13 Juni 2019
Indonesia mempunyai posisi unik di antara negara-negara G20.
Dalam wawancara eksklusif dengan Jakarta Post Presiden Joko “Jokowi” Widodo kembali menunjukkan ketidaktertarikannya pada masalah bisnis asing pada hari Selasa.
Hal ini bertentangan dengan ekspektasi banyak diplomat Indonesia dan asing, yang ingin melihat beliau membangun warisannya dalam diplomasi internasional pada masa jabatan keduanya setelah fokus pada isu-isu dalam negeri pada masa jabatan pertamanya.
Jokowi akan menghadiri dua KTT bulan ini, yaitu KTT semi-tahunan ASEAN di Bangkok minggu depan dan KTT tahunan G20 di Osaka, Jepang, pada tanggal 28 dan 29 Juni.
Ketika ditanya tentang kemungkinan kehadiran dan keterlibatan pribadinya di forum internasional pada masa jabatan keduanya, Jokowi mengatakan akan lebih fokus pada isu-isu dalam negeri. Ia mengaku hanya merasa terdorong untuk menghadiri beberapa pertemuan sepihak, seperti KTT G20 dan ASEAN.
“Saya kira persoalan dalam negeri perlu lebih konsentrasi. Kalau urusan eksternal, seperti investasi, perdagangan, dan ekonomi, kita sering mengirimkan tim,” kata Presiden Pos. “Kita harus memanfaatkan peluang dari semua masalah utama dunia.”
Presiden Jokowi, yang mengalahkan Prabowo Subianto untuk kedua kalinya dalam pemilihan presiden tanggal 17 April, dapat memperoleh manfaat ekonomi yang signifikan dari KTT G20 mendatang, yang akan berlangsung setelah mahkamah konstitusi memutuskan apakah akan menerima gugatan Prabowo terhadap hasil pemilu.
Namun tampaknya Presiden belum sepenuhnya menyadari pentingnya strategis KTT di Osaka, tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi Islam. G20 menghasilkan sekitar 80 persen produk domestik bruto (PDB) dunia dan merupakan rumah bagi sekitar 60 persen populasi dunia.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, sebagai tuan rumah, tentu akan memberikan kesempatan kepada Jokowi untuk menyampaikan visinya untuk mempromosikan Islam moderat, yang merupakan ciri khas Indonesia.
Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi masih mempunyai waktu untuk mengemukakan beberapa ide “outside the box” yang dapat disampaikan Presiden pada pertemuan bergengsi tersebut, namun penting bagi beliau untuk menyampaikan pandangannya mengenai kepentingan jangka panjang, seperti konsepnya. untuk Indo-Pasifik.
Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping yang tidak dapat diprediksi dan temperamental akan mendengarkan baik-baik pendapat Jokowi, karena terpilihnya kembali dirinya merupakan bukti dominasi Islam moderat di Indonesia. Para pemimpin dua kekuatan besar dunia harus memberikan konsesi ekonomi kepada Indonesia, yang merupakan teladan bagi Islam.
Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara mayoritas Muslim yang secara konsisten menganut nilai-nilai demokrasi universal, seperti kebebasan individu dan hak asasi manusia.
Namun Indonesia belum sempurna dan masih bergelut dengan persoalan terorisme, radikalisme, dan intoleransi.
KTT G20 juga akan memberikan kesempatan bagi Jokowi untuk menentang rencana Uni Eropa yang akan menghentikan penggunaan minyak sawit mentah sebagai bahan bakar nabati pada tahun 2030 dengan dalih mencegah deforestasi. Indonesia, produsen minyak sawit terbesar di dunia, berpendapat bahwa langkah UE tersebut diskriminatif karena minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai dan minyak bunga matahari, yang diproduksi oleh anggota UE dan AS, memerlukan lebih banyak lahan untuk diproduksi dibandingkan minyak sawit. Selain UE secara keseluruhan, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia juga merupakan anggota G20.
Pada tahun 2018, UE menyumbang 15 persen dari ekspor minyak sawit Indonesia, senilai sekitar US$19 miliar, menurut data dari Asosiasi Minyak Sawit Indonesia.
Jokowi harus meyakinkan Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte, dan Perdana Menteri Inggris Theresa May yang akan segera berakhir masa jabatannya mengenai manfaat bantuan bagi Indonesia. Jika kebijakan UE ini mulai berlaku, maka secara langsung atau tidak langsung hal ini akan berdampak pada kehidupan sekitar 20 juta petani yang terlibat dalam industri kelapa sawit.
Presiden harus “mencuri” perhatian multilateral dengan meyakinkan para pemimpin dunia bahwa Islam di Indonesia tidak hanya moderat, tetapi juga sejalan dengan demokrasi.
Dengan membantu Indonesia memodernisasi perekonomiannya, kelompok 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia juga akan membantu diri mereka sendiri dalam perang global melawan terorisme. Suka atau tidak, benar atau salah, terorisme kerap dikaitkan dengan Islam. Islamofobia telah menyebar ke seluruh dunia, salah satunya karena terorisme.
Terdapat persepsi internasional, terutama di kalangan negara-negara Barat, bahwa Islam membenarkan kekerasan dan menentang demokrasi. Tapi lihatlah Indonesia. Negara ini memerlukan waktu kurang dari 20 tahun untuk menjadikan dirinya sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat.
Terpilihnya kembali Jokowi merupakan konfirmasi bahwa Indonesia bukan hanya negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, namun juga negara di mana Islam selaras dengan bentuk demokrasi yang canggih.
Kemenangan Jokowi harus meyakinkan anggota G20 bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia adalah orang-orang yang moderat, inklusif, dan toleran. Fakta bahwa puluhan pemimpin negara asing mengucapkan selamat kepada Jokowi atas terpilihnya kembali dirinya membuktikan hal ini.
Harapannya, Presiden Jokowi akan pulang dari Osaka setelah mendapat komitmen tegas dari sesama anggota G20 di Indonesia. Membantu Indonesia juga berarti membantu G20.