24 Februari 2023
JAKARTA – Selama beberapa dekade, kabel bawah laut telah menjadi tulang punggung Internet, jalur tak terlihat yang membawa 98 persen lalu lintas data antarbenua. Sebagai negara kepulauan, Indonesia bergantung pada infrastruktur fisik ini untuk menjamin konektivitas internet di seluruh wilayah negara.
Pada tahun 2022, Indonesia memiliki 217 segmen kabel bawah laut dan 42 segmen pipa bawah laut. Namun, menyediakan konektivitas ke wilayah pedesaan saja tidak cukup, hal ini sebagian disebabkan oleh kurangnya penyebaran wilayah yang berbeda-beda dan kurangnya perlindungan dasar. Selain itu, kabel tersebut tidak memiliki redundansi, artinya hilangnya bandwidth dari kabel yang putus tidak dapat dilacak ke kabel lain.
Investasi yang signifikan pada kabel bawah laut memang diperlukan. Ketegangan geopolitik telah memberi Indonesia peluang yang tepat untuk menarik investor karena Indonesia telah menjadi tujuan favorit di antara penyedia kabel untuk membangun lebih banyak rute jauh dari wilayah rawan gangguan di Laut Cina Selatan dan Hong Kong.
Sistem kabel Bifrost, misalnya, yang membentang sepanjang 16.460 kilometer, akan menjadi sistem kabel trans-Pasifik pertama yang menghubungkan Indonesia, Singapura, Filipina, dan Amerika Serikat melalui Laut Jawa. Dengan instalasi yang diharapkan selesai pada tahun 2024, proyek ini sedang dikembangkan oleh konsorsium perusahaan telekomunikasi dan raksasa teknologi yang terdiri dari Meta, Amazon, Telekomunikasi Indonesia International (Telin) dan Keppel T&T.
Meskipun terdapat kemajuan, jelas bahwa masih terdapat tantangan-tantangan besar. Meskipun minat investor swasta untuk membangun kabel semakin meningkat, risiko keuangan dan peraturan masih menjadi hambatan penting bagi potensi investasi.
Permasalahannya ada tiga.
Pertama, pada tahun 2021, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan (Kepmen) No. 14/2021 tentang Perpipaan dan Sistem Kabel Bawah Laut. Karena kabel bawah laut telah menjadi salah satu sektor yang paling tidak diatur selama beberapa dekade, penerbitan keputusan ini memang menandakan komitmen pemerintah terhadap tata kelola ruang laut yang lebih baik dan memberikan kejelasan hukum yang lebih baik kepada investor.
Namun setahun setelah implementasinya, muncul tantangan besar terkait pengelolaan laut. Secara teknis, kabel bawah laut harus dipasang dengan hati-hati untuk menghindari bahaya seperti gempa bumi dan tanah longsor di bawah air, serta kerusakan yang tidak disengaja akibat aktivitas manusia. Untuk meminimalkan potensi kerusakan, kabel-kabel tersebut dikubur di bawah dasar laut, yang untuk sementara waktu dapat mempengaruhi lingkungan laut sekitarnya.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap keseluruhan sistem kabel bawah laut untuk memilih rute yang paling sesuai dan untuk memastikan ketahanannya. Meskipun survei ini sangat memakan waktu dan sumber daya yang intensif, hal yang membuatnya semakin bermasalah adalah data laut dalam dan dasar laut yang akurat tidak selalu tersedia.
Selain itu, tidak ada peta yang seragam, tepat waktu, dan terintegrasi yang merinci kabel yang sudah ada yang dipasang jauh sebelum tahun 2021 dan “koridor” kabel bawah laut baru yang diatur berdasarkan keputusan menteri tahun 2021. Setidaknya 145 dari 327 kabel yang dipasang di wilayah perairan Indonesia keluar dari jalur yang dirancang, sementara 193 kabel tampaknya tidak terhubung.
Sementara itu, kabel biasanya hanya terlihat oleh operator kabel, sehingga menyulitkan pemerintah untuk memantau dan mengambil tindakan yang tepat. Hal ini menghambat proses survei kabel dan menyebabkan biaya tinggi dalam pengelolaan maritim serta tertundanya mekanisme pemulihan dan respons.
Tanpa database yang terintegrasi, keputusan tahun 2021 tidak akan terlalu efektif.
Kedua, pada tahun berikutnya Menteri Perikanan mengeluarkan Kepmen No. 42/2022 diterbitkan tentang mekanisme pembangunan dan/atau penempatan struktur dan instalasi kelautan. Keputusan tersebut menugaskan berbagai kementerian dan lembaga pemerintah, mulai dari Kementerian Informasi dan Komunikasi, Kementerian Investasi, Kementerian Perikanan, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut. (Pushidrosal ), untuk berkolaborasi dalam proses perizinan guna menjamin pemanfaatan ruang laut secara optimal dan kemudahan berusaha.
Dalam praktiknya, proses perizinan seperti ini justru memperkuat permasalahan yang paling menonjol dalam lingkungan peraturan di Indonesia, yaitu tumpang tindih yurisdiksi kelembagaan dan kurangnya koordinasi antar lembaga, yang secara tidak langsung menyebabkan pembengkakan biaya dan biaya kepatuhan yang tinggi.
Salah satu pemangku kepentingan yang kami ajak bicara mengungkapkan bahwa pada suatu kesempatan pemasangan kabel tiba-tiba tertunda saat kapal peletakan kabel sedang bersiaga. Terlepas dari kenyataan bahwa konsorsium kabel tersebut memiliki izin, konsorsium tersebut harus menghentikan operasinya karena tertundanya penerbitan Persetujuan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Mempersiapkan kapal peletakan kabel sudah memerlukan banyak modal, dengan tarif harian sekitar US$5.000.
Kasus lainnya melibatkan informasi yang tidak lengkap selama proses perizinan. Karena silo data dan fragmentasi di antara kementerian-kementerian, operator kabel bawah laut mendapat informasi yang salah tentang zona konservasi laut, di mana semua kegiatan ekonomi dilarang.
Hanya setelah kabel bawah laut mulai beroperasi barulah dampak lingkungan tertentu mulai muncul, sehingga operator menghadapi risiko peraturan yang besar dan tidak terduga, seperti sanksi administratif yang sebenarnya dapat dimitigasi.
Yang terakhir, jaringan komunikasi kabel bawah laut merupakan investasi infrastruktur padat modal. Pengeluaran operasional, atau opex, yang dijadikan patokan bagi investor, seringkali menjadi sangat tinggi, terutama karena peraturan dan kewenangan yang tumpang tindih.
Oleh karena itu, struktur insentif dan model pembiayaannya harus ditangani lebih awal, bahkan sebelum adanya rencana bisnis yang kuat. Dengan meningkatnya permintaan akan jaringan yang lebih andal, mekanisme pembiayaan inovatif yang dapat menyesuaikan insentif dan risiko, serta membantu interkoneksi jaringan telekomunikasi milik negara, harus ditingkatkan.
Model konsorsium dapat menjadi salah satu opsi yang memungkinkan untuk menjadikan investasi berbiaya tinggi lebih sesuai dengan mendistribusikan biaya secara efektif. Melalui konsorsium, investor kabel dapat bersama-sama merancang rute dan bernegosiasi langsung dengan penyedia layanan, berkontribusi terhadap pengurangan biaya dan memungkinkan layanan kompetitif yang lebih baik melalui “sistem terbuka”.
Hal ini jauh lebih layak dibandingkan dengan model kepemilikan jaringan, yang mengharuskan pengguna membeli kapasitas dari operator kabel swasta yang mendapatkan akses ke kabel mereka.
Di Indonesia, mekanisme model konsorsium seringkali menimbulkan perbedaan pendapat bahwa penyedia layanan over-the-top (OTT) dan perusahaan asing dapat memiliki kendali langsung atas aset jaringan jika model konsorsium diusung. Faktanya, hal ini tidak selalu terjadi.
Hal ini tergantung pada tingkat kontribusi dan pendanaan yang menambah posisi politik yang signifikan bagi pihak Indonesia dalam suatu proyek, misalnya dengan memperoleh arus kas masuk lebih awal atau membangun kemitraan ekuitas melalui model konsorsium.
Indonesia, sebagai pasar digital terbesar di Asia Tenggara, siap menjadi digital hub. Untuk mencapai hal tersebut, infrastruktur konektivitas, termasuk kabel bawah laut dan titik pendaratan kabel, harus menjadi prioritas utama.
Kejelasan peraturan, upaya kolaboratif antara pemerintah dan operator, serta koordinasi antarlembaga, semuanya penting untuk memastikan keberlangsungan ketahanan ekosistem digital yang penting bagi kekuatan perekonomian Indonesia.