20 April 2023
JAKARTA – Menjelang Idul Fitri, semakin banyak kembang api yang akan dinyalakan di negara ini, sebuah gangguan yang dapat mempunyai sisi gelap.
Hari raya besar seperti Ramadhan dan malam tahun baru selalu disambut dengan semburan kembang api, tak terkecuali di Indonesia. Namun penyakit ini sudah menjadi hal yang umum sehingga banyak yang mengabaikan risikonya, yang bahkan dapat menyebabkan kematian orang yang dicintai.
Beberapa hari sebelum Ramadhan dimulai pada bulan Maret, ledakan petasan mematikan menewaskan satu orang dan melukai tiga lainnya di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Beberapa minggu kemudian, lebih banyak korban luka mulai muncul di Jepara dan Kebumen, yang menyebabkan kematian seorang anak laki-laki berusia 17 tahun pada tanggal 12 April. Menanggapi hal tersebut, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengeluarkan teguran.
“Saya mohon kepada masyarakat, menjelang Idul Fitri, khususnya 10 hari terakhir Ramadhan ini, untuk berhenti bermain kembang api,” kata Ganjar, Rabu, seperti dikutip dari Antara. Kompas.com.
Ganjar meminta masyarakat yang bersuka ria memilih alternatif. Namun, kaki sudah tertanam dalam budaya Indonesia sehingga rasanya mustahil untuk memisahkannya dari liburan malam.
Kegembiraan musiman
Bagi Haura yang berusia 16 tahun, kembang api selalu menjadi tradisi keluarga. Hampir setiap malam tahun baru, keluarganya menyalakan petasan di teras depan.
“Aku suka yang tidak terlalu berisik, tapi ledakannya besar di udara,” kata siswi SMA Bandung itu, 9 April lalu.
Meskipun pada umumnya dia menyukainya, dia menggambar beberapa garis.
“Keluarga kami tidak pernah mendapatkannya pada malam hari menjelang Idul Fitri, karena (selalu ada) takbiran Dan berkah (puji kebesaran Tuhan) di sekitar rumah,” ujarnya.
Penjual petasan, yang banyak ditemukan di jalanan atau di pasar selama bulan Ramadhan atau bulan Desember, juga berbicara tentang umur panjang petasan dalam budaya Indonesia.
“Saya telah menjual kelapa setiap tahun sejak tahun 2003. (…) Keluargaku juga punya. Ini adalah bisnis yang sudah turun temurun,” kata Rustamaji, atau “Aji” yang berusia 30 tahun, pada tanggal 4 April.
Aji, yang tinggal di Kebon Jeruk, Jakarta Barat dan berjualan kelapa di pinggir jalan dekat rumahnya, mengatakan bisnis cenderung booming saat Ramadhan dan menjelang Tahun Baru. Ia dan rekan-rekannya mampu melipatgandakan atau melipatgandakan investasi mereka, yang biasanya berkisar Rp 1,5 juta.
“(Itu) karena semua orang membeli kelapa, terutama orang tua yang membelikannya untuk anak-anaknya,” kata Aji, yang mengelola toko pijat refleksi saat musim sepi kelapa.
Ia menyebutkan banyaknya jenis petasan yang dijualnya, mulai dari semburan api berbentuk air mancur hingga ledakan berbentuk bola, seraya menambahkan bahwa orang yang takut dengan ledakan besar selalu bisa memilih kembang api.
Cedera yang membuat trauma
Ada alasan bagus untuk mewaspadai ledakan warna-warni tersebut. Cedera akibat kembang api sebenarnya cukup umum terjadi.
“Itu malam sebelum Idul Fitri dan seluruh keluarga berkumpul. Semua anak berada di luar bermain kelapa. Kakak saya, yang saat itu berusia 6 tahun, punya ide liar untuk menyalakan kembang api sendiri,” kata Khairunnisa Dwita “Dudu” Lestari, 23 tahun, tentang kejadian yang terjadi pada tahun 2008.
Kakak laki-lakinya, yang masuk sekolah dasar pada tahun itu, terlalu dekat dengan sumbu kembang api saat sedang dinyalakan.
“Bajunya terbakar dan mencapai perutnya, dekat pusarnya. Dia kemudian berlari berkeliling mencoba memadamkan api,” kenang Dudu pada 28 Maret.
Setelah anak laki-laki itu tenang dan apinya padam, ayahnya mengoleskan salep pada luka bakarnya selama beberapa hari.
“Untungnya bukan luka bakar yang fatal. Tapi ketakutan itu hilang seiring bertambahnya usia,” kata Dudu.
Sementara itu, bagi Muhammad Fadhil, 24 tahun, asal Banjarmasin, Kalimantan, ledakan petasan pernah menimbulkan rasa malu yang jauh lebih buruk daripada rasa sakit fisik apa pun yang ditimbulkannya.
“Saya duduk di kelas empat, dan keluarga saya biasa melakukannya setiap bulan Ramadhan tarawih (salat magrib Ramadhan) di masjid belakang komplek perumahan saya. Tapi saya pergi ke yang lain Musholla (mushola) supaya bisa menghindari salat dan hanya bermain-main dengan teman-teman,” aku Fadhil sambil tertawa, 28 Maret lalu.
Dengan kelapa di tangan dan sungai di dekatnya Mushollaanak-anak mempunyai ide untuk membuang kelapa tersebut ke sungai.
“Mungkin jadi nanti ada pancuran air yang pecah kalau meledak, siapa tahu? Kami kemudian membuang kelapa tersebut ke sungai, namun tidak terjadi apa-apa. Saat saya mendekatkan wajah ke sungai untuk melihat petasan menyala atau tidak (…) saat itulah meledak,” kata Fadhil.
“Wajah saya sangat panas, merah dan gatal, tapi saat itu saya hanya kaget dan malu, jadi saya hanya menertawakannya,” katanya. Beberapa bisul muncul di wajahnya keesokan harinya.
Meski Fadhil akhirnya lepas dari rasa takutnya terhadap kembang api akibat keterkejutannya di sungai, beberapa orang, seperti Zulfan, 24 tahun, tidak pernah bisa menghilangkan rasa takutnya setelah kejadian tersebut.
“Waktu saya masih kecil, saya dan teman-teman sering bermain kerupuk, dan pernah sekali kami bermain-main dengan mereka,” kenang desainer grafis asal Bandung ini, terdengar menyesali pengalamannya di sekolah dasar.
Akhirnya, petasan meledak di tangannya sebelum dia sempat melemparkannya kembali.
“Untungnya tidak meninggalkan bekas luka yang parah, lebih mirip luka bakar rokok,” katanya. “Tetapi itu cukup traumatis bagi saya. Sampai hari ini, ketika saya mencium bau gas kembang api, saya langsung waspada secara refleks.”
Meski berbahaya, banyak anak yang masih bersemangat bermain kembang api.
“Saya tidak takut dengan petasan,” kata Arraya, adik laki-laki Haura yang berusia 7 tahun, pada 9 April. “Aku lebih takut pada kembang api karena percikan api muncul di tanganmu.”
Setelah mencoba pengalaman petasan pertamanya di bulan puasa ini, ia memutuskan ingin mencoba lebih banyak lagi – dengan hati-hati tentunya.
“Saya tidak sabar untuk menyalakan biskuit lagi bersama sepupu saya,” kata Arraya bersemangat.