5 April 2023
JAKARTA – Di tengah meningkatnya tekanan terhadap Indonesia, yang menjadi ketua ASEAN tahun ini, untuk memberikan terobosan dalam krisis Myanmar, para analis mengatakan pemilihan umum Thailand yang dijadwalkan pada pertengahan Mei dapat berdampak signifikan terhadap tindakan blok tersebut dan mempengaruhi masa depan Myanmar.
Lebih dari dua tahun setelah militer Myanmar menggulingkan pemimpin demokratis negara itu, Aung San Suu Kyi, ASEAN masih gagal melaksanakan inisiatif perdamaiannya, Konsensus Lima Poin (5PC).
Thailand secara luas dicurigai sebagai pendukung diam-diam junta Myanmar, sebuah sikap yang menghambat blok 10 negara yang dipimpin oleh konsensus.
Hasil dan proses pemilu Thailand dapat mempengaruhi masa depan keterlibatan ASEAN di Myanmar, menurut para analis.
“Proses demokrasi itu sendiri akan sangat berarti. Jika bisa berjalan adil, dan rakyat Thailand memilih pemimpin mereka secara demokratis, maka siapa pun yang menang akan menghancurkan kredibilitas mereka jika mereka memilih mendukung junta Myanmar,” Dewi Fortuna Anwar, analis hubungan internasional senior di Badan Riset dan Inovasi Nasional. BRIN) kepada The Jakarta Post.
Dalam waktu kurang dari enam minggu, Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, mantan jenderal yang mengambil alih kepemimpinan pada tahun 2014 setelah melancarkan kudeta militer yang sukses, akan mencalonkan diri kembali.
Di bawah kepemimpinan Chan-o-cha, Thailand bertekad untuk terus menjalin hubungan dengan junta Myanmar meskipun ada seruan untuk menahan diri dari tindakan apa pun yang dapat merusak kredibilitas ASEAN.
Pertemuan tersebut termasuk pertemuan diplomat tertinggi Myanmar dan perwakilan dari Laos, Kamboja dan Vietnam di Bangkok tahun lalu, serta pertemuan pada bulan Januari antara jenderal tertinggi Thailand dan pemimpin junta Min Aung Hlaing.
“Kedekatan militer Thailand dengan militer Myanmar sudah lama dan bukan rahasia lagi. Keduanya menjaga hubungan diplomatik yang kuat,” tambah Dewi.
“Bukan hanya kedekatan militer yang dipertahankan oleh Myanmar dan Thailand, namun juga hubungan bisnis yang kuat, seperti halnya dengan batu mulia. Hal ini dapat diterjemahkan ke dalam sikap yang lebih lembut terhadap kepemimpinan militer, karena ada kepentingan politik dan ekonomi yang berperan.”
Beberapa anggota ASEAN telah mencoba mengambil sikap tegas terhadap 5PC, yang menyerukan penghentian permusuhan dan penunjukan utusan khusus untuk melakukan dialog dengan semua pihak yang berkonflik.
Namun, blok tersebut telah berjuang selama beberapa bulan terakhir dengan kecurigaan bahwa beberapa anggotanya, termasuk Thailand, bersimpati kepada junta militer Myanmar.
Pada akhir bulan Januari, Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) mengeluarkan pernyataan yang “mendesak pemerintah Thailand untuk berhenti terlibat dengan junta Myanmar”, mengklaim bahwa para pemimpin militer Thailand adalah “penyebab terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan”.
Bulan berikutnya, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim meminta Chan-o-cha mengambil sikap lebih tegas terhadap Myanmar.
“Tidak ada yang bisa kami lakukan selain melanjutkan apa yang disebut sebagai hubungan konstruktif dengan junta Myanmar. Tapi saya pikir Anda, Perdana Menteri, berada pada posisi yang lebih baik untuk menyuarakan banyak kekhawatiran kami,” kata Anwar saat itu.
Sekutu alami
Pemilu Thailand tidak hanya akan mempengaruhi pendekatan negara tersebut terhadap Myanmar sebagai tetangga yang memiliki perbatasan yang panjang, tetapi juga akan mempengaruhi perilaku junta, kata pakar hubungan internasional dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Fitriani.
“Pasti ada konsekuensinya. Junta Myanmar telah mempelajari dengan cermat junta negara tetangga lainnya, seperti Thailand,” katanya kepada Post.
Evi Fitriani, pakar hubungan internasional Universitas Indonesia (UI), menambahkan bahwa Chan-o-cha memiliki insentif yang kuat untuk mendukung junta Myanmar, karena kedua pemerintahan tersebut didirikan melalui kudeta militer.
“Mereka harus saling mendukung untuk memperjuangkan penerimaan ASEAN. Demikian pula, keduanya dikutuk oleh Barat dan hanya bisa diandalkan oleh Tiongkok,” katanya.
Pesaing utama dalam pemilu Thailand adalah Paetongtarn Shinawatra dari partai Pheu Thai, putri mantan menteri Thailand Thaksin Shinawatra.
Dukungan terhadap Pheu Thai telah meningkat seiring dengan semakin dekatnya pemilu, menjadikannya medan pertempuran sengit antara kekuatan pro-demokrasi dan kekuatan militer yang sudah mengakar.
Tahun lalu, Pheu Thai mengutuk eksekusi empat aktivis demokrasi Myanmar yang dilakukan Min Aung Hlaing, dengan mengatakan bahwa rakyat Myanmar mendapat “dukungan yang tak tergoyahkan terhadap hak untuk berdiri bersama demi demokrasi”.
Namun, Dewi mencatat bahwa meskipun oposisi memenangkan pemilu, pendirian Thailand di ASEAN tidak serta merta berubah.
Junta militer di Thailand, katanya, didukung oleh sebagian elit Bangkok serta beberapa organisasi masyarakat sipil, berbeda dengan Myanmar.
“Dalam kasus Thaksin, misalnya, dia akhirnya tersingkir. Junta Thailand menerima dukungan dari kaum elit, dan masyarakat Thailand terpecah. Ini merupakan aspek yang menantang dan sejujurnya memalukan bagi reputasi luar negeri Thailand,” katanya.
Fitri mencatat bahwa, apa pun yang terjadi, Jakarta masih memiliki suara yang paling kuat dalam proses diplomasi ASEAN.
“Indonesia menurut saya bisa lebih berpengaruh (dibandingkan hasil pemilu Thailand) mengingat posisinya sebagai ketua,” ujarnya.