13 April 2023
JAKARTA – Pemerintah sekali lagi menunda penerapan pajak cukai minuman manis yang telah lama ditunggu-tunggu, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat pasca pandemi virus corona.
Kementerian Keuangan dan Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar) tahun lalu sepakat untuk memasukkan pajak minuman manis dan produk plastik ke dalam APBN tahun 2023, meski Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penerapan tarif cukai akan sangat bergantung pada hal tersebut. tentang laju pemulihan pada tahun 2023.
Namun Nirwala Dwi Heryanto, Direktur Komunikasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian, mengatakan kecil kemungkinan rencana pengenaan pajak minuman manis dapat dilaksanakan tahun ini karena Kementerian masih menyelesaikan persyaratan hukum untuk memberlakukan tarif cukai. . .
“Para pejabat saat ini berencana untuk merancang peraturan pemerintah (PP) sebagai dasar hukum untuk mengenakan pajak minuman manis karena mereka mempertimbangkan momentum pemulihan ekonomi negara,” kata Nirwala kepada The Jakarta Post pada hari Jumat.
“Rencananya kami akan mengajukan cukai pada Mei ke Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan. Kalau semua berjalan baik, bisa efektif tahun depan,” imbuhnya.
Kementerian Keuangan telah melontarkan gagasan mengenakan pajak pada minuman manis sejak tahun 2009 untuk mendiversifikasi sumber pendapatan, namun kemajuannya lambat, terutama karena adanya penolakan dari dunia usaha.
Pada tahun 2020, kementerian kembali mengusulkan penerapan pajak minuman manis dengan skema yang lebih rinci, namun usulan tersebut ditolak oleh anggota parlemen karena kemerosotan ekonomi selama pandemi COVID-19.
Adhi Lukman, ketua Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), mengatakan kepada Post pekan lalu bahwa dia skeptis bahwa pajak cukai akan berdampak positif pada kesehatan masyarakat.
“Makanan olahan hanya menyumbang 30 persen dari standar pola makan orang Indonesia, jadi saya skeptis bahwa pengurangan konsumsi (minuman manis) bisa berdampak signifikan dalam mencegah penyakit tidak menular (PTM),” ujarnya.
“Selain itu, meski pemerintah mengenakan pajak cukai pada minuman manis, kami yakin konsumen akan tetap membelinya. Jadi daripada mengenakan pajak yang bisa membebani konsumen, lebih baik pemerintah fokus mengedukasi masyarakat untuk memilih pola makan yang lebih sehat.”
Memerangi NCD
Lambatnya kemajuan pemerintah dalam menerapkan pajak minuman manis telah menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, terutama di tengah upaya Kementerian Kesehatan untuk mereformasi sistem layanan kesehatan terhadap dampak buruk pandemi COVID-19.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menulis peraturan menteri pada bulan Juli yang menginstruksikan pemerintah daerah untuk mengikuti cetak biru transformasi layanan kesehatan nasional yang memprioritaskan pencegahan penyakit daripada pengobatan.
Sebagai bagian dari upaya pencegahan, kementerian ini memperluas program imunisasi anak nasional, menawarkan pemeriksaan gratis untuk 14 penyakit pembunuh umum, seperti stroke, penyakit kardiovaskular, kanker dan diabetes, dan mengintensifkan kampanye untuk mendorong gaya hidup sehat bagi masyarakat Indonesia.
Namun Direktur Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Eva Susanti, mengatakan bahwa upaya-upaya ini saja tidak cukup untuk mengekang meningkatnya masalah NCD di negara ini, dan bahwa kebijakan fiskal diperlukan untuk membatasi konsumsi makanan yang tidak sehat. .
“Kita perlu mengoptimalkan upaya kita dengan memaksa produsen untuk memformulasi ulang produk mereka sehingga memiliki kadar gula, garam, dan lemak yang lebih rendah, seperti dengan menerapkan tarif cukai pada minuman manis,” katanya pada bulan Oktober.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang yang rutin minum satu hingga dua porsi minuman manis sehari memiliki risiko 26 persen lebih tinggi terkena diabetes tipe 2, sementara penelitian lain menemukan bahwa mereka yang minum dua porsi atau lebih sehari memiliki risiko 31 persen lebih tinggi terkena diabetes dini. kematian. dari penyakit kardiovaskular.
Antara tahun 1996 dan 2014, konsumsi tahunan minuman manis di negara ini meningkat lima belas kali lipat, dari 51 juta liter menjadi 780 juta liter. Pada tahun 2020, Indonesia menjadi konsumen minuman manis terbesar ketiga di Asia Tenggara.
Mengurangi konsumsi
LSM dan masyarakat telah lama meminta pemerintah untuk segera mengenakan pajak pada minuman manis kemasan menyusul langkah yang diambil oleh 49 negara lain, termasuk negara tetangga Thailand, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam.
Misalnya, pajak minuman manis di Thailand secara signifikan mengurangi konsumsi minuman berkarbonasi sebesar 17 persen dan minuman manis sebesar 2,5 persen pada tahun pertama penerapannya.
Sebuah studi pemodelan yang baru-baru ini dilakukan oleh Pusat Inisiatif Pembangunan Strategis Indonesia (CISDI) memproyeksikan bahwa kenaikan harga minuman manis sebesar 20 persen akan mengurangi konsumsi minuman tersebut rata-rata sebesar 17,5 persen. Beberapa penelitian lain juga menunjukkan bahwa mengenakan pajak cukai sebesar Rp 5.000 (35 sen AS) per liter pada minuman manis dapat mencegah antara 12.000 hingga 417.000 kasus obesitas di Indonesia dalam 25 tahun ke depan, dan sekitar 63.000 hingga 1,4 juta kasus obesitas. diabetes tipe 2.