3 Februari 2023
TOKYO – Jepang tidak dapat bergabung dengan aliansi militer antar negara Barat. Namun, penting untuk memperdalam kerja sama keamanan guna meningkatkan pencegahan.
Perdana Menteri Fumio Kishida mengadakan pertemuan dengan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg di Kantor Perdana Menteri di Tokyo, dan keduanya menegaskan niat mereka untuk memperkuat kerja sama pertahanan.
Pernyataan bersama yang dibuat oleh Jepang dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara patut dicatat.
Pernyataan tersebut merujuk pada nama Tiongkok dan berpendapat bahwa, “mengenai penguatan kemampuan militer dan perluasan aktivitas militer Tiongkok yang pesat,” Beijing harus meningkatkan transparansi. Mereka juga mencatat “pentingnya perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan.”
Pernyataan lain yang dikeluarkan ketika Stoltenberg terakhir kali mengunjungi Jepang pada tahun 2017 juga menyertakan kata-kata yang menyatakan keprihatinannya terhadap upaya Tiongkok untuk mengubah status quo, namun menghindari kritik terhadap negara tersebut secara langsung.
Tiongkok telah membangun pangkalan militer di Laut Cina Selatan dan berulang kali terlibat dalam aktivitas pemaksaan di sekitar Taiwan. Tumbuhnya rasa kehati-hatian NATO terhadap perilaku hegemonik tersebut bisa dikatakan tercermin dalam pernyataan kali ini.
Pernyataan bersama tersebut mengecam keras invasi Rusia ke Ukraina dan menyatakan keprihatinan atas kerja sama militer yang erat antara Tiongkok dan Rusia.
Persatuan Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa sangat penting untuk memulihkan tatanan internasional yang telah diguncang oleh Tiongkok dan Rusia.
Pernyataan bersama tersebut juga mengidentifikasi dunia maya dan luar angkasa sebagai bidang kerja sama pertahanan khusus antara Jepang dan NATO. Wilayah-wilayah tersebut dapat dikatakan tidak terpengaruh oleh jarak geografis, seperti antara Eropa dan Asia, sehingga memudahkan untuk saling bekerjasama.
Sebelum kunjungannya ke Jepang, Stoltenberg mengunjungi Korea Selatan. Dalam pidatonya di sana, ia menekankan perlunya bantuan militer Korea Selatan kepada Ukraina.
Tahun lalu, Jepang merevisi pedoman operasional tiga prinsip transfer alutsista dan memberi Ukraina rompi antipeluru dan masker pelindung. Namun peralatan yang dapat menyebabkan kematian atau cedera masih belum tercakup dalam pedoman yang direvisi.
Bulan lalu, pemerintah Jepang mulai melatih personel pemerintah Ukraina di Kamboja untuk menyingkirkan ranjau darat dan barang-barang lainnya yang dipasang oleh militer Rusia. Hal ini didasarkan pada pengalaman pemerintah Jepang dalam membersihkan ranjau darat di Kamboja pasca perang saudara di sana. Penting untuk melanjutkan dukungan semacam ini dengan memanfaatkan kekuatan Jepang.
Pemerintah sejauh ini telah menginvestasikan total sekitar $1,5 miliar (sekitar ¥195 miliar) untuk bantuan kepada Ukraina, termasuk penyediaan makanan dan generator, serta bantuan keuangan. Namun, bantuan yang diberikan Jepang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan bantuan negara-negara maju lainnya.
Mengingat memburuknya lingkungan keamanan di sekitar Jepang, krisis Ukraina bukan lagi urusan orang lain. Jika terjadi keadaan darurat di Asia, Jepang dapat mengandalkan dukungan Eropa. Penting untuk terus membangun dukungan bagi Ukraina dan membina hubungan saling percaya dengan Eropa.