menggunakan platform media sosial yang dikembangkan asing.
Dia mengklaim bahwa AS kemungkinan besar melihat TikTok sebagai bagian dari persaingan geopolitiknya dengan Tiongkok, karena AS sebelumnya telah melarang penjualan produk perusahaan telekomunikasi Tiongkok Huawei dan ZTE di AS, dengan menuduh mereka sebagai antek intelijen militer Tiongkok.
“Posisi Indonesia dalam hal ini jelas; kita perlu mengamankan data pribadi kita dan data sensitif lainnya dari eksploitasi asing,” kata Pratama kepada Post pada hari Rabu.
Ia menambahkan, undang-undang perlindungan data pribadi harus segera diterapkan untuk mencegah data milik masyarakat Indonesia dieksploitasi oleh raksasa teknologi asing.
Sementara itu, Direktur Eksekutif SAFENet Damar Juniarto mengatakan, bahkan pada sidang Kongres AS pekan lalu, TikTok masih gagal membuktikan akuntabilitas dan transparansi dalam menangani data pribadi penggunanya, yang relevan dengan pertimbangan popularitas TikTok di Indonesia. .
Namun, Damar mengatakan pemblokiran TikTok akan mengirimkan pesan yang salah ke seluruh dunia.
“Sebaliknya, kita harus mendorong TikTok untuk mematuhi standar global mengenai data pribadi,” katanya minggu ini.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel A. Pangerapan mengatakan, pemerintah memantau seluruh platform digital di Indonesia untuk memastikan tetap mematuhi peraturan daerah.
“Kami melakukannya (memantau platform media sosial), tapi bukan karena kami hanya meniru peraturan negara lain,” kata Semuel kepada Post pada hari Rabu.
Dia juga mengatakan kementerian saat ini tidak menerima keluhan apa pun mengenai TikTok, dan mencatat bahwa platform tersebut telah mematuhi dan memoderasi kontennya sesuai dengan peraturan negara.
Head of Communications TikTok Indonesia Anggini Setiawan mengatakan jika TikTok dilarang di AS, langkah tersebut justru akan menjadi penghambat pertukaran budaya dari AS kepada lebih dari 1 miliar pengguna TikTok global.
Namun, dia mengatakan operasional TikTok di Indonesia akan tetap sama apapun kebijakan yang diambil pemerintah AS.
“Sebagai perusahaan, kami selalu terbuka dan siap berkomunikasi dengan regulator dan mitra pemerintah,” kata Anggini dalam keterangannya kepada Post, Kamis.
Dia juga mengatakan bahwa TikTok telah mematuhi peraturan tentang penyedia layanan elektronik swasta (ESP) sejak Juli 2022 dan percaya bahwa pemerintah akan menghormati kebebasan berekspresi.