Partai politik di Indonesia kesulitan menarik pemilih muda

17 Maret 2023

JAKARTA

Dengan mayoritas pemilih berusia muda dan janji bonus demografi yang akan datang dalam waktu dekat, generasi muda siap menjadi sorotan pada pemilu 2024. Namun partai-partai politik sangat kehilangan kontak dengan generasi muda sehingga bahkan para politisi muda pun kesulitan untuk melibatkan rekan-rekan mereka.

Jumlah tersebut tampaknya tidak menjanjikan bagi partai politik yang mencari dukungan dari kelompok pemuda yang sedang berkembang. Dalam survei yang dilakukan pada bulan Agustus, lembaga pemikir Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Jakarta menemukan bahwa meskipun 63,8 persen pemilih muda, yang didefinisikan sebagai kelompok usia 17-39 tahun, masih mendukung demokrasi, mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakpuasan terhadap sistem politik.

Lebih dari 18 persen responden berpendapat bahwa demokrasi tidak mengubah apa pun, dibandingkan dengan 10 persen pada tahun 2018. Kepercayaan terhadap lembaga demokrasi masih relatif rendah, dengan hanya 56,5 persen responden yang berpendapat positif terhadap DPR, yang merupakan nilai terendah di antara 11 lembaga. termasuk dalam jajak pendapat.

Hal ini meninggalkan masalah serius bagi para pihak.

Masalah yang terus-menerus

Generasi Z, yang merupakan mayoritas pemilih pemula, secara stereotip digambarkan sebagai orang yang egois dan apatis secara politik, terutama terhadap partai politik lokal atau nasional, namun para politisi muda menyatakan bahwa terbatasnya partisipasi politik generasi muda dalam politik sebenarnya adalah sebuah hal yang buruk. masalah lintas generasi.

Anggota Dewan Pengurus Pusat Gerindra Budisatrio Djiwandono, yang pertama kali bergabung dengan partai tersebut melalui sayap pemudanya, Tunas Indonesia Raya (Tidar), mengenang betapa sulitnya menjangkau pemilih muda dalam kelompok usia 17 hingga 25 tahun ketika ia pertama kali bergabung pada tahun 2008. saat berusia 27 tahun.

“Partai politik saja sulit meyakinkan generasi muda bahwa suara mereka penting, apalagi mengajak mereka bergabung ke partai politik,” kata Budi dalam diskusi yang diselenggarakan CSIS, Rabu. “Lebih penting lagi, setelah bergabung dengan partai, dapatkah mereka mempertahankan kariernya dan terus naik pangkat serta hidup sebagai anggota setia partai politik?”

Baca juga: Pemuda bukan ‘komoditas pemilu’: politisi muda

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dedek “Uki” Prayudi adalah contoh kasus terakhir. “Saya pulang ke Indonesia (setelah belajar di Selandia Baru) dan bergabung dengan partai politik. Di sana saya hanya bertahan dua bulan, dan akhirnya saya bertahan selama 15 tahun memilih (di pemilu legislatif),” kata Uki usai kecewa dengan korupsi di partai politik.

PSI adalah satu-satunya partai yang mengaku sebagai partai pemuda; mereka pernah menjuluki dirinya sebagai partai kaum milenial. Namun PSI pun gagal mempertahankan beberapa anggota mudanya. Sejumlah anggota PSI keluar dari partai karena berbagai alasan. Salah satunya, Michael Victor Sianipar mengatakan, partai tersebut bukan lagi partai yang diimpikannya.

Pendidikan politik

Secara terpisah, Anggota DPR Puteri Komarudin dari Fraksi Golkar dan Ketua Kaukus Pemuda Parlemen Indonesia (KPPI) menegaskan hal ini merupakan persoalan yang harus dihadapi DPR. “Meski mereka mewakili mayoritas pemilih, generasi muda tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan dan tidak ada dorongan formal bagi mereka untuk terlibat dalam politik sebagai anggota partai,” kata Puteri, Rabu.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (GEC), keterwakilan pemuda di DPR masih rendah, kelompok usia 17 hingga 39 tahun hanya mewakili 15 persen di DPR. Untuk membantu mengatasi hal ini, Budi menyarankan agar partai politik diperbolehkan masuk sekolah dan memulai pendidikan politik sejak usia dini.

Baca juga: Ketika wacana politik memanas di media sosial, para pemilih muda belajar untuk mengabaikan kebisingan

Selain mengajak generasi muda lebih terlibat dalam dunia politik, Budi berpendapat kesempatan ini bisa dimanfaatkan untuk melihat ideologi partai mana yang sejalan dengan aspirasinya.

Namun, peneliti Cakra Yudi Putra dari Total Politik berpendapat bahwa hanya mencalonkan politisi muda sebagai kandidat tidak akan cukup untuk meningkatkan keterwakilan pemuda di DPR. Berdasarkan data pemilu tahun 2014 dan 2019, Cakra menemukan jumlah pemilih muda tidak mempengaruhi elektabilitas politisi muda saat pemilu.

“Ada kecenderungan partai mencoba menjangkau pemilih muda berdasarkan gaya hidup mereka atau faktor dangkal lainnya. Pemilih muda adalah pemilih yang rasional; mereka mempertimbangkan kompetensi partai dan kandidat muda yang relevan (yang lebih penting),” ujarnya.

Masa muda itu penting

Data dari survei CSIS juga mendukung analisis ini, karena kepribadian kandidat menjadi semakin tidak penting bagi pemilih muda. Pada tahun 2019, 39,2 persen responden memilih kerendahan hati sebagai kualitas paling penting bagi seorang pemimpin, dan ketegasan dan karisma menempati posisi kedua dengan 16,5 persen suara.

Pada tahun 2022, kejujuran telah mengambil alih, dengan 34,8 persen responden menyebut sikap antikorupsi sebagai faktor terpenting. Di posisi kedua, 16,8 persen responden mengatakan bahwa pengalaman kepemimpinan adalah yang paling penting.

Mengingat fokus kaum muda pada isu-isu yang lebih substantif, peneliti politik CSIS Arya Fernandes mendorong calon presiden untuk lebih terlibat dalam kampanye berbasis kebijakan dan lebih banyak perdebatan di luar acara yang disetujui KPU. “Kita perlu mendorong forum terbuka, mungkin melibatkan media dan universitas, di mana masyarakat bisa mengetahui lebih jauh apa yang dipikirkan para kandidat untuk Indonesia,” kata Arya, Selasa. (uh)

daftar sbobet

By gacor88