11 Januari 2023
JAKARTA – Jika demokrasi pada intinya berarti kekuasaan rakyat, sistem pemilu daftar terbuka yang berlaku harus tetap ada, terlepas dari ketidaksempurnaannya. Hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berkuasa, yang menguasai sekitar 20 persen kursi DPR, yang menentang sistem saat ini. Delapan partai lainnya di DPR mendukungnya dan menginginkannya tetap menjadi metode pemilihan anggota parlemen pada pemilu 2024.
Pada hari Minggu, para pemimpin dari delapan partai politik tersebut, baik dari koalisi yang berkuasa maupun oposisi, bertemu untuk menunjukkan persatuan menentang langkah-langkah untuk mengembalikan format perwakilan proporsional daftar tertutup yang lama. Pesan mereka keras dan jelas. Kembali ke mekanisme lama akan menggerogoti demokrasi Indonesia yang telah menunjukkan tanda-tanda kemunduran dalam beberapa tahun terakhir.
Partai-partai ini juga berkontribusi pada kemunduran demokrasi melalui pengesahan sejumlah RUU kontroversial tanpa konsultasi publik yang berarti. Tapi dalam mempertahankan sistem daftar terbuka mereka melakukan tugasnya sebagai wakil rakyat. Mereka mengartikulasikan aspirasi publik – para pemilih mereka – untuk pemilu yang bebas, adil, dan akuntabel.
Mahkamah Konstitusi menerima permohonan uji materi yang diajukan oleh anggota PDI-P dan beberapa penggugat lain yang mengaku mewakili partai pro-pemerintah lainnya terhadap ketentuan tertentu dalam UU Pemilu 2017. Secara khusus, mereka menuntut pemberlakuan kembali format daftar tertutup untuk pemilu legislatif.
Jika pengadilan mendukung uji materi, pemilih hanya dapat memilih partai politik pilihan mereka, bukan kandidat, pada pemilu 14 Februari 2024. Mekanisme yang terakhir diterapkan pada pemilu 1999 ini memungkinkan elite partai politik memastikan hanya mereka yang loyal kepada pimpinan partai yang terpilih.
PDI-P mendukung format lama, dengan alasan sejalan dengan konstitusi dan akan mencegah jual beli suara, yang disebut-sebut marak terjadi di pemilu-pemilu sebelumnya. Pemilihan legislatif rentan terhadap pembelian suara, dengan Indonesia Corruption Watch memperkirakan bahwa seorang calon yang ingin memenangkan kursi DPR menghabiskan sekitar Rp 10 miliar (US$641.800) untuk kampanye pada tahun 2019.
Seolah membenarkan kerawanan itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap caleg Golkar Bowo Sidik Pangarso karena diduga berusaha membeli suara menjelang hari pemungutan suara 2019.
Tetapi apakah praktik semacam itu akan berhenti di bawah sistem daftar tertutup sama sekali tidak jelas. Kurangnya transparansi yang melekat dalam sistem cenderung memungkinkan pembelian suara terus tidak terdeteksi, sehingga mendorong lebih banyak kandidat untuk terlibat dalam praktik tersebut. Semakin transparan dan terbuka sistem pemilu, semakin mudah memberantas jual beli suara, salah satu bentuk korupsi negara.
Format daftar tertutup tidak hanya bertentangan dengan semangat keterbukaan, tetapi juga melanggar hak dasar pemilih untuk memilih wakil yang mereka percayai. Negara, apalagi partai politik atau elit, tidak bisa dibiarkan merampas hak prerogatif rakyat ini. Sistem daftar terbuka merupakan wujud demokrasi partisipatif yang harus kita pertahankan, sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Mahkamah Konstitusi mengetahui hal ini dan karenanya tidak memiliki alasan untuk mengabulkan petisi yang dimaksudkan untuk merusak demokrasi yang sangat kita cintai ini.