1 Februari 2023
JAKARTA – Indonesia masih merupakan negara yang sangat lamban dalam menjamin kebebasan beragama, meskipun Indonesia telah berkomitmen di hadapan Komite Hak Asasi Manusia PBB untuk mematuhi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Pengajuan negara dari Indonesia dari tahun 2012 hingga 2022, serta laporan bayangan yang disampaikan oleh organisasi non-pemerintah (LSM) dan ringkasan komentar dari komite yang menyelidiki kepatuhan negara terhadap ICCPR, menunjukkan bahwa negara tersebut telah gagal dalam menghormati hak beragama bagi kelompok minoritas. kelompok. yang akan datang
Dalam laporan berkala awal kepada komite tersebut pada tahun 2012, setelah meratifikasi ICCPR pada tahun 2005, Indonesia menyatakan bahwa kebebasan beragama adalah hakikatnya dan bahwa “negara harus menghormati, menjunjung tinggi dan melindungi hukum”.
Namun, “jargon diplomatik” yang biasa digunakan Indonesia di PBB adalah hal yang asing bagi kelompok agama minoritas di negara ini.
Menurut dokumen yang diserahkan kepada komite oleh LSM dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ratusan Muslim Syiah meninggalkan desa mereka di Madura pada bulan Agustus 2012 setelah massa yang marah menyerang dan membakar rumah mereka menyusul keputusan badan Muslim setempat yang menyatakan ajaran mereka “menyimpang”.
Banyak dari warga Muslim Syiah ini yang masih mengungsi, tinggal di tempat penampungan sementara, dan penduduk setempat sering mencoba mengubah mereka menjadi Islam Sunni, dengan dukungan pejabat pemerintah, sebagai imbalan agar mereka bisa selamat sampai ke desa mereka.
Seringnya serangan terhadap penganut agama minoritas Ahmadiyah juga menyoroti kegagalan Indonesia dalam melindungi agama minoritas.
Dalam penyampaiannya kepada panitia, Komnas HAM melaporkan bahwa sejak tahun 2007 hingga 2012, pihaknya mendokumentasikan berbagai pelanggaran kebebasan beragama baik yang dilakukan oleh pelaku negara maupun non-negara, termasuk ketidakmampuan membangun rumah ibadah oleh kelompok minoritas serta penutupan paksa gereja. .
Dalam kesimpulan pengamatannya atas laporan awal Indonesia pada tahun 2013, komite tersebut menyatakan keprihatinannya atas kegagalan negara tersebut dalam melindungi pengikut Syiah dan Ahmadiyah, serta umat Kristen, dan hukuman ringan yang diberikan kepada para pelaku serangan Madura. Ia juga mengatakan bahwa undang-undang pencemaran nama baik tahun 1965 tidak sejalan dengan ICCPR dan harus segera dicabut.
Pernyataan penutup komite juga menekankan bahwa hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama harus mencakup hak bagi setiap orang untuk memilih tidak beragama atau berkeyakinan.
Alih-alih mematuhi, Indonesia, dalam tindak lanjut pengamatan komite tersebut, menyatakan bahwa pelaksanaan hak beragama atau berkeyakinan harus dilakukan secara “bertanggung jawab” dan tunduk pada pembatasan untuk melindungi keselamatan publik dan nilai-nilai moral. sebagai hak dasar dan kebebasan “orang lain”.
Indonesia menegaskan bahwa pembatasan ini sejalan dengan ICCPR sehingga tidak perlu mencabut UU Penodaan Agama tahun 1965 karena tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Lebih lanjut dikatakan bahwa pemerintah berkomitmen “untuk melindungi pluralisme”, dan bahwa Kementerian Agama sedang mempersiapkan rancangan undang-undang tentang perlindungan umat beragama untuk “meningkatkan keharmonisan sosial antara penganut agama dan keyakinan yang berbeda”.
Namun, pelanggaran kebebasan beragama terus membayangi tinjauan berkala kedua yang dilakukan Indonesia pada tahun 2022, setelah itu LSM dan Komnas HAM menyerahkan daftar masalah sebelum pelaporan (LOIPR).
Antara tahun 2014 dan 2019, setidaknya 549 insiden pelanggaran kebebasan beragama berdampak pada hampir 1.000 penganut agama minoritas, mulai dari Syiah, Ahmadiyah, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, hingga agama adat. Pelanggaran-pelanggaran tersebut antara lain perusakan dan penutupan paksa rumah ibadah, kriminalisasi terhadap penganut UU Penodaan Agama, pelarangan beribadah dan intimidasi terhadap kelompok agama minoritas, termasuk penyerangan fisik.
Ironis namun nyata bahwa sebagian besar pelakunya adalah pejabat pemerintah.
Tiga pemuka agama minoritas Gafatar masing-masing divonis lima tahun penjara karena “menista” Islam melalui ajaran kelompok tersebut.
Komnas HAM memperbarui seruannya dalam LOIPR agar komite tersebut mendesak Indonesia untuk mencabut undang-undang pencemaran nama baik tahun 1965 dan peraturan diskriminatif lainnya.
Pada tahun 2018, Kejaksaan Agung meluncurkan aplikasi Android bernama Smart Pakem yang dapat digunakan masyarakat untuk memantau dan melaporkan keyakinan dan kelompok agama yang dianggap “menyimpang”.
Siswa yang berasal dari luar enam agama resmi juga mengalami kesulitan untuk menggunakan hak mereka untuk tidak mengikuti pelajaran agama yang disediakan oleh sekolah mereka, dan terkadang mereka dilecehkan secara verbal oleh guru agama yang menyebut mereka “ateis”, menurut masukan LSM kepada komite. .
Menanggapi LOIPR, sebelum laporan berkala kedua diterbitkan, komite tersebut meminta Indonesia memberikan informasi mengenai upaya apa yang telah dilakukan untuk melindungi dan mendorong kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Komite juga meminta Indonesia untuk menjelaskan kesesuaian undang-undang penodaan agama tahun 1965 dan penerapan Pakem Cerdas dengan ICCPR, serta langkah-langkah yang diambil untuk memastikan tidak ada diskriminasi dalam pembangunan rumah ibadah dalam Keputusan Bersama Menteri tentang Perumahan tahun 2006. tidak diasuransikan. ibadah.
Dalam laporan berkala keduanya yang diserahkan kepada komite pada tahun 2022, Indonesia mengakui bahwa mengelola “gesekan” di negara yang beragam seperti Indonesia adalah “tantangan”, namun tetap membela keputusan pemerintah untuk tidak menegakkan Undang-Undang Penodaan Agama tahun 1965 dan mencabut Undang-Undang Penodaan Agama tahun 2006. Keputusan. di Rumah Ibadah, mengatakan bahwa hal itu diperlukan “untuk menjaga kerukunan umat beragama di negara ini”.
Masalah terkait pendirian rumah ibadah terutama disebabkan oleh “kurangnya komunikasi” antara umat beragama dan pemerintah setempat, menurut laporan Indonesia. Dikatakan pula bahwa aplikasi Smart Pakem ditarik pada Januari 2020 menyusul masukan dari komunitas dan kelompok masyarakat sipil.
Hingga berita ini ditulis, panitia belum mengunggah kesimpulan observasi laporan periodik kedua Indonesia.
Indonesia selalu menolak seruan apa pun untuk meningkatkan kebebasan beragama bagi kelompok minoritas. Ada beberapa alasan dibalik hal ini.
Lembaga penegak hukum, khususnya polisi, selalu gagal mencegah serangan terhadap kelompok agama minoritas, meskipun mereka sudah mengetahui adanya ancaman terhadap kelompok agama minoritas.
Persepsi pejabat pemerintah terhadap agama minoritas dan penganutnya juga menjadi hambatan lain dalam menjamin kebebasan beragama di Indonesia, karena para pejabat memandang agama tersebut “menyimpang.” Ada juga kecenderungan untuk menyalahkan kelompok agama minoritas atas setiap serangan yang mereka alami, alih-alih memihak mereka sebagai korban dari serangan tersebut.
Serangan massa juga terus terjadi di seluruh negeri, karena hukuman ringan yang diberikan kepada para pelaku dalam beberapa kasus yang dibawa ke pengadilan.
Dalam banyak kasus, polisi tidak melakukan penyelidikan atas serangan tersebut dan malah mendakwa kelompok agama minoritas berdasarkan Undang-Undang Penodaan Agama karena keyakinan mereka yang “sesat”.
Di tingkat legislatif, undang-undang penodaan agama tahun 1965 dan keputusan bersama menteri merupakan pendorong utama serangan terhadap agama minoritas dan pengikutnya di Indonesia.
Yang lebih buruk lagi, KUHP Indonesia yang baru direvisi memperluas cakupan pelanggaran penodaan agama dari satu menjadi enam ketentuan, termasuk hukuman hingga dua tahun penjara bagi individu yang “membujuk seseorang untuk menjadi kafir”.
UU Penodaan Agama berulang kali disalahgunakan untuk mengkriminalisasi pandangan damai terkait agama dan yang dianggap menyinggung agama mayoritas.
Ketentuan yang diperluas ini dapat memberikan peluang lebih lanjut bagi pihak berwenang untuk menggunakan undang-undang tersebut terhadap kelompok agama dan etnis minoritas, sehingga jelas memberikan kemunduran bagi perlindungan kebebasan beragama di Indonesia.
Jelas bahwa kelompok minoritas tidak menikmati hak beragama dan beribadah yang dijamin berdasarkan Pasal 18 ICCPR.
Serangan terhadap kelompok minoritas Muslim di negara ini, seperti Ahmadiyah dan Syiah, adalah contoh buruk pelanggaran kebebasan beragama yang membayangi laporan berkala Indonesia sejak tahun 2012.
Seruan berulang kali dari LSM, Komnas HAM dan Komite Hak Asasi Manusia untuk mencabut Undang-Undang Penodaan Agama tahun 1965 tidak mendapat tanggapan apa pun.
Ketika Indonesia semakin terkenal di dunia internasional setelah keberhasilannya menjadi presiden Kelompok 20 tahun lalu, sekaranglah waktunya bagi negara ini untuk memperhatikan hak asasi manusia dengan serius, mulai memperlakukan kelompok agama minoritas dengan bermartabat, bukan sebagai warga negara kelas dua.
—
Penulis sedang mengejar gelar master dalam hubungan internasional di University of Melbourne.