Pembelajaran dari penculikan di Papua

21 Februari 2023

JAKARTA – Penculikan pilot Susi Air Phillip Mehrtens dari Selandia Baru oleh Tentara Pembebasan Papua Barat (TPNPB), sayap bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM), di Distrik Paro di Kabupaten Dataran Tinggi Papua Nduga mendapat perhatian luas dari dalam dan di luar Indonesia.

Seperti diberitakan media lokal, TPNPB menyerbu pesawat kecil Susi Air setelah mendarat, membakarnya dan menyandera pilotnya. Pilot tersebut kemudian dibawa ke kubu kelompok pemberontak untuk digunakan sebagai “pengungkit politik”. Pemerintah pusat menanggapinya dengan mengerahkan tim pencarian dan penyelamatan yang sejauh ini kesulitan menemukan pilotnya.

Satuan tugas keamanan gabungan mengevakuasi 15 pekerja yang membangun pusat kesehatan terdekat yang mengintimidasi kelompok pemberontak dan meminta mereka meninggalkan Paro. Masyarakat asli Papua yang menyaksikan pertempuran berkepanjangan antara kelompok bersenjata dan aparat keamanan harus mengungsi dari desanya.

Pemerintah Selandia Baru mengandalkan mitranya untuk menemukan, mengevakuasi, dan memulangkan warganya. Polisi setempat telah mengirimkan tim yang terdiri dari tokoh-tokoh lokal untuk melakukan perundingan sementara “operasi khusus” yang dipimpin oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) sedang dipersiapkan untuk menumpas kelompok bersenjata tersebut jika perundingan gagal.

Banyak komentator politik dan pembela hak asasi manusia yang menyuarakan keprihatinan mengenai penculikan tersebut, karena hal tersebut mencerminkan keputusan ceroboh yang dibuat oleh kelompok pemberontak dan hal ini dapat mengarah pada kemungkinan kontrol yang lebih ketat terhadap warga Papua dan Papua. Penculikan tersebut juga membuktikan bahwa pendekatan negara masih belum efektif dalam memberikan keamanan kepada warga sipil di wilayah terpencil.

Apa yang bisa kita pelajari dari penculikan itu?

Pertama, negara mengabaikan eskalasi kekerasan di dataran tinggi Papua yang dikenal sebagai basis OPM. Penculikan tersebut merupakan agenda TPNPB yang minim respon dari negara untuk mencegah hal serupa terjadi.

Pada bulan November 2018, kelompok bersenjata menangkap dan membunuh 16 pekerja konstruksi di distrik Mbua, Nduga. Pada Maret 2021, para pejuang gerilya juga menculik seorang pilot di Puncak, namun kemudian membebaskannya.

TPNPB terus meminta penerbangan komersial untuk menghentikan operasinya dan warga sipil non-Papua untuk meninggalkan zona konflik, seperti di Kabupaten Yahukimo, Nduga, Puncak, Pagunungan Bintang, dan Intan Jaya. Tuntutan ini tidak didengarkan karena pemerintah hampir tidak memberikan keamanan menyeluruh kepada warga sipil dan pesawat komersial di dataran tinggi Papua.

Kedua, jika kita merenungkan serangan bersenjata antara kelompok pemberontak dan aparat keamanan, kita dapat berasumsi bahwa konflik semakin meningkat. Dengan lebih dari 200 bentrokan bersenjata sejak tahun 2019, konflik tersebut menjadi semakin berlarut-larut, sebuah istilah yang diciptakan oleh sarjana Lebanon Edward Azar pada tahun 1970an. Negara telah gagal memberikan keamanan di wilayah tersebut dan hampir tidak mengatasi keluhan yang mendalam di Nduga dan wilayah sekitarnya selama lebih dari 50 tahun.

Sebaliknya, kelompok pro-kemerdekaan mempunyai kapasitas yang lebih mematikan dalam lima tahun terakhir. TPNPB memperoleh senjata yang relatif canggih dari perdagangan ilegal dengan militer dan polisi, penyitaan dan pasokan ilegal dari Bougainville di Papua Nugini, Thailand, dan Filipina. Kelompok ini menerima semakin banyak dukungan finansial, termasuk dari dana desa pemerintah melalui simpatisan mereka.

Semua faktor ini telah meningkatkan kemampuan kelompok bersenjata lokal untuk mempertahankan kehadiran mereka dan melancarkan serangan mematikan di tengah pengawasan keamanan yang ketat.

Meskipun memiliki senjata yang lebih canggih dan personel yang terlatih, pasukan keamanan menderita kerugian lebih besar dibandingkan kelompok pemberontak. Fakta ini diperkuat dengan penolakan kedua belah pihak untuk memulai perundingan damai. Kerasnya konflik dan berkepanjangannya konflik mencerminkan kebuntuan dalam penyelesaian konflik.

Ketiga, alih-alih keluhan masyarakat Papua, penculikan tersebut justru menarik perhatian besar terhadap situasi di Papua. Konflik bersenjata telah menjadi kejadian utama di Nduga dan wilayah lainnya selama enam tahun terakhir, yang diikuti dengan perpindahan besar-besaran warga Papua baik di dalam maupun di luar Papua, seperti ke negara tetangga PNG. Selain komunikasi intensif dengan para pemimpin suku dan agama, negara juga harus menangani para Pengungsi Internal (IDP) yang terus-menerus hidup dalam ketakutan di Nduga dan sekitarnya, tempat mereka terus mencari perlindungan.

Kondisi pengungsi Nduga yang memprihatinkan harus menjadi prioritas pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Banyak pengungsi yang tidak memiliki akses terhadap layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan dan air bersih. Jika negara bisa memperbaiki kondisi pengungsi di Nduga, maka negara akan bisa mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat Nduga dan TPNPB untuk mencari solusi penyelamatan sandera.

Keempat, Egianus Kogeya, pimpinan TPNPB, merupakan “produk” trauma transgenerasi yang sudah ada sejak tahun 1990-an. Penculikan tersebut tidak terjadi dalam ruang hampa. Ketidakadilan historis yang dialami penduduk asli Papua menjadi dalih untuk melakukan lebih banyak perlawanan di wilayah tersebut. Ayah Egianus, Silas Kogeya, adalah seorang pemimpin daerah di Nduga, yang pada tahun 1996 ikut serta dalam penculikan peneliti asing dan dalam negeri di Kabupaten Mapenduma, Nduga. Operasi militer dilancarkan untuk membebaskan para sandera.

Terlahir dari konflik, Egi dan banyak pemuda Papua mengalami trauma transgenerasi baik secara individu maupun komunal. Trauma yang belum terselesaikan ini, ditambah dengan ketersediaan senjata, cukup bagi mereka untuk melancarkan kampanye bersenjata di Nduga sejak tahun 2018. Kelompok ini sebagian besar merekrut anggotanya dengan memanfaatkan keluhan mendalam generasi muda Papua.

Beberapa anak bahkan mengangkat senjata melawan aparat keamanan karena sulitnya hidup dalam kondisi genting. Berbeda dengan program deradikalisasi terorisme yang masif, tidak ada kebijakan khusus untuk mengatasi trauma transgenerasi di kalangan korban konflik bersenjata, terutama anak-anak, akibat konflik berkepanjangan di Papua.

Akibatnya, negara justru menimbulkan lebih banyak perlawanan di kalangan pemuda Papua yang turun ke jalan untuk melakukan protes atau mengangkat senjata untuk melancarkan serangan terhadap pasukan keamanan dan warga sipil.

Kelima, penculikan baru-baru ini juga menunjukkan bagaimana operasi bisnis, terutama penerbangan komersial, beroperasi di dataran tinggi yang terpencil. Dibandingkan dengan bandara yang dibangun dengan baik, landasan udara terpencil sangat penting dalam menghubungkan dan mendistribusikan logistik kepada masyarakat Papua yang tinggal di wilayah yang tersebar di dataran tinggi tengah Papua. Penerbangan perintis sangat penting dalam menyediakan satu-satunya penyelamat bagi masyarakat Papua dan para guru penerbangan, staf medis, dan tokoh agama di pedalaman Papua.

Dalam kaitan ini, keamanan sangat penting untuk menjamin keselamatan operasi udara di kawasan. Namun personel TNI AU biasanya hanya menjaga bandara yang dibangun dengan baik. Penculikan tersebut meningkatkan kewaspadaan untuk mengevaluasi keselamatan rute penerbangan dan operasi di wilayah paling timur Indonesia tersebut. Beberapa penerbangan untuk sementara waktu menghentikan operasinya, dan kerugian tersebut akan ditanggung oleh masyarakat Papua dan agenda pembangunan negara di daerah-daerah terpencil. Oleh karena itu, situasi ini mendesak untuk diatasi, jika tidak, isolasi yang lebih besar akan menjadi ciri pembangunan di Papua.

Penculikan pilot dari Selandia Baru harus mendorong negara dan pemangku kepentingan terkait untuk mengevaluasi kebijakan pembangunan dan keamanan di dataran tinggi Papua dan bagi masyarakat Papua yang tinggal di wilayah tersebut. Penerbangan komersial hanyalah sebagian dari dampak kebijakan pemerintah terhadap penghidupan di Papua.

Masyarakat Papua sebagian besar bergantung pada penerbangan komersial untuk menunjang kehidupan mereka, sehingga pembebasan sandera adalah tugas yang paling penting. Namun operasi penyelamatan tersebut seharusnya tidak menimbulkan masalah lebih lanjut di Papua.

***

Penulis adalah seorang peneliti di Australian National University.

Keluaran SDY

By gacor88