5 Mei 2023
JAKARTA – Pemerintah telah memutuskan untuk mengizinkan entitas asing membeli kredit di pasar karbon Indonesia, sehingga membuka jalan bagi perusahaan dan lembaga multinasional untuk memanfaatkan potensi perdagangan karbon yang sangat besar di negara ini.
Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam skema perdagangan karbon memuji keputusan tersebut dan menambahkan bahwa keputusan tersebut sejalan dengan Perjanjian Paris tahun 2016 tentang perubahan iklim. Namun, para analis lingkungan khawatir bahwa perdagangan tersebut tidak akan menghasilkan perbaikan lingkungan yang nyata.
Pengumuman tersebut muncul setelah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan pada hari Rabu bahwa pasar karbon Indonesia akan “terbuka”, setelah pertemuan dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Istana Negara sebelum konferensi pers.
Edo Mahendra, staf ahli ekonomi hijau pada Kantor Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengatakan Jakarta Post Kamis bahwa pasar karbon Indonesia, dengan menjadi pasar terbuka, akan memungkinkan pembeli asing membeli kredit untuk mengimbangi emisi mereka.
Konsep alternatif “tertutup” berarti bahwa Indonesia hanya akan menggunakan pasar karbonnya untuk melaksanakan rencana pengurangan emisinya sendiri dalam kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC).
“Indonesia memiliki potensi besar di pasar karbon. Makanya kita harus memimpin (dengan pasar terbuka),” kata Edo.
Menteri Investasi Bahlil menegaskan, seluruh entitas yang ikut serta dalam kegiatan perdagangan karbon di Tanah Air harus terdaftar di Sistem Pendaftaran Nasional (SRN) dan proses transaksi di Indonesia harus dilakukan melalui pertukaran karbon negara.
Otoritas Jasa Keuangan (FSA) akan mengawasi pertukaran karbon di negara tersebut, sedangkan proses registrasinya akan diawasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang mengoperasikan database SRN.
“Pendaftarannya hanya sekali. Setelah (entitas) terdaftar di Kementerian Lingkungan Hidup, baru bisa bertransaksi di bursa karbon, sama seperti aktivitas di bursa,” kata Bahlil.
Menkeu menambahkan, kredit karbon dari Indonesia tidak bisa dijual di bursa karbon negara lain.
Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menekankan pentingnya ketertelusuran yang akan ditangani pemerintah melalui penggunaan sertifikat dan sistem elektronik. Jadi meski diperdagangkan berkali-kali, sumber asli kredit karbon masih bisa dilacak, ujarnya.
Pertemuan di Istana Negara juga mengangkat isu market maker di bursa untuk mencegah institusi besar atau perusahaan asing menjadi penimbun, ujarnya seraya menambahkan bahwa pemerintah akan membentuk badan yang berfungsi sebagai market maker.
“Kami rasa bentuk (lembaganya) akan mirip dengan Otoritas Investasi Indonesia (INA) atau badan usaha milik negara,” ujarnya.
Ahmad Zuhdi Dwi Kusuma, analis industri di Office of Chief Economist Bank Mandiri, mengatakan keputusan tersebut akan meningkatkan jumlah pembeli potensial sertifikat karbon negara dan membuat harga lebih kompetitif.
Masuknya modal dari pasar karbon juga dapat memperkuat nilai tukar rupiah dan menjadi insentif bagi investor yang ingin memasuki sektor transisi energi.
“Namun aspek negatifnya adalah pertukaran karbon dapat membuat perekonomian kita rentan terhadap volatilitas perekonomian global,” kata Ahmad kepada The Guardian Pos pada hari Kamis.
Indroyono Soesilo, Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), memuji langkah tersebut.
Sebelumnya ada pembicaraan Indonesia fokus mencapai NDC terlebih dahulu sebelum memutuskan pertukaran karbon terbuka, namun kemudian pemerintah mengatur agar target NDC dihitung setiap tahun, ujarnya.
“Rencana sebelumnya kurang menarik, sedangkan rencana sekarang lebih menarik,” kata Indoroyono Pos pada hari Kamis.
Ia mencontohkan konsesi yang baselinenya bisa menyerap 10 juta ton, namun nantinya bisa menyerap 12 juta ton setelah diterapkannya upaya mitigasi seperti pengurangan deforestasi dan lebih banyak reforestasi, maka kelebihannya adalah 2 juta ton.
Jika konsesi tersebut diwajibkan menyumbang 1,5 juta ton kepada NDC, maka setengah juta ton lainnya dapat dijual melalui pertukaran karbon, katanya.
“Kalau kelebihannya akan diprioritaskan untuk target NDC, dan sisanya untuk pasar karbon sukarela,” ujarnya.
Pasar sukarela ditujukan bagi perusahaan atau lembaga yang ingin mengimbangi emisi sukarela mereka dengan membeli kredit karbon dari berbagai sumber di tempat lain.
Pengaturan baru ini tidak akan menghambat target NDC pemerintah untuk mengurangi emisi karbon dalam negeri, tegasnya.
Zakki Amali, seorang manajer penelitian di lembaga pengawas lingkungan hidup Trend Asia yang berbasis di Jakarta, meragukan klaim bahwa keterlibatan lembaga asing akan membantu negara tersebut memenuhi target NDC-nya, dan menambahkan bahwa hal ini perlu dicermati dengan cermat.
Misalnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menargetkan pengurangan karbon dioksida sebesar 500.000 ton pada tahun ini dari perdagangan karbon di sub-sektor pembangkit listrik, yang merupakan sumber emisi terbesar kedua setelah penggunaan hutan dan lahan.
Namun, pengurangan tersebut dianggap oleh banyak pihak terlalu kecil, hanya setara dengan 0,2 persen dari total emisi karbon dioksida dari pembangkit listrik tenaga batu bara, yang jumlahnya mencapai 250 juta ton.
“Perdagangan karbon bisa menjadi solusi palsu terhadap klaim pemerintah untuk mengurangi emisi. Dampak negatif terhadap lingkungan mungkin akan tetap ada,” kata Zakki Pos pada hari Kamis.
Lebih lanjut, ia mengatakan pemerintah kurang transparan dalam verifikasi dan penghitungan emisi sehingga dapat melemahkan skema perdagangan karbon.
Tanpa transparansi, perdagangan karbon Indonesia hanya akan menguntungkan para penghasil emisi karbon, sedangkan tujuan lingkungan tidak akan pernah tercapai, ujarnya.
Perdagangan karbon di Indonesia dimulai pada tahun ini, namun sejauh ini hanya diterapkan pada sektor ketenagalistrikan, sedangkan pertukaran karbon masih dalam tahap pengembangan. Pemerintah berencana memperluasnya ke sektor lain hanya setelah tahun 2025, sesuai dengan undang-undang harmonisasi perpajakan tahun 2021.