11 Mei 2023
JAKARTA –Penerjemah bahasa isyarat Indonesia berbicara tentang praktik mereka dan bagaimana rasanya “tampil” bagi penyandang gangguan pendengaran dan tunarungu untuk menciptakan pertunjukan yang lebih inklusif.
Henry Wadsworth Longfellow pernah menulis, “Musik adalah bahasa universal umat manusia.”
Di sisi lain, beberapa orang tidak dapat “menyetel” suara seperti orang yang dapat mendengar.
Data yang dilaporkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa setidaknya ada 223.655 orang tunarungu di Indonesia, dan 73.560 lainnya tunarungu dan bisu, seperti yang dilaporkan.
Sejak tahun 2014, pengusaha asal Batam, Rezki Achyana, sangat sibuk mendampingi penyandang disabilitas. Di Riau, pria berusia 26 tahun ini mengelola empat Sekolah Luar Biasa (SLB), atau sekolah khusus untuk anak di bawah umur berkebutuhan khusus. Dan sejak tahun 2019, Rezki mencari penerjemah bahasa isyarat.
Bergabung dengan kampanye presiden Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada tahun 2019 memberinya kesempatan pertama untuk bekerja sebagai penerjemah bahasa isyarat. Meski direkrut sebagai penerjemah acara tersebut, sebelumnya ia tidak mengetahui bahwa tugasnya termasuk menerjemahkan sebuah lagu. Itu terjadi seketika itu juga.
Pada kesempatan itu, ia teringat menyanyikan “Selamat Ulang Tahun” (kira-kira diterjemahkan sebagai Selamat Ulang Tahun) oleh band Jamrud yang dirilis pada tahun 2002.
Tidak ada yang melihatnya datang. Banyak orang tunarungu di sekitarnya yang tampak “bernyanyi” bersamanya.
“Banyak orang yang bisa mendengar mendapat informasi yang salah bahwa orang tuli tidak bisa mengapresiasi musik. Namun jika tersedia juru bahasa isyarat, mereka mungkin bisa hadir,” kata Rezki.
“Mereka kenal (penyanyi Indonesia) Yura Yunita, Tulus, dan masih banyak lagi,” imbuhnya.
Winda Utami adalah penerjemah lain yang bekerja dalam Bahasa Isyarat Indonesia di Jakarta Bahasa Isyarat Indonesia (Bahasa Isyarat Indonesia). Dia telah menerjemahkan ke mana-mana. Dia memiliki penerjemah untuk debat calon presiden. Namun penampilannya yang paling menonjol adalah pada Hari Kemerdekaan Indonesia, saat ia membawakan lagu dangdut “Ojo Dibandingke” (kira-kira diterjemahkan Jangan Bandingkan) karya Farel Prayoga.
Ia yakin satu-satunya pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhannya adalah bekerja di Indonesia sebagai komunikator bagi orang-orang yang menggunakan bahasa isyarat. Selain itu, ia juga setuju dengan penilaian Rezki bahwa anggota komunitas tuna rungu dapat “merasakan” irama musik, salah satu alasan mengapa mereka sangat menikmati pertunjukan tersebut. Selain itu, banyak orang perlu diberi tahu bahwa ada berbagai tingkat ketulian. Ringan (21-40 dB), sedang (21-40 dB), berat (71-95 dB) dan tuli berat (95 dB).
“Mereka bisa mendengar hentakan drum, ekspresi kami (penerjemah bahasa isyarat), dan mereka bisa memahami liriknya,” kata Winda.
Dalam artikel terbitan University of Washington yang berjudul “Otak orang tuli rewire to ‘hear the music’”, dr. Dean Shibata menjelaskan bagaimana orang tunarungu mengalami getaran musik seolah-olah mereka benar-benar mendengar suara yang sesuai karena area otak yang sama memproses keduanya.
Lebih lanjut, ia menguraikan betapa luar biasa kemampuan adaptasi otak. Otak muda tunarungu memanfaatkan situasi ini dengan menggunakan kembali wilayah otak yang biasanya digunakan untuk memproses suara guna mendeteksi dan menafsirkan getaran.
Karena informasi getaran memiliki banyak sifat yang sama dengan informasi suara, maka masuk akal bahwa pada penyandang tuna rungu, satu modalitas dapat menggantikan modalitas lainnya di area pemrosesan yang sama di otak. Shibata menjelaskan bahwa sifat informasi, bukan modalitasnya, sangat penting untuk perkembangan otak.
Di luar interpretasi
Rezki dan Winda sepakat bahwa menafsirkan sebuah musik dengan bahasa isyarat lebih dari sekadar kata-kata.
Berbeda dengan komunikasi dalam percakapan biasa, penerjemah biasanya harus mencocokkan lirik dan ekspresi dengan tempo musik untuk membantu kelompok tuna rungu memahami makna lagu. Selain itu, seorang juru bahasa isyarat harus paham dengan lirik lagu tersebut untuk memberikan interpretasi yang akurat.
Rezki mengungkapkan keinginannya agar lebih banyak penyelenggara acara yang dapat menawarkan jasa penerjemah bahasa isyarat kepada komunitas penyandang tunarungu di masa depan.
Winda menambahkan, ada beberapa perbaikan dalam penyelenggaraan acara, terutama setelah penampilan Winds di Hari Kemerdekaan 2022. Tentu saja, interpreter seperti Rezki dan Winda menghadapi kesulitan unik dalam mempersiapkan pertunjukan, terutama jika judul lagu tidak dicantumkan dalam penugasan.
“Dulu saya biasakan untuk menanyakan setlist sebelum konser dimulai. Kalau ada lagu yang diputar secara tidak terduga, akibatnya saya sangat cemas,” kata Winda.
Ibu satu anak berusia 3 tahun ini berkaca saat menyanyikan “Ojo Dibandingke” pada perayaan hari kemerdekaan tahun 2022. Dia belum hafal liriknya, tapi dia sering mendengar musiknya di media sosial sehingga dia bisa bernyanyi dengan semua ekspresi yang benar.
“Jika Anda mengetahui lagunya, setidaknya itu akan membantu Anda di atas panggung dengan perubahan yang tidak terduga,” tambahnya.
Sejak tahun 2020, Koes Adiati, produser dari perusahaan penyelenggara acara Adia Project, telah bekerja sama dengan penerjemah bahasa isyarat untuk menyiarkan konser langsung musik paduan suara di seluruh dunia. Dia menjelaskan bahwa dia mengambil inisiatif untuk bekerja dengan penerjemah bahasa isyarat karena dia merasa komunitas tunarungu harus memiliki kenikmatan musik yang sama dengan komunitas pendengaran.
“Itu hal yang sederhana, karena teman saya mengucapkan ‘selamat ulang tahun’ kepada seseorang dengan bahasa isyarat, dan itu sangat menarik,” kata Koes.
“Pada tahun 2021 kami mengcover lagu berjudul ‘Rayuan Pulau Kelapa’ dalam bahasa isyarat, dan pada tahun 2022 kami melakukan konser dengan juru bahasa isyarat,” lanjutnya menjelaskan mengapa ia semakin mengenal juru bahasa isyarat dalam acara musik.
“Saya sadar bahwa kehadiran juru bahasa isyarat di sebuah pertunjukan lebih dari sekedar hal baru,” tambahnya.
Isro Ayu Permata Sari, pecinta musik asal Tanah Grogot, Kalimantan Timur, menjelaskan bagaimana musik membantunya rileks melalui suara yang dapat diikuti tubuh dan pikiran.
“Bagi komunitas tunarungu, pilihan yang lebih mudah diakses sangat diperlukan karena kami dapat mengapresiasi dan memahami kontennya dan kami berhak secara hukum untuk mengaksesnya,” kata Isro; dia lebih lanjut mengungkapkan keinginannya untuk melihat lebih banyak penerjemah bagi tunarungu di pertunjukan musik.
Pemenuhan
Menyanyi di konser merupakan salah satu kegiatan favorit Winda, bahkan melebihi membantu penyandang disabilitas.
“Tentu saja merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk menjadi penerjemah pada acara seperti acara polisi, tetapi menafsirkan untuk konser itu berbeda. Saya pribadi menikmatinya,” kata Winda.
Rezki menaruh harapan besar agar lebih banyak lagi penyelenggara konser yang menyambut baik kemungkinan kehadiran juru bahasa isyarat di acara mereka di masa mendatang. Ia menekankan pentingnya kebebasan setiap orang untuk menikmati diri mereka sendiri dengan cara yang sama.
“Mempekerjakan kami (penerjemah bahasa isyarat) tidaklah terlalu banyak uang. Kebanyakan orang secara keliru percaya bahwa menyewa juru bahasa isyarat akan menghabiskan banyak uang. Tapi untuk pertunjukan tiga jam, Anda hanya perlu mengeluarkan uang sebesar Rp 1 juta (US$65,36),” kata Rezki.
Bahkan ada negara yang menerapkan praktik standar bagi penyelenggara acara langsung untuk mempekerjakan penerjemah bahasa isyarat untuk semua pertunjukan.
Misalnya, di Inggris, Royal National Institute for the Deaf menemukan bahwa 1 dari 6 orang mengalami gangguan pendengaran pada tingkat tertentu; namun, hanya sedikit gedung konser dan festival yang menawarkan akomodasi bagi penonton yang mengalami gangguan pendengaran, terbukti dengan meningkatnya jumlah pengunjung tuna rungu yang membeli tiket acara musik live.
Lebih dari 3 juta penggemar tuna rungu dan penyandang cacat mengunjungi acara ini setiap tahunnya. Permintaan tiket bagi penyandang disabilitas meningkat sebesar 70 persen pada tahun 2016 saja, menurut data yang dikumpulkan oleh UK Live Music Census.
Stadion Wembley menyediakan penerjemah Bahasa Isyarat Inggris (BSL) untuk setiap konser langsung.
“Komunitas tuna rungu membutuhkan dan berhak mendapatkan kesetaraan. Nah, ini (menyediakan ruang inklusif di konser musik) yang bisa saya lakukan untuk berkontribusi sedikit. Agar mereka bisa menikmati musik dengan caranya masing-masing,” pungkas Koes.