27 Januari 2023
JAKARTA – Tiba-tiba suara aktivisnya yang kuat, yang ia gunakan selama hampir satu dekade untuk membela mereka yang tidak memiliki suara, berubah menjadi isak tangis.
Sri Ningsih, 77 tahun, tampak kesulitan ketika ditanya bagaimana dia bisa tinggal di luar negeri bertahun-tahun lalu.
Setelah beberapa menit pemulihan yang lambat, dia menceritakan bagaimana teman-temannya pindah setelah mengetahui bahwa pemerintah telah mencabut paspornya saat dia belajar di Eropa Timur.
Masih merahasiakan detail kejadian tersebut, mantan warga negara Indonesia ini hanya berani menyebutkan bahwa hidupnya berada dalam kondisi terburuk hingga ia tiba di Jerman pada tahun 1973.
Ningsih adalah salah satu dari banyak warga Indonesia di luar negeri yang menjadi tidak memiliki kewarganegaraan karena hubungan mereka, atau dugaan adanya hubungan, dengan dorongan gerakan 30 September 1965, yang digunakan negara sebagai dalih untuk pembersihan berdarah komunis.
“Dulu, kami disebut pengkhianat bangsa, orang yang tidak mencintai tanah air dan pemberontak,” kata Ningsih kepada The Jakarta Post dalam wawancara telepon pada hari Senin.
Tanpa pengakuan formal apa pun atas tanah airnya, dia menjelajahi Eropa dan akhirnya menetap di kota kecil Aachen untuk membesarkan keluarganya.
Jerman memberikan kewarganegaraannya pada tahun 1991. Pada tahun 2014, ia bergabung dengan kelompok Pengadilan Rakyat Internasional 1965 (IPT 65), yang mengadvokasi hak-hak para korban tahun 1965.
Lebih dari 50 tahun setelah kejadian tersebut, ia menyampaikan kata-kata tegas kepada pemerintah, bahkan setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengakui pelanggaran HAM berat yang telah terjadi sepanjang sejarah negara, termasuk pembantaian dan pengasingan orang-orang seperti dirinya pada tahun 1965.
“Ada kesenjangan antara mengakui dan mengungkapkan penyesalan. Kebenaran harus diluruskan, dan hal ini penting untuk menyelesaikan setiap pelanggaran HAM berat. Dan itu suatu keharusan,” katanya.
Bibi Ning, sapaan akrabnya di kalangan diaspora Indonesia di Jerman, meminta pemerintah mengungkap kebenaran sebelum mengambil jalur non-yudisial.
Untungnya, mereka yang mendapat kewarganegaraan berada di negara tempat mereka tinggal setelah pemerintah Indonesia mencabut hak-hak mereka, tegasnya. “Banyak yang masih belum memiliki kewarganegaraan dan tidak bisa pergi ke mana pun,” katanya.
Daftar tuntutannya mencakup pembersihan nama-nama orang-orang yang dirampas dari pemerintah, dan juga menekankan pentingnya mendaftarkan orang-orang buangan, meskipun banyak dari mereka yang meninggal atau tersebar ke seluruh dunia setelah pencucian tahun 1965.
Pembunuhan massal pada tahun 1965 berdampak pada banyak warga Indonesia yang tinggal di luar negeri, namun sebagian besar adalah mereka yang menerima beasiswa belajar di luar negeri dari pemerintahan Sukarno saat itu.
Karena tidak dapat kembali ke Indonesia, mereka menjadi tidak memiliki kewarganegaraan setelah pejabat di kedutaan besar di seluruh dunia menyita paspor orang-orang yang menolak mengakui rezim Orde Baru Suharto.
Kudeta tersebut menyebabkan runtuhnya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sekarang dilarang, yang pernah menjadi salah satu partai terbesar di dunia setelah Tiongkok dan Uni Soviet.
Tidak ada jumlah pasti orang Indonesia yang diasingkan secara politik ke luar negeri. Banyak dari mereka mungkin telah meninggal, sementara mereka yang masih hidup mungkin telah mengadopsi kewarganegaraan asing. Karena Indonesia tidak mengakui kewarganegaraan ganda, banyak dari mereka yang mengasingkan diri secara sukarela.
Kebenaran atas koreksi
Pemerintah kini ingin bertemu dengan orang-orang buangan politik seperti Ningsih, yang lahir di Jawa, dan menawarkan pemulihan hak kewarganegaraan mereka.
Rencana awal termasuk menyiapkan perjalanan multi-kota bagi anggota pemerintahan Jokowi, sehingga mantan warga negara dapat memilih tempat mana yang paling mudah diakses oleh mereka. Di Eropa misalnya, pilihannya adalah Jenewa, Swiss, ibu kota Jerman, Berlin, atau Moskow, Rusia.
“Kami akan mendatangi mereka dan memastikan hak-hak mereka sebagai warga negara tetap terlindungi. Kalau mereka mau berangkat (kembali ke Indonesia), kami tampung. Jika ada ‘hak materi’ yang belum terselesaikan, seperti warisan, kami akan membantu memprosesnya,” Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, mengatakan kepada Post pada hari Minggu.
Menteri Luar Negeri Retno MP Marsudi dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly akan terbang ke luar negeri untuk menghadiri pertemuan tersebut, kata Mahfud, namun ia sendiri belum memutuskan apakah akan ikut dalam perjalanan tersebut.
Rencana tersebut menimbulkan pertanyaan yang sahih di kalangan audiens yang dituju, karena banyak yang berharap pemerintah akan mengungkapkan kebenaran sebelum melakukan penyelesaian non-yudisial.
Upaya non-yudisial meliputi rehabilitasi hak-hak korban, sedangkan upaya yudisial dimaksudkan untuk membawa pelaku ke pengadilan dan menyembuhkan luka dan trauma korban.
Sungkono (84), yang saat ini tinggal di kota Amstelveen, Belanda, mempertanyakan langkah pemerintah karena tidak ada pelaku yang dimintai pertanggungjawaban atas pencabutan paksa kewarganegaraannya.
Sungkono adalah penerima beasiswa untuk belajar teknik mesin di Moskow, yang saat itu merupakan bagian dari Uni Soviet, pada tahun 1962. “Pertengahan tahun 1966, paspor dan kewarganegaraan kami dicabut,” kenangnya.
Meski tidak memiliki kewarganegaraan, Sungkono menyelesaikan studinya pada akhir tahun 1967 dan hidup berpindah-pindah hingga ia berangkat ke Belanda pada tahun 1981 bersama mahasiswa lainnya. Beberapa temannya pindah ke Kuba, Jerman atau negara lain.
Ia juga menuntut negara mengungkapkan kebenaran sebelum mengambil jalur non-yudisial.
“Harapan saya pelanggaran HAM harus diselesaikan secara jujur dan ikhlas. (Penyelesaian apa pun) harus menjunjung tinggi kemanusiaan dan tidak sekadar menjadi solusi politik. Kami tidak akan mendapatkannya dengan cara lain,” katanya kepada Post.
Sementara itu, tokoh lain seperti Ningsih mempertanyakan relevansi pemulihan kewarganegaraan karena banyak dari mereka yang diasingkan sudah tua atau meninggal.
Bivitri Susanti, pakar konstitusi dari Fakultas Hukum Jentera, mengatakan sama pentingnya bagi pemerintah untuk membersihkan para eksil politik dari segala kesalahan.
“Jadi meskipun ada upaya (untuk bertemu dengan komunitas ekspatriat), pemerintah tidak hanya harus menjamin hak-hak mereka tetapi juga menjelaskan bahwa mereka tidak pernah melakukan kesalahan apa pun,” kata Bivitri kepada Post.
Keputusan untuk menawarkan pemulihan hak kewarganegaraan kepada diaspora Indonesia yang kehilangan haknya muncul sebagai rekomendasi komisi yang diperintahkan Jokowi untuk menyelidiki pelanggaran tersebut tahun lalu.
Pada tanggal 11 Januari, presiden menyampaikan pengakuan publik dan menyatakan penyesalannya atas nama negara atas belasan kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dan berjanji untuk memberikan restitusi bagi para korban dan keluarga mereka “tanpa menyangkal keputusan pengadilan.”
Ia menginstruksikan anggota Kabinetnya untuk melaksanakan rekomendasi tersebut dan membentuk mekanisme pengawasan untuk memastikan bahwa rekomendasi tersebut diterapkan dengan benar. (yaitu)