25 Mei 2023
JAKARTA – Aktivis kesehatan tidak senang dengan usulan peraturan tembakau dalam RUU Kesehatan karena mereka gagal memberikan pengendalian tembakau yang lebih ketat di negara ini.
Iman Mahaputra Zein, koordinator kampanye pengendalian tembakau di Pusat Inisiatif Pembangunan Strategis Indonesia (CISDI), mengatakan peraturan pengendalian tembakau dalam RUU kesehatan baru, yang saat ini sedang diperdebatkan di DPR, masih relatif longgar.
“Contohnya, RUU kesehatan yang baru gagal melarang iklan, sponsorship, dan promosi produk tembakau. Undang-undang tersebut juga mengatur aturan khusus bagi peredaran produk tembakau yang digunakan untuk perawatan medis, kosmetik, dan aromaterapi. Kami khawatir RUU ini akan disalahgunakan oleh industri tembakau,” ujarnya Jakarta Post pada hari Minggu.
Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang masih memperbolehkan iklan rokok di televisi dan media cetak. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, sekitar 144 negara di dunia telah sepenuhnya melarang iklan, sponsorship, dan promosi produk tembakau di media massa dan di tempat penjualan pada tahun 2021.
Para pendukung anti-tembakau menyalahkan lemahnya regulasi iklan rokok sebagai penyebab utama meningkatnya jumlah perokok anak di negara ini.
Pada tahun 2016, prevalensi perokok di bawah usia 18 tahun sebesar 8,8 persen. Angka ini meningkat menjadi 9,1 pada tahun 2018 dan menjadi 10,7 pada tahun 2019. Badan Pusat Statistik memperkirakan angka ini dapat mencapai 16 persen pada tahun 2030 jika pemerintah tidak melakukan intervensi serius untuk mengurangi konsumsi tembakau.
Kajian yang dilakukan oleh Lembaga Pembangunan Sosial Indonesia (IISD) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IPM) pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa 93,6 persen pelajar Indonesia terpapar iklan rokok dan 71 persen pelajar perokok mengatakan bahwa iklan tembakau menginspirasi mereka untuk mencoba merokok.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa anak-anak berusia antara 13 dan 18 tahun yang terpapar iklan rokok memiliki kemungkinan 2,7 kali lebih besar untuk mulai merokok dibandingkan dengan mereka yang tidak.
Direktur program IISD Ahmad Fanani menyatakan bahwa beberapa ketentuan tembakau yang diusulkan sebenarnya merupakan langkah mundur dalam upaya negara untuk memerangi rokok.
“Pasal 157 RUU itu menyebutkan gedung perkantoran dan tempat umum yang berada di kawasan bebas rokok wajib menyediakan kawasan merokok. Akan sulit untuk memastikan bahwa udara sekitar di zona bebas rokok tetap bersih ketika ada area khusus merokok di dalamnya,” ujarnya seperti dikutip dari Antara. tempo.co.
Petani, permintaan industri
Meskipun RUU Kesehatan membuat kelompok-kelompok kesehatan menuntut peraturan yang lebih ketat, industri tembakau dan para pendukungnya mengatakan bahwa RUU tersebut dapat memberikan dampak negatif terhadap industri dan petani.
Gabungan Produsen Rokok (Gappri) baru-baru ini mengirimkan surat kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang memintanya untuk menghapus seluruh peraturan tembakau dalam RUU tersebut, dengan alasan bahwa hal tersebut akan menimbulkan efek berganda dan sangat mengganggu industri tembakau jika disahkan.
Organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama (NU), bersama dengan Persatuan Petani Tembakau dan beberapa anggota DPR, juga menentang usulan aturan tembakau, khususnya ketentuan yang mengklasifikasikan tembakau sebagai zat adiktif bersama dengan alkohol dan narkotika.
NU bahtsul masa’il Mahbub Ma’afi, ketua forum masalah agama, mengatakan ketentuan tersebut dapat berisiko mengkriminalisasi petani tembakau di beberapa daerah dan mengancam penghidupan mereka.
“(Peraturan baru ini seolah-olah) petani tembakau akan digolongkan sebagai orang yang menanam narkoba atau ganja,” ujarnya baru-baru ini. “Jika peraturan ini diterima, maka akan ada risiko kriminalisasi terhadap petani.”
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi mengatakan pengkategorian tembakau sebagai zat adiktif bersama dengan obat-obatan dan alkohol sejalan dengan pedoman WHO.
“Itu bukan sesuatu yang baru. Undang-Undang Kesehatan tahun 2009 yang berlaku sudah mengkategorikan tembakau sebagai zat adiktif,” kata Nadia kepada wartawan Pos pada hari Selasa.
Ia menambahkan, dengan mengelompokkan tembakau sebagai zat adiktif bersama dengan narkotika, bukan berarti peredaran tembakau akan diperlakukan sama dengan peredaran narkoba, yang memiliki sanksi berat dalam hukum Indonesia.
Sejak tahun 2018, Kementerian telah mencoba menerapkan pengendalian tembakau yang lebih ketat dengan merevisi peraturan pemerintah tahun 2012 yang sudah ada mengenai pembatasan zat adiktif tembakau bagi kesehatan, namun kemajuannya masih lambat, terutama karena adanya penolakan dari para pelaku industri.
Indonesia adalah satu dari tujuh negara di dunia yang belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO.
Menurut data Kementerian Kesehatan, tembakau membunuh sekitar 290.000 orang setiap tahunnya, dan pada tahun 2017 beban ekonomi akibat merokok di negara ini berjumlah Rp 531,8 triliun (US$35,6 miliar), sekitar 3,6 kali lebih besar dari pendapatan cukai tembakau pada tahun tersebut. .