24 Februari 2023
JAKARTA – Pembangunan PLTA di Kabupaten Batang Toru Tapanuli Selatan menuai kontroversi global selama bertahun-tahun, karena dibangun di habitat orangutan Tapanuli yang terancam punah. Jakarta Post bergabung dengan Asosiasi Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) pada bulan Desember dalam sebuah proyek pelaporan kolaboratif untuk mengunjungi lokasi konstruksi dan kota-kota terdekat untuk mendapatkan perkembangan terbaru dari proyek tersebut. Ini adalah bagian terakhir dari laporan ini.
Setiap musim panen, Asmar Simanjuntak terpaksa tinggal di gubuk di perkebunan durian selama tiga bulan, meninggalkan keluarganya di Desa Bulu Mario, Karesidenan Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Jika ia tidak menjaga kebunnya, orangutan akan merusak pohon durian yang ia rawat dengan cara mencabik-cabik rantingnya untuk membuat sarang dan memakan buahnya. Setelah menghabiskan setengah dari hasil panennya, kerugian yang signifikan bagi Asmar. Komoditas lain yang ditanam warga, seperti gula aren, buncis, dan buah jengkol, juga mengalami nasib serupa.
Asmar mengatakan perambahan orangutan semakin intensif sejak pembangunan pembangkit listrik tenaga air Batang Toru, yang terletak sekitar 17 kilometer dari kota, dimulai pada 2017.
Lokasi pembangunan berada di habitat orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies terancam punah yang oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dianggap sebagai kera besar terlangka di dunia.
Orangutan Tapanuli terkurung di pohon dan pembangunan pembangkit listrik telah memaksa hewan tersebut merambah kota dan peternakan terdekat, menyusul hilangnya hutan di habitatnya.
Baca juga: Perencanaan yang buruk menyebabkan PLN membayar lebih untuk PLTA Batang Toru
Warga biasa menakut-nakuti mereka dengan kembang api mirip meriam buatan sendiri, tetapi ini tidak lagi efektif karena mereka segera kembali. Sebelumnya, butuh waktu berhari-hari bagi orangutan untuk pulih dari serangan kembang api.
“Ini telah menyebabkan hilangnya mata pencaharian kami,” kata Asmar Jakarta Post ketika sekelompok wartawan mengunjungi desa tersebut pada bulan Desember.
Warga di kota lain seperti Batu Satail juga menjadi resah karena orangutan semakin sering muncul di peternakan mereka sejak dimulainya pembangunan bendungan untuk pembangkit listrik, dan beberapa kali meminta bantuan dari lembaga konservasi sumber daya alam setempat untuk merelokasi orangutan. .
Mereka juga harus berurusan dengan meningkatnya serangan monyet yang menjarah perkebunan dan tanaman skala kecil penduduk.
“Sebelum dibangun bendungan, mereka tinggal jauh di hutan hujan,” kata Parlindungan, warga Batu Satail.
Ledakan keras
PLTA Batang Toru merupakan proyek yang dikembangkan oleh PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE), yang lebih dari 70 persen sahamnya dimiliki oleh anak perusahaan SDIC Power milik State Development and Investment Corporation (SDIC) milik China.
Monopoli kelistrikan milik negara PT PLN berkontribusi dalam proyek dengan kepemilikan sekitar 25 persen NSHE melalui anak usahanya PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI).
Pembangkit Listrik Batang Toru, yang dirancang dengan kapasitas produksi listrik 510 megawatt, awalnya ditargetkan beroperasi pada Juli 2022, namun protes global atas hilangnya habitat orangutan dan kendala keuangan membuat kemajuan proyek tertunda. .
Hingga Oktober 2020, NSHE baru menyelesaikan konstruksi sekitar 11 persen dari target 78,98 persen. Perseroan dan PLN sepakat untuk menunda operasional hingga Desember 2026.
Baca juga: Perusahaan besar China mempertaruhkan reputasi di pembangkit listrik Batang Toru
Lokasi pembangunannya meliputi tiga kabupaten di Tapanuli Selatan, yakni Sipirok, Marancar dan Batang Toru (Simarboru). Kawasan tersebut diketahui merupakan bagian dari habitat orangutan Tapanuli yang terancam punah.
Warga di sekitar lokasi konstruksi juga sudah bosan dengan ledakan keras dari bahan peledak yang digunakan perusahaan untuk membangun terowongan bawah tanah dan operasi tambang di pegunungan untuk mengumpulkan material untuk pembangunan bendungan.
“Apa yang akan kamu lakukan jika aku menjadi tuli?” tanya Parsaulian Simanjuntak, warga Desa Batang Paya yang berselisih dengan perusahaan. Dia mengatakan dia memiliki seorang kerabat lanjut usia yang tinggal bersamanya yang tidak tahan dengan suara keras.
Selain itu, pecahan batu besar pernah mendarat di tanaman dan pohon pisang Parsaulian, menghancurkan beberapa tanamannya.
“(Jika batu-batu ini mendarat di orang), tentu mereka akan mati,” kata Parsaulian, menambahkan bahwa dia telah mencoba untuk meminta ganti rugi kepada perusahaan.
Ledakan juga terdengar oleh warga Bulu Mario dan Batu Satail. Mereka yang berada di Blue Mario bahkan merasakan getaran akibat ledakan tersebut.
Fragmentasi dan kepunahan
Diperkirakan terdapat kurang dari 800 orangutan Tapanuli yang hidup di ekosistem Batang Toru yang membentuk blok timur dan barat ekosistem tersebut dan Sibualbuali. Menurut berbagai penelitian, blok Batang Toru bagian barat menampung sekitar 75 persen dari total populasi dan sebagian tanahnya adalah area di mana Bendungan Batang Toru saat ini sedang dibangun.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyusun dan menganalisis beberapa penelitian dan menemukan bahwa kepadatan populasi orangutan yang tinggi ditemukan di sekitar proyek, dengan kepadatan antara 26 dan 57 persen lebih banyak daripada di daerah lain.
Onrizal, seorang profesor ekologi dan konservasi hutan tropis di Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan kepada Pos bahwa pembangunan bendungan akan membagi habitat orangutan di blok barat ekosistem dan menyebabkan fragmentasi, menyebabkan individu orangutan menjadi terpisah dalam kelompok dan menempatkan spesies tersebut dalam bahaya kepunahan.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa orangutan Tapanuli hanya hidup di pucuk-pucuk pohon dan berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya, yang oleh para ilmuwan disebut tajuk. Mereka tidak akan turun kecuali dipaksa untuk melakukannya, yang menyebabkan kemungkinan besar terisolasi jika banyak pohon di sekitar mereka ditebang.
Fragmentasi akan mengurangi peluang bertahan hidup orangutan karena akan membatasi pasokan makanan mereka dan berpotensi menyebabkan perkawinan sedarah, membuat mereka rentan terhadap penyakit, katanya.
“Populasi orangutan itu (sudah) rawan (penyakit) dan sudah menurun. Ini akan terus seperti ini kecuali daerah tersebut terhubung kembali, ”kata Onrizal.
Erik Meijaard dan Serge Wich, konservasionis di IUCN, menulis pada tahun 2020 jika orangutan Tapanuli dewasa menurun lebih dari 1 persen setiap tahun, spesies tersebut kemungkinan besar akan punah di masa mendatang.
Dana Prima Tarigan, direktur kelompok lingkungan Green Justice Indonesia yang berbasis di Medan, mengatakan kemungkinan orangutan berusaha menghindari lokasi proyek dan karena itu bergerak menuju penduduk, terutama perkebunan dan tanaman mereka, karena fragmentasi habitat mereka.
“Orangutan tidak suka suara keras dan ledakan dari lokasi cenderung meningkatkan pergerakan mereka ke (kawasan pemukiman),” katanya.
Beberapa LSM telah melaporkan peningkatan permintaan penyelamatan orangutan yang diajukan oleh warga untuk menjauhkan mereka dari tanaman dan perkebunan mereka, katanya.
Badan konservasi sumber daya alam setempat juga rutin mempublikasikan laporan dan foto di media sosial mereka terkait hal ini. Namun, sejumlah pertemuan ini belum berakhir sebagai permintaan penyelamatan, karena beberapa orangutan telah ditangkap di masa lalu, diduga oleh pihak luar, katanya.
Menanggapi temuan rombongan jurnalis yang berkunjung ke Batang Toru, Didik Prasetyo, dosen Universitas Nasional dan mantan konsultan konservasi yang bekerja di NSHE, mengatakan konflik antara orangutan dan warga tak kunjung meningkat.
“Orangutan makan durian atau tanaman lain yang ditanam warga sudah terjadi bertahun-tahun karena wajar mereka mencari sumber makanan terdekat,” katanya.
Dia menambahkan bahwa kekhawatiran tentang fragmentasi karena konstruksi proyek tidak berdasar, dengan alasan bahwa beberapa area dapat dihubungkan kembali dengan kanopi buatan, yang dibuat dengan kabel yang memungkinkan orangutan untuk bergerak.
Didik juga menunjukkan foto-foto yang katanya membuktikan orangutan menggunakan kanopi buatan.
Didik tidak menutup kemungkinan adanya penangkapan dan perburuan orangutan serta satwa lain seperti harimau akibat pembangunan PLTU tersebut. Diakui kemungkinan besar terjadi, namun menurutnya kegiatan seperti itu kecil kemungkinannya terjadi di kawasan NSHE.
Kedutaan Besar China di Jakarta dan NSHE tidak menanggapi permintaan komentar.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menolak mengomentari masalah tersebut ketika ditanya tentang perkembangan Batang Toru dalam jumpa pers pada bulan Desember, dengan mengatakan proyek pembangkit listrik Batang Toru “sensitif dan membawa risiko geopolitik.”