Memberikan peluang pada mekanisme penyelesaian sengketa RCEP

23 Maret 2023

JAKARTA – Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) adalah perjanjian perdagangan bebas terbesar dalam hal produk domestik bruto (PDB), populasi dan perdagangan. Perjanjian ini ditandatangani oleh 10 negara anggota ASEAN dan lima mitra dagang eksternalnya: Australia, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru. Hal ini juga membawa tiga negara besar di Asia Timur Laut (Tiongkok, Jepang dan Korea) ke dalam perjanjian perdagangan regional yang mengikat untuk pertama kalinya.

Sebagai blok perdagangan besar, RCEP, yang mulai berlaku pada Januari 2022, bertujuan untuk membangun kemitraan ekonomi yang modern, komprehensif, berkualitas tinggi, dan saling menguntungkan yang akan memfasilitasi perluasan dan pengembangan perdagangan global, karena semuanya mencakup perdagangan besar. . negara-negara di ASEAN dan Asia Timur Laut. Mempertimbangkan hal ini, RCEP diharapkan tidak hanya memberikan manfaat bagi negara-negara anggota di kawasan tetapi juga membawa dampak ekonomi dan politik yang signifikan bagi dunia.

Perjanjian perdagangan mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan (DSM) yang diatur dalam Bab 19 yang menggambarkan proses konsultasi dan penyelesaian yang efektif, efisien dan transparan ketika timbul perselisihan di antara para anggotanya. Ciri-ciri penting dari DSM RCEP meliputi: (i) pilihan forum; (ii) konsultasi; (iii) jasa baik, konsiliasi atau mediasi; (iv) pembentukan panel; dan (v) hak bagi pihak ketiga yang berkepentingan.

Pertanyaannya adalah apakah anggota RCEP harus mengacu pada mekanisme yang baru dibentuk ini atau tetap berpegang pada Dispute Settlement Understanding (DSU) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang telah terbukti efektif selama bertahun-tahun.

Satu hal yang perlu kita pertimbangkan adalah bagaimana Bab 19 RCEP secara tegas menegaskan fakta bahwa RCEP telah mengadopsi ketentuan-ketentuan DSU. Hal ini diperkuat pada Kerangka Kerja ASEAN untuk RCEP tahun 2011, ketika negara-negara anggota menyetujui usulan bahwa kemitraan regional akan konsisten dengan mekanisme perselisihan WTO.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 19.4 (2), yang mewajibkan panel DSM ASEAN untuk mempertimbangkan interpretasi yang relevan dalam laporan panel WTO dan Badan Banding WTO sebagaimana diadopsi oleh Badan Penyelesaian Sengketa (DSB). Dengan demikian, dapat diartikan bahwa proses penyelesaian sengketa RCEP secara umum tidak jauh berbeda dengan WTO.

Sebagai proses penyelesaian sengketa yang berpotensi menjadi yang terdepan, RCEP juga berupaya mengatasi celah yang ditemukan dalam DSU WTO. Salah satunya adalah pengaduan non-pelanggaran. Berdasarkan RCEP, pengaduan non-pelanggaran sangat dilarang. Pengaduan non-pelanggaran memungkinkan suatu negara anggota untuk mengajukan ke DSB selama negara tersebut dapat membuktikan bahwa negara tersebut telah kehilangan manfaat yang diharapkan sebagai akibat dari tindakan negara anggota lain atau situasi yang ada.

Dengan kata lain, potensi kerugian yang tidak terjadi (atau tidak akan pernah terjadi) dapat menjadi dasar klaim WTO, namun RCEP tidak memberikan ruang bagi pengaduan yang bersifat hipotetis dan ambigu. Larangan tegas atas pengaduan non-pelanggaran berdasarkan RCEP dimaksudkan untuk mempertahankan tujuan penyediaan prosedur penyelesaian sengketa yang efisien dan efektif dengan membatasi ambiguitas dan sifat litigasi dari pengaduan tersebut, dan lebih berfokus pada ketidaksesuaian yang sebenarnya.

RCEP juga menetapkan kerangka waktu penyelesaian sengketa yang lebih pendek dibandingkan WTO, dan menegaskan kembali bahwa tujuan utama kemitraan ini adalah untuk menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien. Efisiensi waktu ditentukan dalam Pasal 19.13 (4) yang menyatakan bahwa jangka waktu penerbitan laporan akhir tidak boleh lebih dari tujuh bulan sejak dibentuknya panel penyelesaian sengketa. Di WTO, jangka waktunya paling lama enam sampai sembilan bulan.

Lebih lanjut, RCEP juga mengatur jangka waktu penerbitan laporan interim setelah panel terbentuk adalah 150 hari (kurang lebih lima bulan), sedangkan di WTO adalah enam bulan. Hal ini menunjukkan bagaimana DSM RCEP tidak hanya mencerminkan DSU WTO, namun juga mencoba untuk meningkatkan ketentuan dan mengatasi kelemahan dalam mekanisme WTO.

Bab 19 RCEP juga menghilangkan sistem bandingnya. Hal ini harus dilihat sebagai reformasi yang patut dipuji karena menegaskan finalitas dan kekuatan mengikat laporan akhir panel. Menghapuskan sistem banding RCEP memang akan menciptakan mekanisme yang lebih efisien dan efektif, karena banding tidak diperbolehkan. Hal ini juga akan mencegah kemungkinan terjadinya “drama” atau “krisis”, seperti yang telah kita lihat pada Badan Banding WTO.

Meskipun tidak memiliki sistem banding, RCEP memberikan kesempatan kepada pihak yang memberikan tanggapan untuk memanggil kembali sebuah panel untuk secara resmi mencabut penangguhan setelah panel tersebut memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam laporan akhir, dalam pelaksanaan laporan akhir. RCEP juga memungkinkan untuk mengadakan kembali panel ketika pihak yang mengajukan keberatan terhadap tingkat penangguhan atau menganggap bahwa penangguhan yang dikenakan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Bab 19.

Perlu dicatat bahwa hal ini berbeda dengan sistem banding, karena pembentukan kembali panel berfokus pada pelaksanaan laporan akhir, bukan menentang temuan panel atau interpretasi hukum.

Kesempatan untuk mengadakan kembali sebuah panel memberikan jaminan dan perlindungan hukum yang lebih besar kepada pihak yang memberikan tanggapan dibandingkan dengan mekanisme WTO, yang tidak memiliki cara khusus untuk memanggil kembali sebuah panel untuk memeriksa pelaksanaan laporan akhirnya.

Ini hanyalah beberapa poin mengenai bagaimana DSM RCEP menanggapi kelemahan DSU WTO. Hal ini merupakan pertanda baik yang tampaknya menunjukkan bahwa RCEP bermaksud untuk mendorong dan memperbaiki mekanisme penyelesaian sengketanya sendiri.

Sentralitas ASEAN selalu menjadi kunci untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara. Mempromosikan sentralitas ASEAN juga merupakan salah satu tujuan utama RCEP, karena tujuan utamanya adalah untuk melindungi dan memperluas sentralitas ASEAN dalam kerja sama ekonomi dan politik di Asia-Pasifik. Hal ini juga didukung oleh komitmen lima mitra dialognya yang berpegang teguh pada mekanisme dan prinsip ASEAN yang ada.

Penggunaan DSM RCEP akan mendukung agenda sentralitas ASEAN karena tidak hanya memperkuat kerja sama ekonomi dan politik namun juga mendorong kerja sama hukum di kawasan. Hal ini juga akan menanamkan kepercayaan lokal dalam mempromosikan perdamaian, stabilitas dan solidaritas.

Dengan dampak politik dan ekonomi yang besar, RCEP dapat mendorong negara-negara anggota untuk menyelesaikan perselisihan dengan cepat dan kolektif. Bab 19 juga akan lebih berhubungan dengan negara-negara anggota, karena bab ini secara khusus dirancang untuk mempertimbangkan kepentingan dan keadaan mereka, sesuatu yang mungkin tidak menjadi pertimbangan utama dan sengaja dalam pembuatan DSU WTO.

***

Penulis adalah asisten peneliti di Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). Pandangan dalam artikel ini bersifat pribadi.

Pengeluaran SDY

By gacor88