6 Maret 2023
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pilar demokrasi konstitusional kita. Badan peradilan ini, yang berfungsi sebagai penafsir utama konstitusi kita, harus memiliki kredibilitas dan bebas dari pengaruh partisan dari dua cabang pemerintahan lainnya, yaitu badan eksekutif dan legislatif.
Oleh karena itu, kita harus memantau dengan cermat penyelidikan yang sedang dilakukan oleh dewan etik Mahkamah Konstitusi mengenai kejanggalan dalam putusan mereka mengenai undang-undang yang mengatur hak-hak sembilan hakim Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tahun 2020.
Skandal tersebut berkisar pada ketidaksesuaian antara pembacaan putusan di sidang akhir dan salinan resmi putusan yang diunggah di situs pengadilan. Kontroversi berpusat pada penggunaan istilah “karena itu” dalam pendapat pengadilan yang dibacakan Hakim Saldi Isra, berbeda dengan frasa “di masa depan” yang muncul dalam salinan resmi dokumen tersebut.
Perubahan tersebut bukan perkara kecil karena bisa mengubah sifat putusan, terutama soal apakah pemecatan hakim Aswanto saat itu inkonstitusional atau tidak, seperti yang didalilkan para pemohon.
Skandal ini sangat mengkhawatirkan karena dapat menghancurkan kredibilitas pengadilan, salah satu peninggalan era reformasi yang, setidaknya sampai saat ini, dianggap relatif independen.
Dewan etik yang dipimpin mantan hakim I Dewa Gede Palguna ini sejauh ini telah memeriksa lima hakim yakni Hakim Ketua Anwar Usman, Hakim Suhartoyo, Hakim Wahiduddin Adams, Hakim Manahan-LP Sitompul, dan Hakim Arief Hidayat. Hal ini yang akan mempertanyakan Hakim Saldi.
Para kritikus mempertanyakan independensi dewan dalam menangani kasus tersebut, karena salah satu anggotanya adalah salah satu dari sembilan hakim aktif, Enny Nurbaningsih.
Menegaskan profesionalismenya, Palguna mengatakan kinerja dewan harus dinilai dari hasil keputusannya. Palguna sendiri merupakan mantan hakim Mahkamah Konstitusi sebanyak dua kali antara tahun 2003 hingga 2008 pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan antara tahun 2015 hingga 2020 pada masa pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Terlalu dini untuk mengukur kinerja Palguna dan timnya. Namun, dewan harus tahu bahwa penyelidikan etika adalah ujian bagi pengadilan, yang hasilnya akan berdampak serius pada keadaan politik kita.
Kelompok masyarakat sipil telah menyatakan keprihatinan yang serius mengenai kemungkinan kooptasi pengadilan oleh badan eksekutif dan legislatif, sehingga semakin memperkuat keyakinan bahwa ada upaya elit politik untuk membongkar lembaga-lembaga demokrasi kita.
Pemecatan kontroversial Aswanto oleh DPR dengan alasan tidak berbuat cukup mewakili kepentingan lembaga legislatif yang mencalonkannya merupakan upaya terang-terangan para politisi untuk mengontrol pengadilan. Untuk semakin memperkuat cengkeramannya terhadap peradilan, DPR mengusulkan peninjauan kembali terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang jika disahkan maka DPR dan pemerintah dapat menilai kinerja hakim, sehingga dapat dipanggil kembali.
Fakta bahwa ketua hakim saat ini, Anwar, adalah saudara ipar Presiden Jokowi adalah isu lain yang tidak dapat diabaikan begitu saja, karena presiden telah memperkenalkan sejumlah undang-undang kontroversial untuk mendukung program pembangunan ambisiusnya.
Wajar jika institusi kuat seperti Mahkamah Konstitusi ditentang oleh kekuatan-kekuatan sosio-politik yang bersaing di negara ini. Namun kita harus menetapkan aturan main yang ketat untuk memastikan bahwa demokrasi kita menguntungkan masyarakat, dan bukan hanya segelintir orang yang memiliki akses terhadap kekuasaan negara dan ekonomi.
Pentingnya pengadilan tidak bisa terlalu ditekankan. Sebagai pengawal UUD 1945, ini adalah pertahanan terakhir kita terhadap segala upaya oligarki yang mengingkari hak-hak dasar sipil kita sebagai warga negara, perlindungan terakhir kita terhadap segala upaya penjarahan sumber daya negara.