2 Februari 2023
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa menguatkan ketentuan ambigu dalam Undang-Undang Perkawinan yang seringkali menghambat pernikahan beda agama dan menyulitkan pasangan berbeda agama untuk meresmikan perkawinan mereka.
Pengadilan menolak permohonan yang diajukan oleh seorang warga negara yang memintanya untuk menguji undang-undang yang mengarah pada pembatalan tiga ketentuan, yang mengatur bahwa suatu perkawinan sah hanya jika dilakukan sesuai dengan agama masing-masing.
Undang-undang tidak mengakui atau melarang pernikahan antara orang yang berbeda agama, namun tiga ketentuan yang disebutkan dalam petisi seringkali mendorong penolakan terhadap pernikahan beda agama. Sebab, lembaga keagamaan seringkali tidak memperbolehkan penganutnya menikah dengan pasangan yang berbeda agama, sehingga banyak pasangan beda agama tidak bisa mencatatkan pernikahannya.
Pada saat yang sama, undang-undang mengatur bahwa perkawinan antara dua orang yang berbeda agama dilarang jika agama mereka melarang mereka untuk melakukan perkawinan tersebut.
Dalam putusan pengadilan yang dikeluarkan pada hari Selasa, pengadilan berpendapat bahwa undang-undang memberi wewenang kepada lembaga-lembaga keagamaan untuk menyatakan sahnya suatu perkawinan, dan bahwa negara hanya bertindak atas pencatatan perkawinan yang dianggap sah oleh lembaga-lembaga keagamaan untuk menjamin hak-hak suami-istri.
Oleh karena itu, hakim berkesimpulan bahwa ketentuan yang disebutkan dalam permohonan tidak dimaksudkan untuk merugikan kebebasan beragama atau hak untuk menikah dan berkeluarga.
Ketentuan yang dimaksud “tidak bertentangan dengan asas yang menjamin hak beribadah dan berkeyakinan, persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan, hak untuk hidup dan bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif, serta hak untuk membentuk dan memperbanyak keluarga, menjamin tidak ”, Hakim Mahkamah Konstitusi Wahiduddin Adams membacakan amar putusan.
Pemohon dalam perkara tersebut adalah Ramos Patege, seorang pria Katolik asal Papua yang harus membatalkan rencananya menikahi pasangan Muslimnya selama tiga tahun karena perbedaan keyakinan.
Ramos berupaya untuk memastikan kepastian hukum yang lebih besar bagi pernikahan beda agama, dengan mengatakan dalam petisinya bahwa ketidakjelasan ketiga ketentuan tersebut melanggar hak untuk menikah dan membentuk keluarga.
Ia berpendapat bahwa UU Perkawinan mendorong masyarakat untuk hanya menikah dengan pasangan yang seagama dan melanggar Konstitusi yang menjamin hak setiap warga negara untuk memilih dan mengamalkan agamanya.
Permohonannya juga menyebutkan agar pencatat perkawinan sebagai wakil negara tidak boleh menolak mencatatkan perkawinan suatu pasangan dengan alasan suami istri tersebut berbeda keyakinan.
Dalam dalil-dalil yang diajukan ke pengadilan, perwakilan legislatif dan pemerintah menolak pandangan pemohon. Kuasa hukum pemerintah mengatakan undang-undang tersebut tidak dimaksudkan untuk mencegah orang menikahi pasangannya atau untuk melakukan diskriminasi terhadap individu mana pun, sedangkan perwakilan legislatif mengatakan bahwa pernikahan bukan sekadar masalah administratif namun juga merupakan acara keagamaan dan sosial yang sakral.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Aliansi Cinta Keluarga (AILA) dan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) sebelumnya mengajukan intervensi pihak ketiga untuk menuntut pengadilan menolak permohonan tersebut.
Dalam putusannya, Mahkamah juga menyatakan “tidak menemukan urgensi” untuk mengubah pendiriannya dari dua putusan sebelumnya yang dikeluarkan pada tahun 2012 dan 2015, yang juga menolak dua petisi serupa yang menentang UU Perkawinan.
Beberapa mahasiswa dan lulusan fakultas hukum mengajukan permohonan peninjauan kembali undang-undang tersebut pada tahun 2014, dengan alasan bahwa ketentuan tersebut memaksa masyarakat untuk memilih agama tertentu sebagai dasar pernikahan mereka. Pengadilan menolak petisi tersebut pada tahun berikutnya, yang secara efektif membiarkan pernikahan beda agama tetap tabu di negara tersebut.
Ketidakjelasan undang-undang tersebut telah menyebabkan perdebatan selama bertahun-tahun serta desakan dari beberapa kelompok bahwa pernikahan beda agama tidak diperbolehkan.