19 Oktober 2022
JAKARTA – Mantan administrator Jakarta yang berubah menjadi Istana Negara Heru Budi Hartono secara resmi menjabat sebagai gubernur sementara ibu kota pada hari Senin, dengan masa jabatan yang panjang dan dapat diperpanjang hingga tahun 2024.
Namun, para analis tidak yakin bahwa ia akan memberikan pengaruh besar di era pasca-Anies Baswedan, karena mereka melihatnya lebih sebagai pemimpin masa transisi bagi sebuah kota yang akan kehilangan statusnya sebagai ibu kota Indonesia.
“Dari tiga nama yang diajukan DPRD DKI, Presiden bersama beberapa menteri dan pimpinan lembaga pemerintahan lainnya memilih Heru sebagai penjabat gubernur Jakarta,” kata Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat dilantik Heru.
Heru juga akan tetap mempertahankan jabatannya saat ini sebagai Kepala Sekretariat Presiden, namun akan digantikan oleh dua orang wakil di Istana.
Dalam wawancara dengan Kompas, Kamis, Heru menyebutkan tiga isu utama yang menjadi prioritasnya sesuai instruksi Presiden Joko “Jokowi” Widodo. “Presiden memberi saya amanah untuk menyelesaikan tiga persoalan, mitigasi banjir, pengaturan lalu lintas, dan penataan kota,” kata Heru.
Namun sebagai gubernur sementara, para analis mencatat bahwa Heru tidak akan memiliki banyak ruang gerak untuk memberlakukan kebijakan baru di Jakarta. Peneliti politik Noory Okthariza dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) melihat penunjukan Heru sebagai cara pemerintah pusat untuk memaksakan agendanya sendiri menjelang rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur pada tahun 2024. mendorong.
“Mengingat keterbatasan waktunya (sampai gubernur definitif dipilih melalui pemilu pada akhir tahun 2024), Heru kemungkinan besar tidak akan fokus melakukan perubahan besar,” kata Noory kepada The Jakarta Post, Senin. “Mengatasi banjir dan kemacetan adalah suatu keharusan bagi setiap Gubernur Jakarta, namun Heru akan fokus untuk mewujudkan apa yang diinginkan pemerintah pusat dari Jakarta.”
Djohermansyah Djohan, pakar otonomi daerah yang menentang penunjukan langsung kepala daerah sementara oleh pemerintah, mengamini pendapat tersebut. Ia mengatakan Heru harus mematuhi rencana pembangunan daerah (RPD) yang disusun oleh gubernur terpilih sebelumnya, Anies. “Sebagai gubernur sementara, Heru tidak bisa mempunyai platform atau program sendiri, dan hanya bisa mengikuti apa yang dicanangkan Anies dalam DPRD 2023-2026,” kata Djohermansyah.
Menyelesaikan permasalahan Jakarta
Djohermansyah lebih lanjut berpendapat, persoalan Jakarta terlalu besar, terlalu berat, dan terlalu rumit untuk diselesaikan oleh gubernur sementara yang hanya menjabat paling lambat hingga tahun 2025. “Jakarta membutuhkan pemimpin yang transformatif, seseorang yang mampu melakukan perubahan signifikan terhadap permasalahan yang ada di kota ini,” ujarnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Jakarta memiliki gubernur berlatar belakang militer, Sutiyoso; dari latar belakang politik seperti Jokowi; dan akademisi di Anies. Meski perbedaan latar belakang ini bisa mewarnai cara mereka memerintah, Djohermansyah mengatakan pola pikir kolaboratif lebih penting dalam menjalankan Jakarta.
“Dari segi kualitas transformatif, Anies memiliki keunggulan dalam pendekatannya terhadap tata kelola kolaboratif, terutama melalui konsep penta-helix yang dianutnya,” kata Djohermansyah merujuk pada model tata kelola yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, swasta, memajukan akademisi, sipil. masyarakat. dan warga negara.
Pada masa kepemimpinannya, Anies memperjuangkan Jakarta sebagai “Kota Kolaborasi”, bekerja sama dengan sektor swasta, kelompok masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lainnya dalam pengembangan dan pengelolaan kota.
Mengingat betapa masifnya pemerintahan Jakarta, dengan balai kota, berbagai perusahaan pengelola kota (BUMD Jakarta) dan badan layanan umum (BLUD) yang bekerja sama satu sama lain, Djohermansyah mengatakan bahwa seorang pemimpin mampu melakukan semua elemen yang berbeda tersebut. bekerja sama. itu perlu.
Namun mengingat kompleksitasnya, ia menambahkan bahwa masa jabatan lima tahun bagi seorang gubernur terpilih tidak akan cukup untuk menyelesaikan permasalahan di Jakarta. Karena jabatan gubernur Jakarta dipandang sebagai batu loncatan menuju kursi kepresidenan, tidak ada gubernur yang menjabat dua periode sejak Sutiyoso meninggalkan jabatannya pada tahun 2007. Dan dengan rencana Anies mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2024, kemungkinan besar Jakarta akan kedatangan pendatang baru pada tahun 2024 juga.
Meskipun Jakarta akan kehilangan statusnya sebagai ibu kota Indonesia pada tahun 2024, baik Noory maupun Djoermansyah berharap kota ini dapat mempertahankan kekuatan politiknya di masa mendatang. “Tetap menjadi pusat perekonomian Indonesia meski ibu kotanya berpindah ke Kalimantan. (…) Partai politik dan mereka yang mempunyai aspirasi politik akan terus berebut menguasai Jakarta,” kata Noory.