1 November 2022
JAKARTA – Indonesia bertaruh besar pada restorasi bakau dalam kontribusinya untuk mitigasi perubahan iklim global, tetapi para ahli mengatakan konservasi akan sama pentingnya jika tidak lebih penting untuk memaksimalkan peran bakau dalam mitigasi perubahan iklim.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo bertujuan untuk merestorasi hingga 600.000 hektar hutan bakau pada tahun 2024, mengutip kemampuan bakau untuk menyerap lebih banyak karbon daripada hutan darat dan dengan demikian memperkuat komitmen negara untuk mengurangi emisi berdasarkan Perjanjian Paris, di bawah manfaat ekologis dan ekonomi lainnya.
Jokowi menempatkan Badan Restorasi Mangrove dan Gambut (BRGM) sebagai pimpinan inisiatif tersebut.
Mengembalikan hutan bakau yang lebih besar dari ukuran pulau Bali adalah “langkah terpuji”, tetapi konservasi sama pentingnya karena tingginya risiko deforestasi bakau, kata Virni Budi Arifanti, peneliti kehutanan di Badan Riset dan Inovasi Nasional ( BRIN) berkata. Pusat Penelitian Ekologi dan Etnobiologi.
Virni adalah penulis studi yang diterbitkan dalam jurnal Global Change Biology, di mana ia menemukan bahwa upaya restorasi mangrove dapat mencegah pelepasan 8,9 juta ton karbon dioksida ke atmosfer per tahun pada tahun 2030.
Namun jika yang sudah ada tetap dipertahankan, bahkan hingga 32 juta ton per tahun bisa dilepas hingga tahun 2030.
“Eforia menanam mangrove jangan sampai kita terjebak, tapi lupa menjaga yang sudah ada,” kata Virni saat dihubungi 31 Agustus lalu.
Sudah saatnya pemerintah mengeluarkan peraturan untuk mengakhiri pemberian konsesi usaha di kawasan mangrove atau moratorium mangrove, ujarnya.
Tantangan tanaman
Restorasi dan konservasi mangrove bukannya tanpa tantangan. Virni mengatakan, bibit mangrove spesifik yang digunakan dalam upaya restorasi, meski umum di Indonesia, tidak selalu bertahan di semua wilayah pesisir.
Kampanye restorasi biasanya menggunakan bibit dari genus Rhizophora, khususnya bakau Asia (Rhizophora mucronata) atau bakau panggung (Rhizophora apiculata).
Proyek restorasi mangrove harus dimulai dengan survei untuk melihat apakah lokasi tersebut cocok untuk mangrove, saran Virni, seperti apakah spesies bibit mangrove dapat bertahan setelah ditanam di lokasi tersebut atau apakah lokasi tersebut benar-benar dapat menampung mangrove, seperti beberapa ekosistem seperti sebagai karena pantai dengan padang lamun tidak sepenuhnya cocok dengan hutan bakau.
Ia menambahkan, penanaman kembali mangrove di kawasan yang terganggu oleh aktivitas manusia, seperti bekas tambak ikan, harus didahului dengan mengembalikan tempat penanaman kembali agar dapat dijangkau air pasang.
BRGM bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyusun peta jalan nasional rehabilitasi mangrove untuk tahun 2021 hingga 2030.
Deputi Perencanaan dan Evaluasi BNN, Satyawan Pudyatmoko, mengatakan langkah pertama dalam peta jalan tersebut adalah mengidentifikasi kawasan yang cocok untuk restorasi mangrove sesuai dengan peta mangrove nasional yang dikeluarkan oleh kementerian, karena upaya restorasi mangrove sebelumnya oleh pemerintah atau lembaga swasta belum dilakukan. selalu dilakukan. mempertimbangkan apakah kawasan tersebut cocok untuk restorasi mangrove.
“Kami mencoba mengkonsolidasikan semua inisiatif ini untuk memastikan bahwa mereka tidak salah memilih tempat untuk restorasi mangrove,” kata Satyawan pada 1 September.
Satyawan menambahkan, pihaknya akan bekerja sama dengan pihak swasta dan LSM untuk merestorasi mangrove agar tujuan restorasi lebih cepat tercapai karena tidak cukup hanya mengandalkan anggaran pemerintah.
Namun, karena tugas BRGM sebagian besar adalah untuk mempercepat upaya rehabilitasi mangrove, maka tanggung jawab untuk aftercare mangrove akan bergantung pada status kawasan mangrove tersebut, kata Satyawan.
Untuk kesinambungan aftercare mangrove, Satyawan mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang menyiapkan regulasi perlindungan ekosistem mangrove yang akan mengkonsolidasikan upaya aftercare mangrove antara pemangku kepentingan dan pemilik kawasan mangrove.
Harapan Satyawan untuk berkolaborasi dengan inisiatif swasta tampaknya telah terwujud sampai batas tertentu. Mangrove Jakarta, sebuah komunitas nirlaba yang berfokus pada rehabilitasi mangrove, telah menanam kembali lebih dari 35.000 bibit di pesisir utara Jabodetabek. Karyanya meliputi area seluas 1,3 ha.
Namun pekerjaan tersebut menghadapi tantangan yang sebagian besar datang dari penduduk setempat, yang mengetahui pentingnya mangrove bagi ekosistem tetapi tidak berbuat apa-apa untuk memastikan pohon tumbuh dengan baik, misalnya, membersihkan lokasi dari puing-puing atau ‘membangun penghalang untuk melindungi bibit bakau muda.
“Percuma menanam mangrove berhektar-hektar, siapa saja bisa,” kata Bayu Pamungkas, co-founder Mangrove Jakarta pada 13 September lalu. “Tapi untuk memastikan mereka tumbuh dengan baik dan besar, perlu ada program pendampingan masyarakat.”