6 April 2022
JAKARTA – Usulan Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yakoob untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa kedua setelah bahasa Inggris di ASEAN mendapat tanggapan hangat dari Indonesia karena beberapa alasan, termasuk kesulitan dalam memutuskan versi bahasa Melayu mana yang akan digunakan.
Gagasan tersebut juga dapat menimbulkan kecurigaan dari anggota ASEAN yang tidak menguasai bahasa yang berakar pada bahasa Melayu. Namun, Malaysia harus diberi kesempatan yang adil untuk meyakinkan sembilan anggota kelompok regional lainnya bahwa bahasa Melayu akan membantu mempercepat kemajuan di ASEAN.
Retno LP Marsudi, Menteri Luar Negeri, dan Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, tidak begitu antusias terhadap inisiatif ini. Pasal 34 Piagam ASEAN menetapkan bahasa Inggris sebagai bahasa kerja untuk kelompok yang beragam.
Nadiem mengungkapkan kekhawatirannya bahwa bahasa Melayu akan digunakan sebagai bahasa resmi lain di ASEAN.
“Sebagai menteri tentu saja saya menolak usulan tersebut. Tapi ada keinginan dari negara sahabat kita yang mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi ASEAN, sehingga perlu dibicarakan lebih lanjut di tingkat regional,” kata Nadiem.
Dalam konferensi pers bersama usai KTT bilateral pada Jumat di Istana Negara, Ismail Sabri mengklaim Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyetujui gagasannya. Bahasa Melayu dituturkan di Malaysia, Indonesia, dan Brunei, serta di beberapa wilayah di Thailand, Kamboja, dan Filipina.
Inisiatif perdana menteri tidak berdasar. Mayoritas penduduk ASEAN berbicara bahasa Melayu, mengingat bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Namun kita juga harus mempertimbangkan perasaan anggota ASEAN lainnya seperti Vietnam, Thailand, Filipina, dan Kamboja. Mereka mungkin curiga bahwa maksud sebenarnya dari usulan tersebut bukan hanya soal bahasa, namun melihatnya sebagai agenda tersembunyi untuk supremasi etnis.
Presiden Jokowi menanggapi gagasan tamunya itu dengan tersenyum, tampak senang melihat kedua pemerintah menandatangani nota kesepahaman (MoU) yang sudah lama tertunda mengenai perlindungan pekerja migran Indonesia di Malaysia. Jutaan migran Indonesia, sebagian besar pekerja kerah biru, telah bekerja tanpa perlindungan hukum di Malaysia sejak tahun 2016, ketika MoU yang lama telah berakhir.
Senyuman khas Jawa dari Jokowi mungkin menunjukkan keengganannya menerima usulan Malaysia karena kemungkinan reaksi balik dari negara-negara ASEAN lainnya yang tidak berbahasa Melayu. Persatuan ASEAN harus menjadi perhatian besar Jokowi.
Retno mengatakan gagasan perdana menteri Malaysia tersebut memerlukan kajian lebih lanjut dan mengungkapkan bahwa Indonesia belum memberikan persetujuannya.
Pemimpin Malaysia ini akan memiliki kesempatan untuk secara resmi mengemukakan gagasannya pada KTT ASEAN dua tahunan mendatang. Kemudian akan dibahas lebih lanjut pada pejabat senior dan pertemuan tingkat menteri.
Satu hal yang pasti: Ketika usulan tersebut disetujui oleh para pemimpin ASEAN, mereka harus mengamandemen Piagam ASEAN, yang dengan jelas mendefinisikan bahasa Inggris sebagai bahasa kerja organisasi tersebut.
Kita juga harus ingat bahwa bahasa Melayu tidak seragam. Bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu banyak dipengaruhi oleh bahasa Jawa sejak diadopsi sebagai bahasa pemersatu pada tahun 1928. Bahasa Melayu asli umum digunakan di Riau.
Malaysia hanya perlu meyakinkan ASEAN bahwa usulan tersebut akan lebih bermanfaat daripada merugikan, dan hal ini tentunya tidak mudah.