17 Mei 2023
JAKARTA – Politik Indonesia tampaknya semakin menjadi urusan kekeluargaan, dengan kerabat para elit politik dan gubernur, wali kota, dan menteri yang menjabat mencalonkan diri untuk mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, yang menegaskan kekuasaan dinasti politik di negara ini.
Setidaknya ada tiga ahli waris politik yang dipastikan mencalonkan diri dalam pemilu legislatif mendatang, di antaranya Diah Pikatan Orissa Putri Hapsari alias Pinka Hapsari, putri Ketua DPR Puan Maharani, dan cucu dari Partai Demokrat Indonesia yang berkuasa. Partai Perjuangan. Ketua Umum (PDI-P), Megawati Soekarnoputri.
Megawati, putri Presiden pertama Indonesia, Sukarno, merupakan perempuan pertama yang menjabat Presiden Indonesia, sedangkan Puan merupakan perempuan pertama yang menjabat Ketua DPR.
Lulusan hubungan internasional dari SOAS University of London, Pinka yang belum memiliki pengalaman sebelumnya sebagai politisi, mengisyaratkan ketertarikannya pada politik kepada neneknya sebelum bergabung dengan kakaknya Praba Diwangkata Caraka Putra Soma pada presentasi pertama ke publik. dan anggota partai oleh Megawati pada masa partai ke-50st ulang tahun awal tahun ini.
Prinka, yang akan mengikuti jejak ibu dan neneknya di dunia politik, akan menjadi calon legislatif termuda yang dicalonkan partai, kata Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto pekan lalu.
“Partai terus melakukan rekrutmen melalui pendidikan dan kebangkitan politik dan proses rekrutmennya berasal dari keluarga. Ini adalah budaya yang dibangun tidak hanya di Indonesia, tapi di Amerika, di Singapura, di Eropa. Parpol yang menjadi pilar demokrasi merekrut dari keluarga,” kata Hasto.
Pencalonan Prinka sejalan dengan keinginan partai untuk menambah generasi muda di partai, kata Hasto seraya menambahkan bahwa ia telah menjalani pendidikan politik dan sekolah ideologi yang rutin ditawarkan partai, persyaratan yang sama yang harus dipatuhi oleh anggota partai lainnya.
Anggota keluarga elit politik lainnya yang mencalonkan diri untuk kursi DPR adalah Futri Zulya Savitri, putri Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, yang kini menjabat sebagai Menteri Perdagangan di kabinet Presiden Jokowi.
Baik Zulkifli maupun Futri menghadapi reaksi keras tahun lalu setelah video sang menteri terlihat membagikan minyak goreng gratis di Lampung sambil meminta penerimanya untuk memilih putrinya menjadi viral di media sosial.
Anggota keluarga pemimpin daerah juga ikut terlibat, seperti Yani Ardian, istri warga Bogor, Jawa Barat, Wali Kota Bima Arya yang keduanya politisi PAN, dan Atalia Praratya Kamil, istri Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Baik pemimpin Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dan putranya Yuri Kemal Fadlullah juga akan bersaing dalam pemilu mendatang karena partai tersebut berupaya membangun strategi baru melalui tokoh partai di kubu partai untuk mendapatkan tempat.
“Kami berharap mereka terpilih sehingga syarat 4 persen kursi atau 4 persen suara bisa kita lewati pada pemilu mendatang,” kata Yusril, Sabtu.
Anggota keluarga elit politik lainnya yang ikut dalam pemilihan tersebut termasuk Titiek Soeharto, putri mendiang diktator Soeharto dan mantan istri pemimpin Partai Gerindra, Prabowo Subianto, yang akan mencalonkan diri sebagai calon Partai Gerindra.
Titiek bergabung dengan Golkar pada tahun 2012 dan mampu memenangkan kursi di pemilu legislatif 2014 sebelum memilih bergabung dengan Partai Berkarya, partai yang didirikan kakaknya Tommy Soeharto pada tahun 2016 dan akhirnya hengkang.
Firman Noor, peneliti politik senior di Badan Intelijen Negara (BIN), mencatat bahwa tren tersebut menunjukkan kegagalan partai tersebut dalam mengembangkan kebangkitan berbasis meritokrasi dalam mengejar peningkatan pemilu yang lebih cepat.
Partai-partai yang selama ini kesulitan mencari calon yang memiliki modal sosial dan finansial yang cukup untuk berkampanye akhirnya mengambil jalan pintas dengan mencalonkan tokoh-tokoh yang punya hubungan dengan pemimpin daerah dan anggota legislatif petahana, kata Firman.
Selain menghasilkan anggota partai dengan kualitas di bawah standar, praktik tersebut, jika dibiarkan, akan memperkuat posisi elit dalam kekuasaan dan mengubah demokrasi negara menjadi “negara elit, oleh elit, dan untuk elit”, tambahnya.
“Masyarakat pada akhirnya akan tersisih dan proses pengambilan kebijakan hanya akan berkisar pada kepentingan kelompok elit.”
Sebuah survei baru-baru ini oleh kelompok penelitian Kompas Daily menemukan ketidakpuasan yang meluas terhadap buruknya kinerja DPR, karena 76,2 persen dari 500 orang yang disurvei pada bulan April tidak puas dengan kinerja anggota DPR saat ini.
Ketidakpuasan yang besar ini salah satunya disebabkan oleh 84 persen responden yang merasa bahwa legislator lebih mengutamakan kepentingan partai politiknya sendiri, dibandingkan kepentingan masyarakat umum dalam pengambilan keputusan. (awww)