10 Januari 2023
JAKARTA – Investasi di pusat data Indonesia tumbuh sepanjang tahun 2022, dan orang dalam industri mengatakan tren ini akan berlanjut di tahun 2023 karena permintaan yang tinggi untuk adopsi digital, mengingat ekonomi Internet merupakan sumber vital pertumbuhan negara.
Pemerintah, investor swasta, badan usaha milik negara, dan konglomerat menginvestasikan banyak uang di pusat data tahun lalu.
Menurut sebuah laporan oleh Mordor Intelligence, pasar pusat data bernilai US$1,67 miliar pada tahun 2022. Firma riset pasar tersebut juga memproyeksikan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 13,15 persen untuk sektor ini dari tahun 2022 hingga 2027, yang di pasar menjadi diterjemahkan. senilai $3,43 miliar pada tahun 2027.
“Investasi dan bisnis pusat data, sebagai tulang punggung utama teknologi digital, akan tumbuh pesat pada tahun 2023 dan tahun-tahun mendatang,” Deni Friawan, peneliti ekonomi di Center for Strategic and International Studies (CSIS), mengatakan kepada The Jakarta Post pada hari Selasa.
Potensi populasi yang masif, rendahnya akses masyarakat terhadap layanan digital, pertumbuhan ekonomi digital, dan transformasi digital di pemerintahan menjadi beberapa sumber utama pesatnya pertumbuhan sektor teknologi di Indonesia, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan permintaan-infrastruktur data center. , kata Deni.
Sementara itu, firma riset dan konsultan Structure Research yang berbasis di Toronto mengungkapkan bahwa pusat data kolokasi di Jakarta memiliki nilai pasar sebesar $336,6 juta dan proyeksi CAGR sebesar 22,7 persen hingga tahun 2027.
Hingga saat ini, 73,7 persen penduduk Indonesia menggunakan Internet. Total kapasitas pusat data negara menunjukkan perbedaan besar dalam kaitannya dengan angka ini, hanya 12,7 persen, yang berarti hanya 0,6 watt per kapita.
tingkat yang sangat rendah dibandingkan dengan Singapura 183 watt per kapita. “Dengan penetrasi hanya 0,6 watt dan jumlah pengguna internet yang besar di Indonesia, jelas dibutuhkan data center dengan jaringan yang handal. Persaingan tidak terlalu menjadi perhatian karena pasarnya masih luas,” kata Deni.
Banyak pusat data ditujukan untuk komputasi hiperskala, sistem pusat data yang saling terhubung untuk penyediaan layanan tanpa batas yang dapat memperluas komputasi, memori, jaringan, dan penyimpanan untuk memenuhi peningkatan permintaan. Infrastruktur komputasi hyperscale biasanya terdiri dari pusat data yang tak terhitung jumlahnya yang saling terhubung di banyak negara.
Berdasarkan peraturan pemerintah yang mensyaratkan lokalisasi data, infrastruktur digital dan data di dalamnya harus ada dan diproses secara fisik di dalam wilayah Indonesia. Menurut Deni, proses pengambilan keputusan dalam penyusunan aturan itu patut dipertanyakan.
“Hal ini terjadi karena ketidaktahuan pengambil keputusan tentang sistem cloud dalam teknologi. Mereka berpikir kalau server dan datanya ada di Indonesia, berarti aman,” ujarnya.
“Hyperscale (komputasi) jelas lebih baik daripada pusat data lokal yang eksklusif,” tambah Deni.
Deni menunjukkan bahwa beberapa proyek investasi melibatkan pusat data di tempat.
Juga dikenal sebagai pusat data lokal, istilah ini mengacu pada sekelompok server yang dimiliki dan dikendalikan secara pribadi, dan umumnya terletak di dekat tempat pemiliknya bekerja.
Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi di Institute for Development of Economy and Finance (INDEF), mengatakan hal ini karena banyak pengguna yang masih skeptis dengan keamanan cloud computing.
“Beberapa perusahaan masih belum percaya bahwa data (yang tersimpan di cloud) aman dan tidak bisa diakses oleh pihak lain,” kata Andry.
Namun, Andry mengatakan bisnis data center di Indonesia akan terus berkembang: “Masih banyak perusahaan yang membutuhkan data center dan dari sisi regulasi, pemerintah telah mengamanatkan perusahaan tersebut untuk memiliki data center lokal di Indonesia.”
Ditambahkannya, Indonesia masih belum memiliki banyak data center level 3 atau 4 yang sebenarnya dibutuhkan oleh perusahaan besar.
Pusat Data Nasional
Pemerintah saat ini sedang mengembangkan empat pusat data nasional di Bekasi, Jawa Barat, di Nongsa, Kepulauan Riau, di Balikpapan, Kalimantan Timur, dan di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Menurut jumpa pers Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 10 November, proyek tersebut dijadwalkan selesai pada Oktober 2024.
“Kita butuh pusat data nasional, apalagi pembiayaannya tidak terlalu memberatkan APBN, karena Perancis memberikan porsi (pendanaan) yang besar,” kata Andry.
Ia mengatakan pusat data nasional akan mempercepat transformasi ke e-birokrasi, yang mencakup data catatan sipil terintegrasi di sisi praktis. Pusat data nasional juga dapat mengintegrasikan data dari kementerian keuangan dan urusan sosial untuk pembuatan kebijakan yang lebih baik.
Deni dari CSIS memuji tujuan di balik pusat data nasional, yaitu mengintegrasikan data dan aplikasi pemerintah. Hal ini pada gilirannya akan mengarah pada efisiensi biaya karena setiap kementerian dan lembaga tidak perlu membayar ekstra untuk menggunakan data yang sama.
“Namun, bukan berarti pemerintah harus membangun dan menjalankan pusat data itu sendiri karena biaya untuk keduanya sangat besar,” ujarnya.
Sekalipun pemerintah memiliki cukup dana untuk keduanya, Deni menyatakan skeptis bahwa akan ada modal manusia yang diperlukan untuk menjalankan pusat data nasional.
Ia juga menunjuk birokrasi yang terkenal lamban dan berbelit-belit yang pasti akan menjerat pengelolaan pusat data nasional.