3 April 2023
JAKARTA – Kelompok masyarakat sipil menyerukan lingkungan yang lebih kondusif untuk berkembang biak partisipasi perempuan dalam politik dan mengurangi stereotip apa pun yang menghalangi hal tersebut, baik terkait dengan rendahnya keterwakilan di kalangan legislator atau diskriminasi yang mengakar di DPR.
Menemukan lebih banyak kandidat perempuan untuk legislatif dan eksekutif masih menjadi tantangan, kata Nurul Amalia Salabi, peneliti Persatuan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dalam live chat di Jakarta akhir pekan lalu.
“UU Pemilu kita telah membuka pintu (bagi lebih banyak perempuan untuk terwakili dalam politik) dengan menetapkan kuota minimal 30 persen untuk keterwakilan perempuan di tingkat dewan eksekutif pusat di antara partai-partai politik. Namun sebuah penelitian menunjukkan bahwa partai seringkali mengabaikan persyaratan tersebut dan mengarah pada pemilu,” kata Nurul.
Sebaliknya, lanjutnya, partai-partai seringkali melakukan pemilihan anggota perempuan secara sembrono hanya untuk memenuhi persyaratan, seperti mencalonkan diri sebagai istri pejabat publik.
Selama 24 tahun terakhir, Indonesia mengalami tren peningkatan keterwakilan perempuan di DPR, namun jumlahnya tidak pernah mencapai ambang batas 30 persen. Tiga puluh persen adalah angka yang “sakral” karena, menurut PBB, perempuan hanya dapat mempengaruhi proses pengambilan kebijakan jika mencapai ambang batas tersebut.
Data terkini dikumpulkan oleh Kompas Harian Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) menunjukkan bahwa pada tahun 1999-2004 keterwakilan di DPR hanya mencapai 9 persen atau setara dengan 44 perempuan, namun pada periode 2004-2009 menjadi 10,7 persen (65 perempuan), kemudian menjadi 17,6 persen (100 perempuan). ) ) pada periode 2009-2014 menjadi 17,7 persen (97 perempuan) antara 2014-2019 dan 20,9 persen (120 perempuan) antara 2019-2024.
Baca juga: Tolong, lebih banyak perempuan dalam politikSeksisme dan perlakuan diskriminatif juga dialami oleh anggota DPR perempuan, kata Nurul, seraya mencontohkan perempuan di Komisi II DPR yang membidangi urusan dalam negeri hanya diberi sedikit ruang untuk menyuarakan pendapatnya dibandingkan dengan rekan laki-lakinya, terutama pada saat pembahasan redistribusi dana. orang Papua. provinsi terkini.
Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Jentera Indonesia, menggambarkan perlunya memberikan ruang bagi perempuan untuk berbicara dalam pengambilan kebijakan sebagai hal yang “penting” karena membuka jalan bagi masuknya perspektif lain dari kelompok rentan, seperti anak-anak dan komunitas penyandang disabilitas.
“Ruang politik bagi perempuan harus disediakan, tidak hanya dari segi kuantitas yang diwakili, tetapi juga kualitas lingkungan politik yang kondusif bagi partisipasi perempuan,” ujarnya.
Rizka Antika, peneliti di Forum LSM Internasional tentang Pembangunan Indonesia (INFID), meminta partai politik untuk memberikan lebih banyak ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik karena tidak adanya peraturan mengikat yang mengharuskan perempuan memiliki kesempatan untuk diizinkan menjadi pemimpin partai.
“Kepemimpinan perempuan di partai politik harus didorong dan didukung, tidak hanya di pusat, tapi juga di daerah,” kata Rizka.
Selama satu dekade terakhir, Indonesia telah menyaksikan lonjakan perempuan yang menduduki jabatan penting di pemerintahan, seperti Menteri Sosial Tri “Risma” Rismaharini, di sektor swasta, seperti Dian Siswarini, CEO PT XL Axiata, dan dalam organisasi internasional. , seperti Mari Elka Pangestu sebagai direktur Bank Dunia dan Armida Alisjahbana sebagai wakil sekretaris jenderal PBB.
Di DPR, meski jabatan ketua DPR saat ini dipegang oleh Puan Maharani, putri Megawati Soekarnoputri, mantan presiden dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), banyak orang yang masih menganggap penunjukan tersebut hanya sekedar tanda dan bahwa perempuan terus berjuang untuk mengambil posisi kepemimpinan lainnya di badan legislatif meskipun ada kemajuan yang dirasakan.