2 Oktober 2018
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia tetap pada keputusannya untuk mencabut peringatan tsunami segera setelah dikeluarkan.
Ketika gempa kuat mengguncang ibu kota provinsi Palu dan sekitarnya pada hari Jumat, BMKG mengumumkan peringatan tsunami untuk Sulawesi bagian barat dan tengah pada pukul 17:07 waktu Jakarta, lima menit setelah gempa melanda pulau tersebut.
Namun, BMKG memutuskan untuk mencabut peringatan tersebut sekitar 30 menit kemudian, setelah menerima berbagai informasi, termasuk laporan observasi lapangan dari seorang staf dari kantornya di Palu.
“Petugas melaporkan melihat indikasi gelombang tsunami di pelabuhan (Palu), termasuk perahu yang terdampar, sekitar pukul 18.27 waktu setempat. Saat itu ketinggian air di pelabuhan sekitar 30 sentimeter,” kata Dwikorita Karnawati, Ketua BMKG. Jakarta Post Minggu di telepon.
Hamzah Latief, pakar tsunami dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mempertanyakan keputusan BMKG yang mencabut peringatan tsunami hanya beberapa menit setelah gelombang menghantam pantai pada Jumat.
Hamzah mengatakan Palu rawan mengalami tsunami jika terjadi gempa kuat. Berdasarkan penelitiannya di jalur patahan tektonik Palu-Koro pada 2012, yang menyertakan simulasi tsunami di Teluk Palu, Kota Palu bisa diterjang gelombang tsunami setinggi 1 hingga 2 meter.
Dalam simulasi Hamzah, gelombang pertama akan menghantam kota itu 20 hingga 25 menit setelah gempa.
“Masih terlalu dini untuk mencabut imbauan karena tsunami melanda Mamuju (di Sulawesi Barat) sekitar 50 menit setelah gempa terjadi (di jalur patahan Palu-Koro),” kata Hamzah.
Dwikorita lebih lanjut membela keputusan BMKG dengan mengatakan bahwa BMKG menganalisis rekaman ponsel yang dibagikan secara luas yang menunjukkan tsunami menghantam pantai Palu. Rekaman itu diduga menunjukkan sejumlah restoran di dekat Palu Grand Mall tersapu ombak.
“Berdasarkan analisis kami, tiga gelombang menghantam pantai Palu saat senja, dengan yang ketiga dan tertinggi menyapu rumah dan kios. Ombak menghantam pantai dalam durasi 2,5 menit, ”kata Dwikorita, menambahkan bahwa peringatan tsunami berakhir pada pukul 18:37, beberapa menit setelah gelombang ketiga menghantam daratan.
Dia juga membantah klaim bahwa lebih banyak gelombang tsunami terjadi setelah peringatan berakhir. “Setelah gelombang ketiga tidak ada lagi.”
Banyak yang menyalahkan hilangnya nyawa di Palu karena tidak adanya sistem peringatan dini yang diterapkan oleh pemerintah.
Pakar tsunami lainnya, Abdul Muhari, mengatakan Indonesia tertinggal dari negara lain dalam membangun dan memelihara sistem deteksi tsunami.
Abdul mengatakan negara-negara seperti Jepang yang sering menghadapi gempa dan tsunami, telah memasang dan menggunakan lebih banyak peralatan untuk mendeteksi gempa dibandingkan Indonesia. Misalnya, satu hingga lima seismograf akan ditempatkan di sebuah kecamatan, serta pelampung pendeteksi tsunami rendah di perairannya.
“Meskipun peralatan (Jepang) cukup, masih ada celah yang menimbulkan banyak korban saat gempa dan tsunami 2011 lalu,” kata Abdul. “Indonesia, di sisi lain, hanya mengoperasikan peralatan dalam jumlah terbatas.”
Sutopo Purwo Nugroho, Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mengatakan sejak 2012 Indonesia mengalami kendala pemasangan alat deteksi tsunami secara real time.
“Tidak ada pelampung pendeteksi tsunami yang saat ini beroperasi di negara kami yang diperlukan untuk mendeteksi gelombang seperti itu sejak dini. Sebagian besar rusak karena, misalnya, vandalisme,” kata Sutopo, seraya menambahkan bahwa perolehan peralatan tersebut mungkin akan terkendala oleh keterbatasan anggaran.