26 Agustus 2022
KUALA LUMPUR – Sebuah rencana aksi untuk mengatasi pernikahan di bawah umur sedang disusun, dengan kebijakan dan undang-undang juga sedang dirumuskan untuk menjadikannya lebih sensitif gender, kata perdana menteri.
Datuk Seri Ismail Sabri Yaakob mengatakan semua negara bagian harus mengatasi masalah pernikahan anak, dan menunjukkan bahwa Kedah sudah mulai menguasai masalah ini.
“Saya berharap hal ini dapat diikuti oleh negara-negara lain untuk memastikan masalah pernikahan di bawah umur dapat diselesaikan,” ujarnya kemarin pada perayaan Hari Perempuan Nasional ke-60 yang digelar di sini.
Raja Permaisuri Agong Tunku Hajah Azizah Aminah Maimunah Iskandariah turut memeriahkan kesempatan tersebut.
Pada tanggal 18 Juli, Majelis Negara Bagian Kedah mengesahkan amandemen RUU Hukum Keluarga Islam tahun 2022 tentang batasan usia untuk menikah dan hukum poligami.
Amandemen tersebut antara lain menaikkan usia menikah bagi perempuan dari 16 menjadi 18 tahun. Hukuman juga diberlakukan untuk poligami tanpa izin terlebih dahulu dari pengadilan.
Ismail Sabri mengatakan pemerintah federal akan melakukan perannya dengan terus menyempurnakan undang-undang dan memelopori program-program yang lebih sensitif gender.
Ia mengatakan hal ini mencakup peninjauan dan pembaharuan Kebijakan Nasional Perempuan dan penyusunan rancangan undang-undang yang sensitif gender.
“Contohnya, RUU Anti Pelecehan Seksual 2021 disahkan dengan suara mayoritas di Dewan Rakyat pada 20 Juli dan Dewan Negara pada 11 Agustus.
“RUU yang melarang penguntitan juga diajukan untuk pembahasan pertama di Dewan Rakyat pada tanggal 4 Agustus,” kata perdana menteri.
Ismail Sabri menambahkan bahwa untuk mengatasi permasalahan terkait partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, gender akan diarusutamakan dalam perencanaan dan implementasi kebijakan serta inisiatif pemerintah.
Ia mengatakan hal ini akan dilakukan melalui pembentukan Titik Fokus Gender dan Tim Fokus Gender di setiap kementerian yang disetujui oleh pemerintah.
“Malaysia saat ini menghadapi tantangan karena meskipun perempuan merupakan 47,7% dari total populasi, hanya 55,1% dari populasi tersebut yang memasuki pasar tenaga kerja pada tahun 2021.
“Angka ini lebih rendah dibandingkan Singapura yang sebesar 69,7% dan Thailand yang sebesar 66,8%,” ujarnya.
Meskipun tingkat partisipasi perempuan di semua tingkat pendidikan tinggi, hal tersebut tidak tercermin di pasar tenaga kerja, Ismail Sabri menambahkan.
Ia juga mengatakan Kementerian Keuangan dan LSM terkait perempuan telah diberi tanggung jawab untuk menyiapkan anggaran yang berfokus pada gender untuk kelompok B40 mulai tahun depan.
Dia mengatakan inisiatif anggaran, yang akan didasarkan pada data terpilah gender, akan mengidentifikasi kelompok sasaran dan mendistribusikan hibah sesuai dengan kebutuhan penerima.