2 November 2022
JAKARTA – Diwariskan secara turun-temurun, beberapa percaya bahwa kearifan lokal Batak adalah solusi dari penggundulan hutan.
Bagi sebagian orang Batak di Indonesia, satu-satunya cara saat ini untuk menentang deforestasi massal yang terus-menerus adalah dengan merangkul kearifan lokal.
Dalam mitologi Batak, pencipta alam semesta, Mulajadi Nabolon, mengabulkan permintaan leluhur manusia pertama Boru Deak Parujar, yang meminta untuk menguasai Bumi sebagai dunianya.
Beberapa waktu kemudian, ular mitologis Naga Padohaniaji yang hidup di alam para dewa jatuh cinta pada Boru Deak Parujar karena kecantikannya. Namun, Boru Deak Parujar menolaknya, karena dia sudah bertunangan dengan Raja Odap Odap, yang tinggal di alam para dewa dan satu-satunya manusia yang ada saat itu.
Penolakan ini membuat marah Naga Padohaniaji, dan dia mengeluarkannya ke bumi dan mengguncangnya. Dia kemudian memohon pengampunan. Mulajadi Nabolon memaafkannya dengan satu syarat: bahwa dia akan menjaga Bumi.
Atas restu Mulajadi Nabolon, Boru Deak Parujar menikah dengan Raja Odap Odap. Namun, anak pertama mereka lahir tanpa wajah atau anggota tubuh. Atas perintah Mulajadi Nabolon, anak itu ditanam di Bumi dan tumbuh menjadi pohon.
Setelah itu, Boru Deak Parujar melahirkan anak kembar, Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia. Dia menasihati kedua anaknya untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan alam dan memulai setiap persembahan dengan air suci.
Dalam artikel yang dimuat di blognya pada Juni 2007, Monang Naipospos, seorang budayawan dan sastrawan Batak, mengatakan bahwa mitologi merupakan akar kearifan lokal Batak dalam mengelola lingkungan, termasuk menjaga sumber air dan pemeliharaan hutan.
“Ketika orang menebang pohon di hutan, mereka harus menanam penggantinya. Konon siapa pun yang melanggar akan mendapat kutukan,” kata Monang kepada The Jakarta Post.
Hormati pepohonan
“Dulu dalam budaya Batak ada tradisi Martondi Hau – tradisi menebang kayu di hutan dan menanam kembali pohon – dilanjutkan dengan ritual,” kata Direktur Batakologi Universitas HKBP Nommensen Medan, Manguji Nababan, dikatakan.
Manguji menjelaskan bahwa Martondi Hau tidak hanya mencakup pemotongan kayu dari hutan, tetapi juga ritual ketika masyarakat adat membutuhkan kayu untuk membangun segala sesuatu mulai dari rumah hingga peti mati. Setiap pohon dianggap sebagai roh.
Proses penebangan pohon juga harus mengikuti aturan tertentu. Pohon harus bebas dari tanaman merambat dan hewan dan memiliki pucuk pengganti. Pohon pengganti harus ditanam kembali untuk memastikan mereka tumbuh dan tidak akan dihancurkan oleh pohon besar. Setelah mereka difoto, dilakukan ritual doa dan makan.
Kini acara seperti itu hanya dilakukan oleh sekelompok kecil masyarakat adat, seperti yang ada di Sihaporas, Kabupaten Simalungun. Mereka masih mempraktikkan kearifan lokalnya untuk mencegah pencemaran sumber air.
“Bisa dikatakan masyarakat adat adalah penjaga terakhir kearifan lokal; jika tidak maka akan hilang selamanya,” kata Manguji.
Perlindungan dasar
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 95,6 juta hektare (ha) pada tahun 2021, dengan laju deforestasi mencapai 115,46 ribu ha.
Oleh Perdirjen No. 6 Tahun 2018, KLHK melakukan program restorasi hutan dengan skema perhutanan sosial untuk merestorasi hutan dengan melibatkan masyarakat dan menargetkan pemulihan 5,5 juta ha lahan kritis. Hutan seluas 177.000 ha, 68 lokasi di seluruh Indonesia, telah direstorasi melalui skema ini, meskipun pelaksanaannya masih menghadapi banyak tantangan.
Menurut Masrizal Saraan, pelestari dan direktur eksekutif Yayasan Pesona Tropis Alam Indonesia (PETAI), mitra KLHK dalam merestorasi hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, Langkat, Sumatera Utara, negara memiliki unsur kearifan lokal yang termasuk sebagai salah satu unsur-unsur kearifan lokal — alat dalam upaya perlindungan lingkungan. L
aw Tidak. 32 Tahun 2009 Pasal 2 menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan salah satu prinsip dasar perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
“Namun, kenyataannya masih sulit diimplementasikan. Karena setiap kawasan memiliki kearifan lokal yang berbeda, dan setiap kawasan konservasi memiliki kondisi yang berbeda. Seperti di kawasan Leuser, sebelumnya para pendatang adalah para pendatang. Jadi, (mereka) tidak punya kearifan lokal. Kearifan lokal harus diterapkan oleh masyarakat lokal yang sudah lama tinggal di daerah tersebut,” ujar Masrizal.
Tantangan
Masrizal menambahkan, yayasannya masih mencari perangkat kearifan lokal yang tepat untuk upaya konservasi melalui skema perhutanan sosial.
“Mungkin untuk daerah tertentu ada kearifan lokal yang bisa diterapkan,” lanjutnya. “Misalnya, pernah ada wacana bahwa pasangan yang menikah wajib menanam lima pohon, yang mungkin berlaku di daerah tertentu.”
Penanaman lima pohon untuk setiap calon pengantin pernah dikampanyekan oleh KLHK pada tahun 2015, namun sepertinya ide tersebut dapat segera dilaksanakan.
“Memang setiap daerah memiliki kearifan lokalnya masing-masing. Beberapa masih bisa diterapkan. Beberapa tidak bisa. Tapi, saya melihat dari sudut pandang perhutanan sosial (seperti yang dilakukan pemerintah saat ini) bahwa kearifan lokal, menurut saya, masih bisa digunakan sebagai alat. Itu hanya perlu disesuaikan dengan daerah.”
Manguji, sebaliknya, mencatat bahwa “kemurnian budaya Batak mulai terkikis ketika Belanda memasuki tanah Batak pada tahun 1870-an”. Monang mendukung gagasan tersebut dengan mengatakan bahwa sistem hukum adat tergeser oleh sistem pemerintahan setelah penjajahan Belanda.
Baik Manguji maupun Monang meyakini bahwa perubahan sistem dan pengaruh gaya hidup modern menjadi kendala dalam penerapan kearifan lokal yang dulunya penting di masyarakat.
“Kolonialisme merusak tatanan hukum adat. Jadi, kita sekarang seperti dalam mimpi. Di satu sisi ada kearifan lokal, tetapi tidak bisa lagi diterapkan karena ada peraturan negara. (Penerapan kearifan lokal) bisa menimbulkan konflik (dengan negara),” kata Monang seraya menambahkan bahwa persepsi tentang hukum adat dan masyarakat adat juga berubah sejak era penjajahan Belanda.
“Sekarang sulit diterapkan (kearifan lokal). Kalaupun bisa, hanya bisa dilakukan oleh sekelompok kecil masyarakat. Kalau (kearifan lokal) diteruskan, mungkin hutan kita tidak akan gundul, dan tidak akan ada banjir dan tanah longsor seperti di Toba.”
Monang menjelaskan, kearifan lokal menebang dan menanam kembali pohon, misalnya, kini digelar dalam ritual Sipaha Lima, acara tahunan Parmalim. Komunitas Batak ini mengikuti tradisi dan filosofi setempat.
“Biasanya (Sipaha Lima) diadakan akhir Juli. (Parmalim) kini mempraktikkan kearifan lokal sebagai bagian dari ritual. Kami hanya bisa menerapkan kearifan lokal tentang penebangan dan penanaman (pohon) di lahan kami. Dahulu, sebelum negara menetapkan hutan negara, kearifan lokal tersebut dilakukan di dalam hutan.
“Dulu, hutan adalah milik masyarakat adat dan dijaga. Sekarang hutan itu milik negara. (Kalau menebang kayu di hutan, dianggap mencuri (kayu) dari hutan,” kata Monang.