8 Februari 2022
JAKARTA – Seniman kelahiran Bandung Arahmaiani dikenal menggunakan karya seni dan aktivismenya untuk memperjuangkan lingkungan, serta membantu masyarakat lokal menerapkan metode dan kearifan tradisional untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan.
Berkaca pada bahaya lingkungan saat ini, seniman ternama dan aktivis lingkungan hidup Arahmaiani terus mengkritik pemerintah karena kurangnya tindakan dalam melindungi dan melestarikan lingkungan.
Dia mengubah kemarahannya menjadi pertunjukan seni bertajuk Furious Mother Earth.
Pertunjukan diawali dengan Arahmaiani menuliskan kata “alam” (alam) dengan huruf kapital di dinding berwarna putih, sementara penontonnya duduk di samping meja yang dilapisi bola-bola tanah liat. Setelah selesai menulis, dia mengambil beberapa bola tanah liat dan melemparkannya ke dinding. Ia kemudian meminta penonton berdiri dan melempar bola hingga tembok berlumuran tanah liat.
Pertunjukan seni berdurasi 20 menit ini merupakan cara Arahmaiani memvisualisasikan bahwa alam sedang tidak sehat karena terus-menerus dirusak oleh manusia.
Artis berusia 60 tahun ini menyalahkan manusia atas banyak bencana “alam”, termasuk pandemi COVID-19.
“Pandemi ini merupakan tanda dari alam kepada kita semua bahwa kita perlu mengubah pola pikir dan cara hidup kita agar tidak menyebabkan lebih banyak kerusakan di planet ini,” ujarnya.
Kritikus pemerintah
Di kancah seni nasional, Arahmaiani dikenal menggunakan karya seninya untuk mengkritik intoleransi dan radikalisme beragama, serta menyerukan dialog antaragama dan perdamaian. Namun, karya-karya terbarunya lebih banyak mengeksplorasi hubungan antara alam dan aktivitas manusia yang menimbulkan masalah lingkungan.
Dia menggunakan kata “furious” dalam judul seni pertunjukan terbarunya untuk menyampaikan “pesan bahwa Ibu Pertiwi sangat marah kepada kita dan kita akan menderita jika kita tidak berhati-hati dalam berperilaku terhadap alam”.
Sebelum pandemi terjadi, Arahmaiani terinspirasi oleh janji kampanye Presiden Joko Widodo untuk menyelamatkan lingkungan, yang menurutnya masih belum terpenuhi. Maka ia menciptakan karya bertajuk Bayangan Masa Lalu yang dipentaskannya di Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat, sambil memeluk pohon sambil berjalan melintasi halaman museum, wajah dan rambutnya dilumuri tanah liat.
Arahmaiani sering menggunakan tanah liat secara simbolis, karena komponen dasar tanah dan air merupakan sumber segala kehidupan.
Kecuali seni
Arahmaiani biasa melakukan perjalanan bolak-balik antara Indonesia dan Tibet, bekerja dengan para biksu di sana untuk memulai proyek penanaman pohon sambil juga mengerjakan proyek seninya.
Sejak munculnya pandemi dan pembatasan perjalanan yang menyertainya, ia fokus pada pengembangan pertanian organik di Bali dan Yogyakarta.
Di Yogyakarta, ia bekerja sama dengan santri dari Pondok Pesantren Amumarta di Kabupaten Bantul serta warga dan petani dari komunitas Bumi Langit, juga di Bantul.
Di Bali, ia mengerjakan beberapa proyek percakapan bekerja sama dengan komunitas Sanggar Paripurna di desa Bona di Gianyar, dan komunitas Kebun Berdaya di desa Tegeh Sari, Denpasar.
Pertanian organik yang dirancang oleh komunitas-komunitas ini telah menginspirasi desa-desa tetangga di Bali untuk melakukan hal yang sama. “Pertanian organik yang dikembangkan masyarakat di Bona dirancang untuk masyarakat pedesaan, sedangkan pertanian organik yang dikembangkan masyarakat di Denpasar dirancang untuk masyarakat perkotaan,” jelasnya.
Arahmaiani dan masyarakat memanfaatkan permakultur untuk mengembangkan ekosistem pertanian yang berkelanjutan dan mandiri sesuai dengan adat dan kearifan setempat.
Permakultur mencakup pengaturan alami ekosistem yang berkembang dalam rancangan habitat manusia yang produktif dan mandiri, dan merupakan gerakan yang didirikan oleh peneliti Australia, Bill Mollison.
Namun, menurut Arahmaiani, nenek moyang orang Indonesia mempraktikkan teknik tersebut jauh sebelum Mollison menciptakan istilah tersebut pada tahun 1978.
“Dulu, manusia memandang dirinya sebagai bagian dari alam, bukan penguasa alam. Oleh karena itu, mereka memiliki hubungan yang harmonis dengan alam. Sebaliknya, masyarakat di era modern cenderung bersifat destruktif. Hutan ditebangi dan sumber daya alam seperti minyak dan batu bara (diambil) untuk mendapatkan uang,” katanya.
Memberi manfaat bagi semua orang
Dalang Bali I Made Sidia yang juga Art Director Sanggar Paripurna Art Center Gianyar menyampaikan apresiasinya kepada Arahmaiani yang telah membantu murid-muridnya untuk lebih memahami alam dan mencintai tradisi lokal melalui karya seninya.
Ia bercerita, Arahmaiani pernah membawakan salah satu karyanya yang terkenal, Flag Project, di Sanggar Paripurna dan mengajak murid-muridnya menari saat pertunjukan.
“Pertunjukan ini mengajarkan kita untuk berpikiran terbuka, mencintai nilai-nilai luhur bangsa dan yang terpenting, peduli terhadap lingkungan dan sesama manusia,” kata Made.
Ia juga mengatakan bahwa Arahmaiani mengajari murid-muridnya menanam sayur-sayuran dan buah-buahan dengan cara organik dan mengorganisir mereka ke dalam kelompok berkebun dengan nama-nama yang terinspirasi dari pertanian seperti Kambing (Kambing), Sapi (Sapi), Anjing (Anjing) dan Ayam (Ayam). kompetisi berkebun. di pusat seni.
Kompetisi ini membantu siswa memahami manfaat pangan organik dan bahaya pestisida bagi tubuh manusia, kata Made.
“Sekarang mereka tidak membuang sampah sembarangan. Sebelum bertemu Arahmaiani, mereka belum memiliki disiplin membuang sampah dengan benar, terutama sampah plastik. Setelah tinggal di Sanggar Paripurna, mereka mendapat kesadaran diri untuk berbuat baik terhadap lingkungan,” ujarnya.
Krisna Waworuntu yang menjalankan pertanian organik sebagai bagian dari komunitas Bumi Langit mengaku bersyukur atas kerjasamanya dengan Arahmaiani. “Kolaborasi kita tidak terlalu artistik, tapi fungsional, karena saya ingin manfaatnya bisa berkelanjutan bagi masyarakat dan lingkungan,” ujarnya.