13 Juni 2022
JAKARTA – Kepresidenan Indonesia di G20 – di bawah bendera “Pulihkan Bersama, Pulih Lebih Kuat” – mendorong negara-negara anggota untuk mencapai pemulihan ekonomi hijau, dan menunjukkan visi Indonesia untuk mencapai pembangunan ekonomi ramah lingkungan dan rendah emisi.
Sektor pertanian, kehutanan, dan tata guna lahan (AFOLU) secara historis menyumbang kontribusi terbesar terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) negara ini, yaitu sekitar 43 persen pada tahun 2016, menurut Nationally Defeded Contribution (NDC) Indonesia yang diperbarui kepada PBB. Pemerintah telah memperkenalkan beberapa kebijakan terkait, termasuk target ambisius untuk mengubah hutan dan jenis lahan lainnya menjadi “penyerap karbon” pada tahun 2030. Untuk mencapai hal ini diperlukan perubahan kebijakan dan investasi yang berani di berbagai bidang, terutama untuk melindungi kawasan kritis dan kaya karbon. ekosistem seperti hutan primer, lahan gambut, dan mangrove.
Indonesia memiliki wilayah dan keanekaragaman ekosistem mangrove terluas di dunia. Mangrove mendukung penghidupan pesisir melalui perikanan (ikan, kepiting, dan makanan laut lainnya), melindungi pesisir negara dari bencana, dan menyimpan 3,14 miliar ton CO2, yang berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim global. Penelitian Bank Dunia baru-baru ini menemukan bahwa hutan bakau di Indonesia bernilai rata-rata sekitar US$15.000 per hektar, dan beberapa tempat – terutama di dekat daerah pesisir yang sudah maju – bernilai sekitar $50.000 karena perannya dalam perlindungan banjir.
Meskipun mempunyai nilai yang cukup besar, mangrove sering kali hilang dan diubah menjadi kegunaan lain, termasuk budidaya perikanan, pertanian dan infrastruktur (termasuk untuk perumahan dan pariwisata). Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir yang sebelumnya dilindungi oleh hutan bakau menghadapi ancaman yang lebih besar akibat bencana pesisir seperti banjir, erosi dan badai serta berkurangnya produktivitas ikan.
Konversi hutan bakau juga menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan emisi gas rumah kaca (GRK) yang signifikan ke atmosfer, sehingga berkontribusi terhadap perubahan iklim. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, konversi hutan bakau telah berkontribusi terhadap hampir 200 juta ton CO2 yang masuk ke atmosfer, setara dengan konsumsi listrik lebih dari 35 juta rumah selama satu tahun.
Pemerintah Indonesia telah dengan berani berkomitmen untuk merestorasi 600.000 hektar hutan bakau pada tahun 2024 – yang merupakan ambisi restorasi hutan bakau terbesar di dunia hingga saat ini. Namun restorasi memerlukan biaya yang mahal – rata-rata memerlukan biaya $1.640 hingga $3.900 per hektar di Indonesia – dan memiliki tingkat kegagalan yang tinggi di seluruh dunia. Oleh karena itu, pelestarian ekosistem yang sehat harus diprioritaskan dibandingkan restorasi. Berdasarkan Peta Mangrove Nasional Indonesia (2022), lebih dari 90 persen mangrove Indonesia berada dalam kondisi “baik”, yang menunjukkan masih banyak ruang untuk upaya konservasi.
Indonesia telah melakukan beberapa upaya pelestarian mangrove, antara lain peluncuran Mangrove One Map untuk memahami luasan dan kualitas mangrove di seluruh Indonesia. Pada tahun 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mengeluarkan pedoman resmi pelaksanaan pengelolaan mangrove yang melibatkan partisipasi masyarakat.
Upaya-upaya ini dapat dilengkapi, termasuk dengan memperkuat kebijakan menyeluruh mengenai pengelolaan hutan bakau dan penetapan zonasi hutan bakau dalam perencanaan tata ruang untuk memandu pengambilan kebijakan dan investasi, seperti pembangunan infrastruktur pesisir. Pemerintah Indonesia juga dapat memperluas cakupan moratorium penerbitan izin konversi hutan primer dan lahan gambut agar mencakup semua jenis mangrove.
Restorasi mangrove yang terdegradasi dapat mengembalikan fungsi ekologisnya: Habitat perikanan, perlindungan garis pantai dan banyak lagi; dan dapat mempunyai dampak lokal dan global yang signifikan. Namun restorasi mangrove menimbulkan tantangan teknis, sosial dan ekonomi yang signifikan. Oleh karena itu, menerapkan tiga tindakan di bawah ini sangat penting untuk meningkatkan tingkat keberhasilan.
Pertama, restorasi mangrove harus tertanam kuat dalam “pengelolaan lanskap terpadu”, yang berarti konservasi dan restorasi sekaligus memperkuat ketahanan masyarakat pesisir. Pendekatan lanskap terpadu ini memerlukan koordinasi lintas sektoral dengan lembaga-lembaga nasional, subnasional, dan lokal (pemerintah, LSM, dan masyarakat lokal) untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pengelolaan mangrove.
Kedua, restorasi harus lebih dari sekedar penanaman bibit dan mencakup upaya hidrologi untuk memulihkan arus pasang surut dan memungkinkan benih bakau dari hutan bakau terdekat menyebar. Kondisi spesifik kawasan yang akan direstorasi, kualitas bibit, pengelolaan jangka menengah (misalnya perawatan, perlindungan) dan koreksi di tengah proses dapat meningkatkan tingkat keberhasilan.
Yang terakhir, kemauan, komitmen dan keterlibatan pemangku kepentingan lokal untuk mengizinkan dan mendukung restorasi adalah kuncinya dan hal ini mengharuskan mereka untuk memberikan manfaat nyata dalam jangka pendek dan menengah dengan berpartisipasi dalam restorasi dan pemeliharaan kawasan yang direstorasi. Restorasi dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap masyarakat lokal karena menciptakan keterkaitan antara kehidupan sehari-hari mereka dan upaya untuk melindungi lingkungan mereka. Pembayaran untuk pekerjaan padat karya dan mekanisme insentif lainnya, termasuk pembayaran untuk karbon biru, dapat menjamin dukungan dari masyarakat dan pemerintah lokal.
Proyek Mangrove for Coastal Resilience (Mangrove untuk Ketahanan Pesisir) yang baru diluncurkan dan didanai oleh Bank Dunia, mendukung tujuan ambisius pemerintah dalam melakukan restorasi mangrove, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip di atas. Proyek ini bertujuan untuk memperkuat pengelolaan mangrove di empat provinsi prioritas, sekaligus mengembangkan model konservasi dan restorasi mangrove yang terintegrasi serta meningkatkan penghidupan masyarakat pesisir yang dapat direplikasi di seluruh negeri.
Pemerintah juga menerapkan kebijakan menyeluruh dalam pengelolaan mangrove, memperkuat koordinasi lintas sektoral di tingkat nasional dan daerah, serta menjajaki potensi pembayaran karbon biru untuk mangrove.
Mangrove adalah jalur hijau Indonesia – penting bagi masyarakat lokal dan nasional, serta dunia. Konservasi dan restorasi skala besar memang menantang, namun bisa dilakukan. Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah pertama ke arah ini dengan dukungan dari berbagai mitra. Mempertahankan tren ini dalam jangka menengah akan sangat penting bagi keberhasilan.