7 Oktober 2022
JAKARTA – Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah mendesak para menterinya untuk meningkatkan mega proyek food estate negara untuk meningkatkan produktivitas pertanian, bahkan ketika masalah teknis terus mengganggu program di tahun ketiga.
Dalam jumpa pers Selasa, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan telah menerima perintah dari presiden untuk “meningkatkan kemajuan” pada food estate di Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan Papua dengan mengelolanya sesuai dengan strategi terpadu.
Pada awal tahun 2020, presiden mengumumkan pembentukan program food estate sebagai tanggapan atas laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tentang kemungkinan krisis pangan global.
Rencana awal adalah menyiapkan sekitar 164.600 hektare (ha) lahan di Kalimantan Tengah untuk ditanami padi dan tanaman pokok lainnya. Sekitar 30.000 ha lahan seharusnya sudah siap pada tahap pertama pembangunan.
Pada tahun 2022, pemerintah memperluas program ke perkebunan di Sumatera, Nusa Tenggara Timur, Jawa, Papua, dan Maluku.
“Jangan mendasar (hanya) melihat perkembangan food estate saat ini (…). Kami berusaha memperkuat cadangan lahan di wilayah lain. Jangan lupa lahan potensial di Jawa sudah dialihfungsikan menjadi lahan industri,” kata Syahrul kepada wartawan.
Di Kalteng, pemerintah berencana menyediakan lahan sekitar 62.000 ha untuk program food estate, dimana sekitar 47.000 ha sudah ditanami. Syahrul mengklaim hasil dari lahan ini sudah meningkat menjadi 4 sampai 5 ton per ha dari di bawah 3 ton per ha sebelum program dimulai.
Namun, menteri mengatakan bahwa tanah asam telah menghambat pertumbuhan beberapa tanaman dan mineral telah dimasukkan untuk menyesuaikan tingkat pH tanah.
Di daerah tertentu, sistem akar pohon telah dihilangkan, membuat tanah lebih rentan terhadap banjir, meskipun ringan.
“Memang (usaha kami) gagal di situ, tapi tidak seberapa dibandingkan (total) 47.000 ha. Kalau (daerah yang sulit hanya sekitar) 200 sampai 300 ha, kata Presiden bisa diterima,” lanjut Syahrul.
Untuk mempertimbangkan kondisi tanah, Syahrul mengatakan benih varietas khusus telah disiapkan dengan bantuan Bank Dunia, Lembaga Penelitian Padi Internasional dan FAO.
Pada acara yang sama, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan bahwa Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan bertanggung jawab atas pengelolaan lahan dan air di Food Estate Kalimantan Tengah.
“(Hal ini) agar Kementan nanti hanya masuk ke lahan yang sudah disiapkan, dan ini juga berlaku untuk pengembangan lahan selanjutnya,” kata Airlangga kepada wartawan.
Airlangga mengatakan presiden menginstruksikan Syahrul untuk mengintervensi pengembangan food estate di Sumut, karena pejabat di sana hanya bisa mengembangkan 7 ha lahan garapan dari target 22 ha.
Terlepas dari kemunduran dengan food estate yang ada, dia mencatat bahwa pemerintah masih berencana untuk mengembangkan lebih banyak perkebunan di Nusa Tenggara Timur dan Papua.
Airlangga mengumumkan bahwa Kementerian Pertahanan akan memimpin sebuah badan baru yang disebut Badan Cadangan Logistik Strategis, yang akan dibentuk dengan peraturan presiden dan akan diberi tanggung jawab untuk mengamankan pasokan pangan nasional.
Ditakdirkan untuk gagal?
Dwi Andreas Santosa, Ketua Umum Bank Benih dan Teknologi Persatuan Petani Indonesia, mengatakan upaya Presiden Jokowi untuk menggenjot produksi pangan dalam negeri berisiko tinggi gagal. menghindari.
Setelah terlibat dalam proyek food estate, dia menyadari bahwa hanya 0,8 ton tanaman per ha yang diproduksi di negara yang dia kelola.
Menurutnya, ketidaksesuaian antara kondisi tanah dan tanaman, ditambah dengan kurangnya infrastruktur dan teknologi pertanian, berkontribusi pada masalah yang mengganggu program food estate.
“Program food estate ini gagal total. Tidak ada yang bisa diharapkan dari program ini,” kata Dwi kepada The Jakarta Post, Rabu.
Dalam pandangannya, pemerintah berusaha menutupi kegagalan program awal food estate dengan menetapkan lahan milik program peningkatan lahan – sebuah proyek terpisah yang bertujuan untuk meningkatkan hasil di lahan yang sudah ditanami – sebagai bagian dari food estate.
Food estate, kata Dwi, seharusnya didasarkan pada penanaman lahan baru untuk memerangi pengurangan signifikan lahan pertanian dalam beberapa tahun terakhir.
Dwi merekomendasikan agar pemerintah memfokuskan kembali sumber dayanya pada pengembangan food estate sejati dan belajar dari – dan memanfaatkan – proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sebelumnya.
Proyek PLG – seluas sekitar 1,4 juta ha di Kalimantan Tengah pada pertengahan 1990-an – merupakan upaya rezim Orde Baru untuk memanfaatkan lahan gambut untuk pertanian, namun gagal. Dwi mengatakan pengabaian standar ilmiah oleh pemerintah dalam proyek tersebut menjadi penyebab kegagalan tersebut.
Jika sistem pengelolaan air di lahan bekas PLG sudah diperbaiki, lanjutnya, tidak menutup kemungkinan lahan tersebut akan dijadikan food estate.
Untuk mencapai skala ekonomi, dia juga meminta agar petani diberikan 10 ha lahan per keluarga, bukan rata-rata 2 ha saat ini.
“Pemerintah sebaiknya memilih lokasi yang cocok di lahan bekas PLG yang layak untuk dikembangkan, bukan memanfaatkan seluruh lahan 1,4 juta ha,” lanjut Dwi.
Analis pertanian Bank Mandiri Andrian Bagus Santoso mengatakan pada hari Rabu bahwa program food estate akan memakan waktu lama untuk berhasil karena produksi dan perluasan lahan membutuhkan waktu dan investasi yang signifikan.
Andrian mengatakan, keinginan pemerintah mengembangkan food estate masuk akal karena negara harus mengupayakan kemandirian pangan.
Namun, dia menyarankan agar pemerintah fokus mengintensifkan produksi tanaman yang sesuai dengan sistem pertanian lokal, seperti tebu, jagung, bawang merah, dan buah-buahan.
“Tidak semua komoditas pangan dapat tumbuh dengan baik di iklim Indonesia, sehingga kita tidak boleh dipaksa untuk swasembada (pada tanaman yang sulit tumbuh) dalam waktu dekat,” kata Andrian kepada Post, seraya menambahkan bahwa pemerintah dapat “memulai dengan proyek percontohan untuk menemukan pola tanam yang baik terlebih dahulu”.