1 Maret 2023
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa menolak permintaan untuk mencabut ketentuan kontroversial dalam hukum pidana baru yang menjadikan penghinaan terhadap pemerintah dan presiden yang sedang menjabat sebagai kejahatan, dengan mengatakan bahwa petisi tersebut terlalu dini dan para pemohon memiliki ‘reputasi yang buruk untuk melanjutkan kasus ini.
Majelis beranggotakan sembilan orang tersebut mengatakan ketentuan terkait tidak berlaku ketika dua dosen, seorang mahasiswa dan seorang pembuat konten mengajukan mosi mereka pada bulan Januari, beberapa hari setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo menandatangani revisi KUHP, yang disahkan oleh DPR. Perwakilan pada bulan Desember 2022. Kode baru tersebut menyatakan bahwa undang-undang tersebut akan mulai berlaku tiga tahun setelah berlakunya pada tanggal 2 Januari.
“Petisi tidak mempunyai legal standing. Kalaupun para pemohon telah berdiri, permohonan mereka masih prematur,” kata Hakim Ketua Anwar Usman saat membacakan putusan pada Selasa. “Itulah sebabnya pengadilan memutuskan untuk tidak memproses kasus ini lagi.”
Para pemohon meminta pengadilan untuk membatalkan pasal 218 dan 219, yang menetapkan hukuman hingga tiga tahun jika menghina presiden yang sedang menjabat dan hingga empat tahun jika pelanggaran tersebut dilakukan dengan bantuan perangkat teknologi. Mereka juga membatalkan pasal 240 dan 241 yang mengkriminalisasi penghinaan terhadap pemerintah, DPR, Dewan Perwakilan Daerah (RPC), Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi, serta menjatuhkan hukuman satu setengah tahun penjara ke atas. hingga tiga tahun jika dilakukan menggunakan perangkat teknologi.
Para pemohon khawatir bahwa pencantuman ketentuan-ketentuan yang pernah dicabut ke dalam KUHP baru dapat digunakan untuk mengkriminalisasi para pengkritik.
Ketentuan serupa dalam KUHP lama dicabut oleh Mahkamah Konstitusi masing-masing pada tahun 2006 dan 2007, dengan alasan bahwa ketentuan tersebut meremehkan kebebasan berekspresi dan menimbulkan multitafsir sehingga mengorbankan kepastian hukum.
Namun para pengambil kebijakan memasukkannya kembali ke dalam hukum pidana yang baru, dan bersikeras bahwa ketentuan yang ada saat ini berbeda, karena hanya pihak yang dirugikan, dalam hal ini presiden, yang dapat mengambil tindakan hukum dengan mengajukan laporan kepada polisi.
KUHP yang baru telah banyak dikritik oleh para aktivis dan pakar hukum karena membatasi hak-hak sipil dan kebebasan individu sejak pembahasannya di Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum, meskipun para perancangnya memiliki niat baik untuk melakukan dekolonisasi undang-undang tersebut. Selain ketentuan lèse-majesté, ketentuan lain yang dianggap kejam adalah ketentuan yang melarang hubungan seks di luar nikah dan hidup bersama, mengkriminalisasi demonstrasi publik tanpa izin, dan melarang penyebaran Marxisme-Leninisme dan ideologi non-Pancasila lainnya.
Batasan masa jabatan presiden
Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa juga menolak mosi peninjauan kembali yang diajukan oleh seorang guru kontrak yang berupaya mencabut batasan dua masa jabatan presiden, dengan mengatakan bahwa petisi tersebut tidak tercela.
Guru tersebut mengajukan kasusnya pada pertengahan Desember 2022, ketika dorongan dari beberapa politisi untuk menunda pemilu, yang secara otomatis akan membuat Presiden Jokowi tetap berkuasa setelah tahun 2024, memicu kontroversi. Gagasan ini disambut baik oleh sekelompok pendukung Jokowi, yang menyerukan amandemen konstitusi untuk memungkinkan presiden menjabat tiga periode berturut-turut, bukan dua periode, sehingga membuka jalan bagi Jokowi untuk kembali menjabat pada tahun 2024.
Dua hakim, Anwar, yang pernah ditunjuk dua kali di Mahkamah Agung, dan Daniel Yusmic Foekh, yang ditunjuk oleh presiden, mengajukan perbedaan pendapat (dissenting opinion) bersama pada hari Selasa dengan mengatakan bahwa petisi tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan oleh karena itu pengadilan harus menolak petisi tersebut. (ipa)