22 Maret 2018
Sebuah editorial di Phnom Penh Post memohon perlindungan hutan Kamboja.
Mirip dengan banyak negara di dunia, tekanan terhadap hutan di Kamboja semakin meningkat. Pohon-pohon ditebang dan diganti dengan tanaman komersial seperti jambu mete dan singkong. Banyak pohon yang hilang karena kebutuhan pembangunan ekonomi skala besar.
Dibandingkan dengan pembangunan ekonomi skala besar, yang menjanjikan keuntungan ekonomi besar-besaran dan menciptakan ribuan lapangan kerja, nilai hutan tampaknya tidak berarti apa-apa. Selain itu, penjualan kayu bernilai tinggi, bisnis bernilai miliaran dolar yang menguntungkan, dan insentif ekonomi jangka pendek untuk menebang pohon dan memberikan ruang bagi pembangunan lainnya tampak jelas.
Namun bayangkan apa yang akan terjadi jika seluruh hutan di Kamboja musnah.
Jawabannya tidak hanya jelas, tapi juga mengkhawatirkan. Jutaan masyarakat termiskin akan menderita, dan sebagian besar kemajuan yang telah dicapai komunitas-komunitas tersebut dalam melawan kemiskinan akan hilang.
Hal ini karena sekitar 80 persen penduduk negara ini tinggal di daerah pedesaan, dan kehidupan sehari-hari serta kesejahteraan mereka terkait dengan hutan. Hutan juga berperan penting dalam menjenuhkan dan mengatur aliran air serta memitigasi dampak berbahaya perubahan iklim.
Pengalaman dari negara-negara Afrika menunjukkan bahwa hilangnya tutupan hutan meningkatkan kejadian banjir bandang dan memperburuk dampak kekeringan. Memang benar, pada tahun 2016, Kamboja mengalami salah satu kekeringan terburuk dalam sejarahnya. Sumur sudah kering. Hampir 2,5 juta orang terkena dampaknya karena kekurangan air minum dan air untuk pertanian mereka.
Masyarakat pedesaan mengumpulkan kayu bakar untuk memasak, menggunakan kayu dalam jumlah terbatas untuk konstruksi dasar rumah, dan mengumpulkan jamur, madu, dan tanaman obat untuk digunakan sendiri dan untuk dijual di pasar.
Mayoritas penduduk pedesaan mempraktikkan pertanian tadah hujan. Jika curah hujan tidak mencukupi, maka hutan akan menjadi jaring pengaman. Mereka memperoleh penghasilan dengan membuat barang-barang dari hasil hutan.
Keuntungan ekonomi dari penjualan kayu tidak akan hilang karena meningkatnya kerusakan akibat perubahan iklim. Selain itu, pembangunan bendungan pembangkit listrik tenaga air yang berkelanjutan memerlukan pembukaan hutan yang luas untuk membuka jalan bagi daerah aliran sungai di bagian hulu.
Sebuah studi yang dilakukan oleh HDR dan DHI (2015) mengenai dampak bendungan terhadap perikanan sungai di wilayah Mekong memperkirakan bahwa bendungan akan berdampak signifikan terhadap ekosistem sungai dengan mengurangi aliran sedimen di hilir dan akibatnya mengurangi populasi ikan hingga 50 persen.
Mengingat ikan menyumbang lebih dari 60 persen asupan protein di pedesaan (World Fish, 2016), pembangkitan listrik kemungkinan besar akan berdampak besar terhadap ketahanan pangan.
Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dalam jangka waktu yang relatif singkat, dampak sosial, ekologi dan ekonomi dari deforestasi akan sangat besar. Sisi buruknya adalah masyarakat pedesaan yang mata pencahariannya terkait dengan hutan akan menjadi kelompok pertama yang terkena dampaknya, namun kerugiannya pada akhirnya akan ditanggung oleh generasi masyarakat Kamboja, baik mereka yang tinggal di kota maupun di pedesaan.
Jadi apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan hutan Kamboja?
Untuk mengatasi tantangan yang ada, Kementerian Lingkungan Hidup mulai menerapkan reformasi pengelolaan lingkungan yang mengkategorikan lebih dari 7 juta hektar (sekitar 40 persen luas negara) sebagai lanskap yang dilindungi dan menambah petugas jagawana untuk melindungi hutan.
Hal ini tentu saja merupakan langkah penting menuju kelestarian hutan untuk masa depan, seperti yang juga ditunjukkan oleh penurunan laju deforestasi di Kamboja baru-baru ini antara tahun 2014 dan 2016.
Masih banyak yang harus dilakukan, hal ini juga diakui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan.
Lanskap yang dilindungi seluas lebih dari 7 juta hektar kini hanya dikelola oleh 1.260 penjaga hutan. Perhitungannya sungguh mengejutkan, tidak ada satu orang pun yang dapat secara efektif memantau lebih dari 5.000 hektar lahan. Yang diperlukan adalah pengaktifan masyarakat hutan itu sendiri, untuk melindungi hutannya. Keterlibatan mereka sangat penting untuk mencapai tujuan jangka panjang dalam menjadikan hutan Kamboja lestari.
Pengalaman internasional misalnya di Nepal menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat hutan dalam pemeliharaan hutan merupakan cara paling efektif untuk mencegah aktivitas ilegal. Hal ini juga menunjukkan bahwa ketika masyarakat hutan mempunyai kepentingan aktif dalam melindungi hutan, mereka juga memanfaatkan hutan itu sendiri, misalnya melalui pemanenan dan penjualan hasil hutan secara berkelanjutan.
Saat ini, kurang dari 10 persen hutan dan kawasan lindung Kamboja berada di bawah pengelolaan masyarakat. Selain itu, meskipun konsesi ekonomi biasanya diberikan hak pengelolaan selama 50 tahun, sewa masyarakat diberikan selama 15 tahun (misalnya Hutan Kemasyarakatan dan Kawasan Perlindungan Masyarakat).
Kode Lingkungan baru yang dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup bertujuan, antara lain, untuk memperkenalkan langkah-langkah baru pengelolaan kolaboratif, untuk memanfaatkan kekuatan masyarakat dan menawarkan mereka peluang untuk terlibat dalam pengelolaan hutan dan kawasan lindung yang berkelanjutan dalam jangka panjang.
Rencana Strategis Hutan Produksi nasional yang baru (2018-2032) yang dipimpin oleh Badan Kehutanan juga akan menciptakan peluang baru bagi masyarakat untuk terlibat dalam produksi hasil hutan berkelanjutan.
Langkah-langkah ini harus dibarengi dengan penegakan hukum yang efektif. Yang lebih penting lagi, hal ini juga harus dilaksanakan dengan cara yang sepenuhnya dan memadai mendukung masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari.
(Artikel ini awalnya muncul di Pos Phnom Penh)