7 September 2022
JAKARTA – Dengan latar belakang pandemi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, yang telah menyebabkan meningkatnya kecemasan dan ketegangan sosial, sebuah survei menemukan bahwa mayoritas pemimpin ASEAN percaya bahwa kawasan dan negara mereka masing-masing adalah negara yang kohesif secara sosial.
Sebuah studi regional yang dilakukan oleh S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) yang berbasis di Singapura menemukan bahwa 69 persen dari mereka yang disurvei di Asia Tenggara melihat kohesi sosial yang “kuat”, dan 13 persen menganggapnya “lemah”.
Studi penelitian pertama dilakukan melalui kuesioner online berdurasi 20 menit kepada total 1.000 responden – 100 dari masing-masing 10 negara anggota ASEAN – dari 10 Februari hingga 6 April awal tahun ini.
Responden yang diwawancarai adalah orang-orang yang dianggap memiliki keahlian di bidang akademis, sektor publik, dunia usaha, masyarakat sipil, dan organisasi keagamaan.
Para peneliti mengatakan kerangka penelitian ini dibangun berdasarkan gagasan bahwa kohesi sosial suatu negara dapat dipahami, antara lain, dari segi sikap dan perilaku warga negaranya, yang ditandai dengan ketahanan hubungan di antara mereka dan apakah ada fokus pada kesamaan. Bagus. dari semua orang.
“Dari ketiga domain tersebut, (katakan responden) hubungan sosial memiliki pengaruh paling kuat terhadap kohesi sosial di Asia Tenggara. Berfokus pada kebaikan bersama mempunyai dampak yang paling kecil di kawasan ini,” kata Paul Hedges, profesor studi antaragama di RSIS.
Laporan penelitian ini diluncurkan pada hari Selasa sebagai bagian dari Konferensi Internasional tentang Masyarakat Kohesif yang diselenggarakan oleh RSIS dan didukung oleh Kementerian Kebudayaan, Komunitas, dan Pemuda Singapura.
Dalam pidato pembukaan konferensi tersebut, Presiden Singapura Halimah Yacob mengatakan pandemi ini telah memperdalam kesenjangan dalam masyarakat di seluruh dunia, sementara tindakan kolektif dan kerja sama sangat dibutuhkan untuk pulih dari pandemi ini.
“Ini mengingatkan kita bahwa kohesi sosial adalah syarat yang diperlukan untuk keamanan kolektif kita,” kata Yacob. “Wawasan yang disajikan dalam studi (RSIS) dapat membantu menginformasikan diskusi kita untuk mengembangkan pendekatan yang bermakna dalam membangun masyarakat yang kohesif.”
Temuan ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang diharapkan dapat memungkinkan berbagai pemangku kepentingan untuk menyusun strategi dan solusi guna memperkuat kohesi sosial di komunitas masing-masing.
Foto dari Indonesia
Secara keseluruhan, 72 persen masyarakat Indonesia yang disurvei dalam studi ini mengatakan mereka yakin bahwa kohesi sosial di negara ini “kuat”, dengan 15 persen mengatakan “sedang” dan 13 persen “lemah.”
Sekitar 87 persen responden Indonesia mengatakan bahwa hubungan sosial memberikan kontribusi yang kuat terhadap kohesi umum di negara ini.
Responden Indonesia sangat yakin dengan identifikasi mereka terhadap negara tersebut. Sejumlah besar responden (94 persen) menyatakan mereka nyaman mengungkapkan identitas agama mereka secara terbuka kepada sesama warga.
Mayoritas masyarakat Indonesia yang disurvei berasal dari akademisi dan lembaga penelitian, diikuti oleh dunia usaha dan keuangan. Sekitar 40 persen penduduk Indonesia yang disurvei berusia 20-34 tahun, 38 persen berusia 35-49 tahun, dan sisanya berusia di atas 50 tahun.
Dari 100 responden Indonesia yang menjadi responden studi ini, 80 persennya beragama Islam dan 20 persen beragama Kristen. Berdasarkan data pemerintah tahun 2021, dari lebih dari 272 juta penduduk Indonesia, 86,7 persen mengidentifikasi diri mereka sebagai Muslim, sementara sekitar 10 persen mengidentifikasi diri mereka sebagai Kristen (Protestan dan Katolik).
Dari segi etnis, 59 persen masyarakat Indonesia yang disurvei adalah etnis Sunda, 21 persen adalah etnis Jawa, dan 22 persen merupakan etnis lain.
Menurut Badan Pusat Statistik, tiga kelompok etnis terbesar di Indonesia pada tahun 2010 adalah suku Jawa dengan 40,22 persen penduduk, Sunda dengan 15,5 persen, dan Batak dengan 3,58 persen.